Ganendra menatap pemandangan kepulan awan di pagi hari untuk menyambut sang mentari dari jendela kaca rumah berkonsep penthouse miliknya yang dibangun di lantai teratas salah satu gedung pencakar langit yang ada di salah satu sudut area Kota Jakarta dengan konsep mewah dan ramah lingkungan penuh penghijauan di terasnya.
“Selamat pagi untuk hari ini,” Ucap Ganendra kepada dirinya sendiri dengan secangkir kopi hitam di tangannya. Sebuah ritual yang bias dilakukannya sejak ia jatuh cinta pada biji kopi dan keharumannya hingga mengantarkannya sebagai pemilik perkebunan kopi pada beberapa area pegunungan di beberapa lokasi di Sumatera dan Jawa dengan kualitas ekspor dan café sebagai tempat merealisasikan racikan penuh mantra rahasianya yang membuat seluruh pecinta kopi mampir di kedainya tak dapat berpaling ke tempat lain meskipun memiliki kesamaan jenis produk. Dengan metode bagi hasil yang adil antara para petani dan dirinya membuat kemakmuran selalu terlimpah diantara kedua belah pihak. Katakanlah ia adalah salah satu orang yang dinaungi keberuntungan berlimpah yaitu memiliki segala hal yang membuat iri banyak orang. Namun baginya keberuntungan yang tidak dibarengi dengan kerja keras dan empati hanyalah akan menjadi kehancurannya nanti dan ia tak mau hal itu terjadi. Ia ingin legacy yang abadi meskipun ia tak punya niatan untuk menikah di kehidupan ini. Baginya memanjakan diri dengan hasil usahanya sendiri adalah kebahagiaannya yang hakiki tanpa harus terbentengi dengan paradigma sosial masyarakat di negara ini.
“Selamat pagi Ganendra,” Terdengar suara lain di sisi Ganendra membuat lelaki itu tersenyum tipis kemudian menghilang.
“Apakah kau senang telah menemukan yang kau cari selama ini?” Ganendra bertanya dengan pandangan mata konstan tetap kearah gumpalan awan putih yang perlahan menghilang bersama datangnya terik sinar matahari yang semakin meninggi.
“Tentu saja, setelah sekian lama aku menunggu untuk dapat bertemu dengannya kembali dalam wujudnya yang baru.”
“Lantas kapan kau bisa membebaskanku dari urusan sentimentilmu itu? Karena aku sungguh tak menyukainya,” Ujar Ganendra dengan nada dingin. “Selain karena merepotkan, aku tidak suka terikat perasaan.”
“Aku tak menyangka bahwa reinkarnasiku adalah orang dingin sepertimu Ganendra,” Bandung tersenyum menyindir dirinya sendiri. Mungkin karena dulu dirinya terlalu terbuka untuk mencintai sepenuh hati hingga tersakiti berdampak tanpa sadar jika diberikan kesempatan untuk lahir kembali oleh Sang Hyang Widhi agar dirinya menjadi manusia yang berorientasi pada materi tanpa perduli perasaan cinta seperti Ganendra.
Pertemuan Ganendra dan Bandung Bondowoso sangatlah tak disangka-sangka. Hal itu terjadi beberapa tahun yang lalu ketika Ganendra berkunjung ke daerah Boyolali yang merupakan sentra berpotensi di area lereng Gunung Merapi untuk dapat membangkitkan perkebunan kopi yang mati suri demi dapat menghasilkan dan memasok biji kopi berkualitas untuk café-nya dan ekspor ke luar negeri.