Kau dan aku terdiri dari satu jiwa
Satu jiwa yang terpecah menjadi dua
Terus berharap dan mengangkatkan kedua tangannya memohon pada-Nya
untuk dapat kembali bersatu dan bersua secara nyata
Kita seperti cermin yang saling menautkan rasa
Apa yang aku rasakan, kau pun merasakan hal yang sama, begitu juga sebaliknya…
Apa yang aku pikirkan, kau pun memikirkan hal yang sama, begitu juga sebaliknya…
“Jonggrang putriku, usiamu sudah menginjak usia menikah, mengapa kau tak kunjung menerima lamaran dari salah satu putra mahkota atau raja-raja tetangga kita?” Tanya Prabu Boko kepada putri tunggalnya nan cantik jelita yang terkenal seantero Tanah Jawa, Roro Jonggrang. Siapa yang menyangka dibalik sosok raksasa penuh durjana dan kejam pada rakyatnya, Prabu Boko adalah seorang ayah yang sangat menyayangi putrinya. “Dengan kecantikan, kekayaan dan kecerdasanmu sudah pasti engkau akan menjadi permaisuri dengan penuh aura digdaya ketika mendampingi salah satu yang beruntung menjadikanmu pendamping mereka.”
“Jonggrang masih ingin bebas Ayahanda Prabu,” Jawab Roro Jonggrang dengan riang sambil bermain dengan kupu-kupu yang hinggap di taman dalam istana. “Menikmati negeri Boko yang sungguh indah, makmur dan mempesona sehingga memikat banyak mata untuk mengunjunginya.”
“Jonggrang, apa kau tak takut akan menjadi perawan tua yang telat menikah? Ayahanda hanya mengkhawatirkan nasibmu saja putriku,” Prabu Boko tak henti-hentinya membujuk anaknya itu agar dapat meruntuhkan dinding prinsip yang sangat dipegang teguh oleh sang putri.
“Jonggrang tidak takut Ayahanda,” Lanjut Roro Jonggrang penuh tekad. “Jonggrang hanya ingin jatuh cinta dengan seorang pemuda yang melihat Jonggrang apa adanya, bukan ada apanya sehingga tak memperdulikan pertambahan usia yang hanyalah hitungan angka penuh tipu daya…”
“Oh, Sang Hyang Widhi…, apalah dosa hamba-Mu ini sehingga begitu mengkhawatirkan putri semata wayangnya ini…,” Prabu Boko hanya bisa mengurut dahinya yang berkedut karena frustrasi menghadapi Roro Jonggrang yang begitu keras kepala.