Kontrak Dengan Dewa Pengangguran

slya
Chapter #13

Bab 13: Gerbang Bayangan

Dari balik jendela kereta tua yang melaju menuju utara, kabut tipis menyelimuti pegunungan jauh di depan. Rel kereta bergetar pelan, dan langit mendung menggantung rendah seolah menyembunyikan sesuatu yang tak ingin terlihat manusia.

Dara duduk menghadap jendela, merenung dalam diam. Di depannya, Rey tengah membuka peta kuno yang diambil dari buku kontrak lama. Sementara Kumo, kini dalam bentuk seperti kucing hitam kecil, menggulung di pangkuannya sambil sesekali menggeram dalam tidur.

Mereka sedang menuju tempat yang hanya disebut dalam legenda: Gerbang Bayangan—sebuah titik di dunia yang terhubung langsung dengan alam asal para entitas. Tempat Nina kini berada.

“Gerbang itu gak sembarang portal,” kata Rey akhirnya. “Itu bukan cuma pintu, tapi juga penyaring. Hanya mereka yang membawa ‘konsekuensi’ yang bisa masuk.”

Dara mengerutkan kening. “Maksudnya?”

“Setiap orang yang mencoba masuk ke sana harus membawa satu pilihan hidup yang belum pernah mereka hadapi... semacam beban tak selesai,” jawab Rey sambil menatap peta. “Gerbang itu bisa mencium perasaan itu, dan akan mengubahnya jadi ujian.”

Dara menggigit bibir. “Kalau gitu, Nina... dia masuk dengan membawa apa?”

“Kecewa,” jawab Rey cepat. “Dan rasa ingin menata ulang dunia dengan caranya sendiri.”

Suasana hening sejenak, lalu Kumo bersuara, setengah tidur, “Dan lo, Dar... lo bakal diuji juga. Gerbang gak bisa dibohongi. Dia akan tahu semua yang lo sembunyikan—bahkan dari diri lo sendiri.”

Kereta tiba di stasiun terakhir—Stasiun Batu Gelap, tempat yang tampak seperti bekas zaman kolonial, sepi dan ditinggalkan. Langit di atasnya hitam seperti jelaga. Tak ada orang, tak ada sinyal. Tapi udara di sana—berat, seperti langkah terakhir sebelum seseorang loncat ke jurang.

Mereka berjalan kaki menyusuri hutan menuju kaki gunung. Akar-akar pepohonan terasa seperti tangan yang mencengkeram tanah, dan udara mulai membisikkan suara yang tak berasal dari makhluk hidup.

“Ada yang mengawasi,” bisik Kumo. “Tapi bukan makhluk berdaging. Ini... lebih tua.”

Di kejauhan, kabut membuka perlahan, memperlihatkan Gerbang Bayangan: dua pilar batu raksasa setinggi menara, dengan celah hitam di tengah yang seolah menyerap cahaya. Simbol-simbol simpul bersinar samar di sekitarnya. Tanah bergetar pelan.

Rey menggenggam pergelangan Dara. “Ingat. Begitu lo masuk, gue gak bisa bantu. Gue gak dari garis simpul, jadi ujian lo cuma lo yang bisa hadapi.”

Dara menatap gerbang. Dalam dadanya, ada rasa takut... tapi juga ada rasa harus.

Ia melangkah.

Begitu kaki kanannya menyentuh batas gerbang, semuanya berubah.

Udara hilang. Suara hilang. Cahaya... pecah.

Dan Dara menemukan dirinya berada di sebuah lorong gelap, penuh cermin. Tapi cermin-cermin itu tidak memantulkan dirinya—mereka memantulkan kemungkinan lain dari dirinya.

Lihat selengkapnya