“Hosh…, hosh…, hosh…”
Terdengar napas memburu dan menderu dari langkah kaki indah dengan gemerincik gelang yang melingkar di kedua pergelangannya. Kibasan selendangnya tak menyurutkan kecepatan jejakan kakinya. Gadis itu tampak begitu takut dan berlari sekuat tenaga untuk menghindari kejaran pemuda yang telah dicuranginya dalam perjanjian yang ia ajukan sendiri. Lari dan lari adalah satu-satunya jalannya saat ini. Ia tahu pasti bahwa dirinya bersalah, namun dendam dan kekecewaan karena martabatnya yang terinjak oleh ego sang pujaan hati telah menyelimuti hatinya hingga mati dan membuatnya melakukan segala cara agar pemuda itu menyadari kesombongannya bahwa tak semua apa yang diinginkannya dapat terpenuhi.
“Berhenti kau Jonggrang!!!” Teriak pemuda gagah berani namun angkuh itu. Harga dirinya terluka, impiannya hancur berkeping-keping oleh tipu daya dari gadis yang begitu ia puja dan cintai sepenuh hati demi sebuah hasrat tak bertepi untuk menjadikannya permaisuri hati. Padahal ia dengan sekuat tenaga dan kemampuannya berusaha memenuhi permintaan yang sungguh di luar akal sehatnya meskipun sosoknya adalah ksatria sakti mandraguna dengan segala macam ajian yang dikuasainya.
Langkah kaki gadis bernama Roro Jonggrang itu terhenti. Ia sadar bahwa dirinya tidak dapat terus melarikan diri dari sosok Bandung Bondowoso yang dengan mudahnya membunuh ayah tercintanya, Prabu Boko Balaputradewa. Dengan sekuat tenaga dan mengepalkan kesepuluh jarinya demi meredam rasa takutnya, Roro Jonggrang memutar balik tubuhnya menghadap kearah Bandung Bondowoso yang telah dilingkupi amarah murka.
“Mengapa? Mengapa kau lakukan hal ini Jonggrang? Mengapa?!” Nada suara Bandung Bondowoso semakin melengking tinggi hingga kepalan tangan Roro Jonggrang semakin menguat agar ia tak gentar terhadap murka sang Putra Mahkota Kerajaan Pengging. “Padahal aku sangat tulus mencintaimu! Bahkan rela memenuhi permintaanmu yang tak masuk akal itu!”
“Karena aku ingin melihat keruntuhan dari kesombonganmu Bandung Bondowoso,” Senyuman sinis tergurat lugas dibalik rasa takut Roro Jonggrang. “Kebesaran mulutmu seperti angin lalu. Jangan kau pikir karena kau lebih kuat dariku sehingga dapat seenaknya menaklukkan diriku dengan cara dan sikapmu. Kini kau laksana manusia tak berharga di hadapanku. Aku ingin agar kau dapat merasakan kekecewaan dan dendamku karena telah dengan seenaknya membunuh ayahku demi memenuhi ambisi keluargamu!”
“Aku…,” Bandung Bondowoso menundukan kepalanya sejenak untuk mengingat kembali atas apa yang telah dilakukannya kepada Roro Jonggrang. Betapa arogan dirinya hingga membunuh ayah dari sang gadis tepat di depan matanya demi memuaskan ambisi ayahnya, Raja Damar Maya dalam memperluas wilayah Kerajaan Pengging hingga mengusik Kerajaan Prambanan. Namun rasa bersalahnya ia tutupi dengan egonya yang terluka karena merasa dikhianati oleh cara Roro Jonggrang menggagalkan dirinya dalam membuat seribu candi sebagai mas kawin yang akan digunakannya untuk meminang sang putri.