Dunia di balik Gerbang Bayangan bukanlah tempat yang bisa dijelaskan dengan logika. Tidak ada langit, tidak ada tanah. Segalanya seperti lukisan abstrak yang bergerak perlahan—warna, cahaya, dan suara yang saling menembus, berlapis-lapis seperti mimpi yang terus berganti adegan.
Dara berjalan pelan di tengah ruang kosong itu. Tapi setiap langkah yang ia ambil, menciptakan jalan dari kenangan. Tanah di bawahnya terbentuk dari potongan masa lalu: taman sekolah, tangga rumah lama, lapangan kecil tempat ia dan Nina dulu berbagi mimpi.
Lalu ia melihatnya.
Nina duduk di kursi kayu panjang, di tengah sebuah ruang yang tidak memiliki batas. Di hadapannya ada meja, terisi dengan piring-piring kosong dan cangkir-cangkir retak, seolah perjamuan pernah terjadi... lalu dilupakan.
Dara melangkah mendekat.
“Nina.”
Nina tidak terkejut. Ia hanya menoleh pelan. Tatapannya tenang—tidak marah, tidak senang. Matanya seperti kolam yang diam di tengah badai.
“Dara,” katanya. “Akhirnya lo sampai juga.”
Dara menarik napas. “Gue datang bukan buat ngelawan lo. Gue datang... buat nanyain kenapa.”
Nina tersenyum tipis. “Kenapa? Karena dunia ini rusak. Karena sistem yang lo pegang itu cuma bikin orang kayak gue terus terluka. Dan karena... lo gak pernah benar-benar milih gue.”
Dara terdiam.
Nina berdiri. “Lo inget waktu kita di tahun pertama kuliah? Kita punya mimpi buat bangun komunitas. Lo mau bantu banyak orang. Tapi saat gue mulai tenggelam... lo sibuk nyelametin orang lain.”
Dara menunduk. “Gue salah. Gue terlalu mikirin sistem. Prosedur. Tanggung jawab. Tapi bukan berarti gue ninggalin lo.”
“Sayangnya,” potong Nina, “rasanya gak gitu.”
Ia mengangkat tangan, dan seketika dunia di sekeliling mereka berubah menjadi aula besar. Di dinding-dindingnya tergantung lukisan—bukan lukisan biasa, tapi ingatan. Satu lukisan memperlihatkan Nina duduk sendiri di kamar gelap. Satunya lagi memperlihatkan Dara berbicara di seminar sambil tertawa, tanpa tahu bahwa di waktu yang sama, Nina sedang menulis pesan terakhir yang tak pernah dikirim.
“Tempat ini... menyimpan semua pilihan yang gak kita buat,” ucap Nina pelan. “Semua ‘kalau saja’ yang terus membayangi.”
Dara berjalan mendekat ke salah satu lukisan, menatap sosok Nina yang memegang secarik kertas.
“Apa yang mau lo lakuin, Nina?” tanya Dara. “Balikkan dunia? Hapus semua simpul? Hancurkan sistem kontrak?”
Nina menatapnya tajam. “Gue mau semua orang punya pilihan ulang. Termasuk lo.”
Ia menjentikkan jarinya. Dunia kembali berubah.
Tiba-tiba Dara berdiri di atap kampus. Hujan turun deras. Nina berdiri di seberang, dengan mata merah dan senyum tipis. Tapi ini bukan Nina yang sekarang—ini adalah versi dari masa lalu. Detik-detik sebelum Nina menghilang, sebelum semuanya berubah.
“Lo dikasih kesempatan ulang, Dara,” kata Nina yang sekarang, suaranya menggema dari langit. “Lo bisa pilih untuk melangkah ke gue waktu itu. Peluk gue. Batalin semuanya.”
Hujan membasahi wajah Dara.