“Nas…”
“Hmm…”
“Danas…”
“Hmm…”
“Danastri…”
“Apa?” Jawab Danas seperlunya dan terus sibuk mengecek data laporan keuangan di laptop-nya. Sesekali tangan kanannya mencatat sesuatu pada buku catatan di sebelahnya.
“Danastri Candramaya, lo dengerin gue panggil nggak sih?!” Teriak Milly tepat di telinga kiri Danas karena gemas panggilannya dihiraukan sejak tadi oleh gadis itu.
“Apaan sih Mil?!” Danas menutup laptop-nya dan membalas dengan teriakan bervolume sama kearah Milly sambil menutup telinga kirinya yang berdenging. “Gue dengar kok, nggak usah pake teriak-teriak kenapa? Bikin jantungan saja!”
“Kebiasaan deh, kalau sudah fokus dengan sesuatu pasti jadiin gue kayak angin lalu,” Milly meletakkan sendok es nya di atas meja. “Lagian sebenarnya gue heran, kenapa lo nggak resign aja sih dari tempat kerja lo dan fokus kepada pengembangan bisnis restoran emak lo kalau setiap akhir minggu kayak gini gue dikacangin terus.”
“Ngaco aja kalau ngomong! Karir gue sekarang itu adalah pilihan gue untuk eksistensi mengamalkan ilmu gue yang sudah jungkir balik belajar mendapatkan ijazah sampai perguruan tinggi, untuk pengembangan bisnis restoran emak gue cukup gue jadi pemodal pasif saja, selebihnya biar emak gue yang menjalankan,” Danas mendengus kesal. Ini saja bisa dihitung aktif ikut campur di restoran untuk mengisi kekosongan waktu weekend-nya. “Lo mau ngomong apa? Sampai harus bela-belain nyamperin gue ke sini. Sudah tahu gue jomblo dan memilih menyibukkan diri di restoran emak gue pas weekend, masih aja lo gangguin. Emangnya lo nggak punya kesibukan lain apa? Urusin usaha bokap lo sana, daripada jadi parasit mulu.”