KONTRAK JIWA

Anggun Kartika
Chapter #14

14 - Yogyakarta, Kota Seribu Arca

“Sudah beres semuanya kan?” Tanya Danas kepada para asisten pribadi masing-masing Direktur dengan ekspresi serius untuk memastikan bahwa semuanya berjalan sesuai rundown yang telah dibuatnya bersama Sekretaris Dewan Komisaris, Andi Prananta, duet mautnya dalam dunia Good Corporate Governance, area dimana rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan dan institusi yang mempengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengontrolan dalam suatu perusahaan termasuk cakupan hubungan antara para pemangku kepentingan yang terlibat serta tujuan pengelolaan perusahaan. Pihak-pihak utama tersebut adalah pemegang saham, manajemen dan dewan direksi. Pemangku kepentingan lainnya termasuk karyawan, pemasok, pelanggan, bank dan kreditor lain, regulator, lingkungan dan masyarakat luas. Terlebih lagi instansi BUMN dengan segudang peraturannya. Jangan sampai ada celah yang membuat para atasannya ini lengah dalam menjalankan roda bisnis perusahaan karena pertanggunjawabannya sungguhlah besar. Bukankah pepatah mengatakan bahwa memiliki penghasilan besar sejalan dengan tanggung jawabnya yang besar pula? 

“Sudah Bu!” Jawab keempat asisten pribadi serempak. 

“Syukurlah,” Danas menghela napas dan mengusap keringat di dahi serta menyenderkan punggungnya pada sofa ruang tunggu dekat resepsionis sebagai tanda kelegaan. Drama babak pertama dari berangkat naik pesawat hingga mendarat dan check-in di hotel bintang lima dekat pusat perbelanjaan terbesar di Yogyakarta dapat berakhir juga. Bagaimana tidak, mengarahkan para pejabat dengan pengalaman segudang prestasi penuh kebanggaan diri dan berusia tak muda lagi tanpa harus bersikap tidak sopan pada mereka juga salah satu uji nyali untuknya dan tim-nya. Perjalanan kali ini ia membawa Eko sebagai asistennya yang selalu membantunya dalam hal pernotulensian rapat-rapat penting seperti ini. “Sekarang kalian semua beristirahatlah.”

“Baik Bu!” Sahut keempat asisten pribadi kembali serempak, ditambah Eko tentunya. 

“Enggak gitu juga kali, kalian itu manusia, bukan robot, menjadi asisten pribadi bukan berarti bersikap tegang dan menghilangkan emosi kalian,” Danas tersenyum lemah merasa kasihan melihat para anak-anak muda yang berusia lima atau enam tahun di bawahnya. Sikap mereka serasa lebih tua darinya. “Anggap saja ini liburan sambil kerja, hadiah kecil dari para atasan kalian sebagai bentuk terima kasih mereka karena kalian sudah memberikan pelayanan dan dedikasi terbaik untuk mereka. Sudah sana pada bubar dan me time sejenak, sebelum besok jam 10 pagi kembali menjadi saksi hidup pertempuran para pejabat tingkat dewa itu.”

“Terima kasih Bu,” Keempat asisten pribadi direktur termasuk Eko izin pamit meninggalkan Danas sendirian di ruang tunggu sambil menikmati welcome drink yang tersedia di sana. Ia melanjutkan kesendiriannya dengan mengamati rundown yang telah dibuatnya sambil mengingat kembali keberatan ibunya atas kepergian dirinya ke Yogyakarta dan masih mempertanyakannya hingga sekarang karena hal ini cukup menggelitiknya. Bagaimana tidak, ketika dirinya berada di bangku Sekolah Menengah Pertama, sang ibu melakukan manipulasi dengan membuat surat dokter yang mengatakan bahwa ia sakit parah dan tidak dapat mengikuti acara study tour ke Yogyakarta. Padahal Yogyakarta adalah kota pusat nilai budaya zaman kerajaan kuno yang menjadi salah satu tujuan wisata tidak hanya domestik namun juga mancanegara.  Ia awalnya berpikir bahwa ini ada hubungannya dengan keluarga besar yang ditinggalkan ibunya demi menikahi ayahnya yang dianggap berkasta di bawah mereka. Hari gini bicara kasta? Memang jaman baheula? Tolonglah, semua manusia itu tercipta setara apapun latar belakang yang dimilikinya. 

Ini sedang mempermasalahkan apa sih? Bukankah sedang menelisik alasan dibalik keberatan Mama aku pergi ke Yogya ya? Danas menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal karena merasa bingung dengan perdebatan yang terjadi di dalam dirinya sendiri. Ah sudahlah, mikirin begituan malah nambah PR di otakku saja! Lebih baik aku ke kamar untuk beristirahat. Danas beranjak dari duduknya untuk menuju kamar pribadi sementaranya di hotel. 

“Mas Andi, sampai jumpa besok pagi di ruangan rapat ya,” Tak lupa Danas melambaikan tangannya kearah Andi Pranata yang sama sibuknya seperti dirinya untuk mengurusi kebutuhan para Dewan Komisaris. 

“Ok siap, Mbak Danastri!” Andi membalas lambaian tangan Danas dan kembali fokus menerima telepon. 

Danas bersenandung ringan sambil menarik koper dorongnya menuju pintu lift yang akan membawanya ke lantai lima, lokasi kamar untuknya berada. 

TING! Terdengar bunyi pintu lift terbuka memperlihatkan sosok tua penuh wibawa namun masih menyisakan ketampanan di usia senja beserta lima orang pengikut yang berjalan di belakang pria baya tersebut. Spontan Danas yang sejak tadi berdiri menunggu di depan lift memilih untuk menyingkir dan memberikan jalan kepada rombongan yang ia yakin adalah orang-orang penting yang entah pejabat atau pengusaha kelas kakap jika dilihat dari aura yang terkesan dingin dan mengintimidasi. Aura yang hampir sama dengan Ganendra Adiwilaga. 

Danas terdiam membeku ketika dirinya mengingat nama lelaki itu. Bagaimana bisa setelah sekian lama tak pernah sedikitpun sosoknya membesit dibenaknya tiba-tiba menorehkan ingatan tak kasat mata? Ada apa sebenarnya? 

Tanpa Danas sadari, pria paruh baya yang memberi kesan kepada Danas menoleh sejenak kearahnya dan sedikit terkejut dibalik wajah dinginnya. Untuk menutupi keterkejutan tersebut, pria itu tetap berjalan tegap meninggalkan Danas yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Persetan dengan itu semuanya!” Ucap Danas pada dirinya sendiri dan masuk ke dalam lift yang telah kosong ditinggal penghuninya tadi.

Lihat selengkapnya