Di belahan kota yang lain, di sebuah ruangan yang pengap dan gelap, bau apek, keringat, dan debu menusuk hidung. Satu-satunya sumber cahaya adalah lampu bohlam oranye yang menggantung di kabel terkelupas. Cahayanya yang remang-remang membuat bayangan menari-nari di dinding beton yang lembap. Satu-satunya suara adalah tetesan air dari pipa bocor di sudut dan napas tersengal dari seorang pria yang terikat di kursi besi.
Pria itu, yang hanya mengenakan celana dalam, basah kuyup oleh campuran keringat dan air kotor. Tubuhnya adalah kanvas penyiksaan, kulitnya yang pucat dihiasi goresan dan memar. Denyutan nyeri tak henti-hentinya terasa dari jemarinya, di mana kuku-kukunya telah hilang, dicabut paksa.
Di hadapannya, kontras yang begitu tajam, berdiri seorang wanita dalam balutan gaun merah darah. Warnanya begitu hidup di tengah kebusukan di sekelilingnya. Rambutnya yang panjang bergelombang jatuh di bahunya.
Aroma parfumnya yang manis melati dan vanila, bercampur secara aneh dengan bau anyir di ruangan itu. Dia mengambil sebuah pisau dari meja, bilahnya yang tipis memantulkan cahaya oranye bohlam, tampak seperti secercah api. Dengan gerakan anggun, ia menempelkan sisi dingin pisau itu di leher pria tersebut.
“Ku... ku.. kumohon... aku sudah mengatakan semuanya, jangan bunuh aku... Tolong lepaskan aku...!!!” rengek pria itu, suaranya serak dan putus asa, getaran dari tubuhnya terasa hingga ke kursi besi.
“Teruslah menangis,” bisik wanita itu, suaranya lembut namun tanpa kehangatan. “Karena itu sangat membahagiakan untukku.”
Saat otot di lengannya menegang, siap menggesekkan bilah pisau itu, sebuah suara digital yang ceria tiba-tiba merobek keheningan yang tegang. Ponsel di atas meja bergetar dan berdering, nadanya terdengar sangat tidak pada tempatnya di ruang penyiksaan itu. Wanita itu mendengus kesal, menghentikan eksekusinya. Kilau berbahaya di matanya sedikit meredup.
“Hah? Ravi?” gumamnya pada diri sendiri, menatap layar ponselnya. “Tumben... pasti ada misi penting, jarang-jarang dia menghubungiku. Apakah dia sedang kesulitan?”
Ia meletakkan pisaunya dan mengangkat telepon itu.
Terdengar suara Ravi yang tidak seperti biasanya. Ada nada panik yang aneh di balik napasnya yang terengah-engah, diselingi oleh suara tangisan bayi yang melengking di latar belakang.
“Hallo... Ravi... ada apa?” tanya wanita itu, menyandarkan pinggulnya di tepi meja.
“Ya, hei... Jeny,” kata Ravi, terdengar kikuk.
Alis Jeny terangkat. “Ada apa? Kau terluka? Atau ada masalah dalam misimu?” tanyanya, matanya melirik bosan ke arah korbannya yang masih gemetar.
“Aku mau minta tolong... apakah kau sedang dalam misi? Aku butuh bantuanmu,” kata Ravi.
“Ya, aku masih dalam misi interogasi dan eksekusi,” jawab Jeny santai. “Ada apa? kau sedang terdesak?”
“Ah... aku mau tanya, kalau bayi terus menangis walaupun sudah kuberi susu kira-kira kenapa ya?”
Hening sesaat. Jeny mengerjap. “Hah?”
“Sejak tadi bayi ini selalu menangis, aku sudah memberikan dia susu, tapi dia tak mau meminumnya. sial, berisik sekali. Kau pernah punya anak ketika penyamaran kan? Pasti kau punya pengalaman dengan bayi.”
“Heii... Ravi. Aku menunda eksekusi target hanya untuk mendengarkan pertanyaan seperti ini? Kau sedang dalam misi apa sih?” tanya Jeny, nadanya campuran antara tidak percaya dan jengkel.
“Ceritanya panjang, aku butuh bantuanmu...”
Jeny memijat pelipisnya. “Oke, baiklah... tenang. Pertama... kau identifikasi dulu apa penyebab bayi itu menangis. Dia umur berapa bulan?”
“Tidak tau…”
“Berapa panjang tubuhnya?”
“Sepanjang AK-47 kurang 26 cm, beratnya seberat shotgun magnum lebih setengah kilo.”
Jeny menghela napas panjang, mencoba memproses perbandingan yang absurd itu. “Oke, cek mulutnya apakah sudah memiliki gigi?”
“Ada 2 kecil.”
“Oke, kuperkirakan dia berumur 2 bulan... kau memberikan dia susu? Susu apa yang kau berikan?”
“Aku mengambil susu bayi di minimarket saat perjalanan kabur dari kejaran polisi.”
“Oke, kau sudah menyeduhnya dengan sesuai petunjuk?”
“Sudah, aku sudah dengan takaran 3 selongsong peluru kaliber 9mm.”
“Bagaimana dengan suhu airnya?”
“Sepanas orang demam.”
“Dia tak mau minum?”
Tiba-tiba pria di kursi itu mulai merintih lagi. “Tolong lepaskan aakuu... kumohon!!!”
Tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel, tangan Jeny dengan santai mengambil pistol dari meja dan menembak kaki pria itu. Letusannya menggema keras di ruangan sempit itu. Jeritan pria itu berubah menjadi pekikan kesakitan yang melengking.
“DIAM...!!!” bentak Jeny pada si korban, lalu kembali ke telepon dengan nada normal. “Oke lanjut... jadi dia tetap tak mau minum?”
“Ya, mulutnya tak mau dimasukkan dot,” kata Ravi, tampaknya tidak terganggu oleh suara tembakan dan jeritan di seberang telepon.
“Coba kau cek pampersnya...”
“Eh... pampers?”
“Astagah Ravi... kau itu pembunuh paling ditakuti seluruh dunia, kau tak tau pampers? Itu, benda putih yang berbentuk seperti kevlar yang menutupi alat kelamin si bayi.”
“Oh.. ini, sebentar.... Astagaahh... kotor sekali,” kata Ravi, suaranya terdengar jijik untuk pertama kalinya.
Jeny memutar bola matanya. “Aku maklum kau yang terbiasa mencium bau anyir mayat dan darah jadi tidak bisa merasakan aroma kotoran bayi”
“Oke lalu bagaimana? Setelah dibersihkan?”
“Kau cari pampers bayi ke minimarket, cari yang bertuliskan NB atau New Born, lalu kau pakaikan pada bayi itu.”
Lalu ravi terdengar diam sesaat dengan bunyi krasak-krusuk di telepon
“Oh... terima kasih ya.. setelah kubersihkan dia jadi tenang. Kalau kubiarkan seperti ini sampai besok pagi apakah aman?”