“Kita bertemu lagi,” Suara seorang lelaki yang berbisik di telinga kanan Roro Jonggrang membuat gadis yang sejak tadi sibuk memilah-milah buah yang ingin dibelinya terkejut hingga menoleh kearah pemilik suara tersebut. “Mungkin kita berjodoh sehingga bisa bertemu kembali.”
“Kau kan…,” Roro Jonggrang yang belum mengetahui nama pemuda tersebut hanya bisa memancingnya untuk memperkenalkan jati dirinya.
“Orang yang telah menolongmu beberapa hari yang lalu,” Jawab Bandung penuh percaya diri.
“Nenek-nenek juga tua bahwa kau yang telah menolongku,” Roro Jonggrang menghela napas tak puas dengan jawaban Bandung dan membatalkan niatnya untuk membeli buah. Ia memilih berjalan kembali masuk ke dalam kerumunan. “Yang kumaksud namamu kisanak.”
“Oo, namaku Bandung, siapakah gerangan namamu?” Bandung tersenyum lembut menatap Roro Jonggrang yang berjalan berdampingan dengannya memasuki kerumunan orang.
Mengamati jawaban pemuda gagah di hadapannya ini membuat Roro Jonggrang menyadari bahwa lelaki itu bukanlah orang asli daerah sini karena tak tahu jati dirinya. Sungguh hebat berarti penyamarannya, batinnya. Sebenarnya tidak seperti itu, memang tak banyak yang tahu jati dirinya selain orang-orang kalangan dalam istana karena ayahandanya yang begitu sangat melindungi dirinya sang putri tunggal. Namanya lebih dikenal sebagai Roro Jonggrang, bukan Jonggrang saja.
“Jonggrang, panggil saja namaku dengan Jonggrang,” Roro Jonggrang membalas dengan senyuman kearah Bandung Bondowoso sehingga membuat pemuda itu terpana seakan terhipnotis oleh sang pemilik raga. Seumur hidupnya, tak pernah ia menemukan gadis secantik dan memiliki aura sekuat gadis di sampingnya ini.
“Cantik…,” Desis Bandung Bondowoso yang berderu dengan hembusan angin.
“Apa? Kau tadi bilang apa?” Tanya Roro Jonggrang.
“Tidak apa-apa,” Bandung Bondowoso menggelengkan kepalanya untuk menepis ucapan yang sungguh tak sengaja keluar dari benaknya hingga terealisasi melalui bibirnya.