Kontrak Terakhir

cahyo laras
Chapter #1

PROLOG

Langkah kaki Ravi nyaris tanpa suara di atas lantai marmer yang dingin, gerakannya lincah dan mematikan di lorong sebuah gedung yang steril. Udara terasa pengap, hanya diterangi oleh dengungan rendah lampu neon di langit-langit. Di tangan kirinya, bilah pisau tempur memantulkan cahaya remang. Di kanannya, pistol dengan peredam terpasang, terasa berat dan dingin di genggamannya.

Setiap penjaga yang dilewatinya tumbang dalam simfoni kekerasan yang senyap. Desisan singkat saat pisaunya mengiris udara, diikuti oleh suara robekan basah dan erangan tertahan. Letupan teredam dari pistolnya memecah keheningan sesaat, meninggalkan bau mesiu yang kuat di udara, bercampur dengan aroma besi berkarat dari darah yang mulai menggenang. Dalam sekejap, dinding putih bersih itu dihiasi cipratan merah kental, dan lorong itu kini berbau bagai rumah jagal.

Ravi mendorong pintu kayu berat di ujung lorong. Engselnya berderit pelan. Di dalamnya, aroma parfum dan asap cerutu yang samar langsung menyambutnya, kontras dengan bau kematian yang dia bawa. Ada empat orang pria berotot tegap, seorang lelaki gemuk yang wajahnya pucat pasi, dan seorang wanita berumur sekitar 35 tahun yang memeluk bayi dengan erat.

“Ka... ka.. kau. Kenapa bisa masuk kemari?” kata si lelaki gemuk, suaranya bergetar, tetesan keringat mulai membasahi pelipisnya.

“Dia adalah Ravi, si pembunuh profesional yang paling ditakuti, dia pasti yang telah menghabisi semua tim pengawalan di luar,” bisik salah satu pria berotot itu, matanya membelalak ngeri.

Ravi melangkah maju, tatapannya sedingin es. Darah segar yang mulai mengering terasa lengket di sela-sela jarinya, namun napasnya tetap teratur dan dalam, tenang seperti air diatas bejana dimalam hari. Kontras dengan detak jantung panik orang-orang di ruangan itu yang terdengar liar.

Keempat pria itu akhirnya bergerak, mengangkat pistol mereka dalam rentetan panik.

“Door... doorr... doorrr...” Suara letusan yang memekakkan telinga memenuhi ruangan. Peluru-peluru membelah udara di samping telinga Ravi, meninggalkan siulan tajam dan membuat serpihan plester berjatuhan dari dinding di belakangnya. Tapi Ravi sudah tidak di sana. Tubuhnya mengalir seperti bayangan, setiap gerakannya adalah efisiensi murni.

Satu letupan balasan yang terkalkulasi dari pistol Ravi. Seorang pria tumbang dengan suara gedebuk berat saat tubuhnya menghantam lantai. Tembakan demi tembakan sia-sia terbuang dari para penjaga, hanya menciptakan lubang-lubang baru di dinding. Dalam hitungan detik, keempat pria bertubuh tegap itu teronggok dalam pose-pose ganjil di lantai. Asap tipis mengepul dari laras pistol Ravi yang panas.

Dengan langkah panjang yang senyap di atas karpet tebal, Ravi melintasi ruangan. Lelaki gemuk itu hanya bisa menatap ngeri, terlalu takut untuk bergerak. Dalam sekejap mata, pisau di tangan kiri Ravi bergerak secepat kilat. Terdengar suara sobekan mengerikan, diikuti oleh bunyi tercekat saat lelaki itu mencoba bernapas. Darah memancar deras dari lehernya, melukis pola mengerikan di kemeja sutranya yang mahal sebelum tubuhnya ambruk ke lantai dan kejang.

Kini, di tengah keheningan yang menekan, hanya tersisa seorang wanita dan bayi dalam gendongannya. Bau mesiu, darah, dan ketakutan terasa begitu pekat di udara.

Ravi berhadap-hadapan dengannya. Keheningan di ruangan itu terasa menekan, hanya dipecah oleh suara napas Ravi yang tenang dan dalam.

Lihat selengkapnya