Keesokan harinya adalah hari pertama Ravi dalam misi barunya yaitu merawat bayi. Internet adalah medan pertempuran pertamanya. Ia harus membuatkan akta kelahiran untuk Devi agar bisa mendaftar Posyandu, sebuah pos pemeriksaan yang menurutnya terdengar seperti pos militer, supaya Devi bisa mendapatkan vaksin sesuai jadwal. Ia pun mengirim pesan terenkripsi ke salah satu rekannya untuk datang malam ini.
Sepanjang hari, apartemen Ravi yang biasanya sunyi dan berbau antiseptik kini dipenuhi aroma susu formula dan tangisan bayi. Ia berkutat dengan botol susu, berperang dengan perekat popok, dan menguasai teknik baru menenangkan si bayi dengan cara menggendong dan menggoyangkannya perlahan.
Malam harinya, sekitar pukul 11, apartemen itu kembali hening. Devi sudah tertidur di ranjang kecilnya, napasnya halus kembang kempis. Ravi duduk di depan laptopnya. Cahaya dari layar adalah satu-satunya penerangan di ruangan itu, memantulkan deretan kata di wajahnya yang serius. Di layar, sebuah browser Tor dengan latar belakang gelap menampilkan hasil pencarian di forum: "Tips merawat bayi untuk pemula."
Tiba-tiba, keheningan itu dipecah oleh ketukan di pintu.
‘tok tok’
Ia berjalan santai menuju pintu depan. Beberapa langkah sebelum tangannya mencapai gagang pintu, Ravi menghentikan langkahnya.
“DOOORRR....!!!”
Sebuah ledakan memekakkan telinga merobek malam. Pintu kayu solid di depannya meledak ke dalam, serpihan kayu beterbangan seperti pecahan granat. Asap mesiu yang pedas langsung memenuhi udara. Ravi, yang seakan sudah tahu apa yang akan terjadi, bahkan tidak terkejut. Ia hanya sedikit memiringkan kepalanya, membiarkan segerombolan peluru gotri dari shotgun itu lewat beberapa inci dari wajahnya dan menancap di dinding belakang.
Ravi mengintip dari lubang menganga di pintunya. “Tumben kau menggunakan shotgun? Terlalu berisik. Mana senapan magnum-mu?” tanyanya dengan nada datar.
Di luar, berdiri seorang pria kulit hitam dengan rambut keriting tipis, berbadan agak gemuk, dan berkacamata. Di tangannya, sebuah shotgun masih mengepulkan asap. Dia tersenyum lebar. Ravi membuka sisa pintunya. Rekannya itu langsung mendekat, memberikan salaman erat yang diakhiri dengan pelukan menepuk punggung.
“Heeii.. Ravi! Sudah lama tak jumpa, sobat!” katanya dengan suara bariton yang ramah, sama sekali tidak cocok dengan pintu yang baru saja ia hancurkan.
“Bisnismu baik, Ramdan?” tanya Ravi, menunjuk pintu dengan dagunya. "Sepertinya kau sedang banyak uang untuk mengganti pintu orang."
“Yah, masih seperti biasa. Orang seperti kita hampir tak pernah ada kata libur,” jawab Ramdan, melangkahi serpihan pintu.
Keduanya berjalan menuju ruang tengah. Tiba-tiba, sayup-sayup terdengar suara tangisan bayi, sirene kecil yang sepertinya terbangun karena "ketukan" Ramdan tadi. Ekspresi datar Ravi pecah oleh sedikit kepanikan. Ia langsung bergegas menuju ruang tengah dan menggendong lembut Devi.
Ramdan mengikuti dan langkahnya terhenti. Matanya membelalak di balik kacamatanya. “Tunggu... kau punya anak?”
“Bukan anakku.”
“Lalu? Kau menculik anak pejabat? Ini misi?”
“Ceritanya panjang,” kata Ravi sambil menenangkan Devi. “Kau punya keluarga, kan? Bisa buatkan susu untuk anak ini? Semua peralatannya di dapur.”
“Oh.. oke.” Ramdan, masih bingung, bergegas ke dapur. Pemandangan di sana membuatnya lebih terkejut lagi. Meja dapur dipenuhi tumpukan kaleng susu formula yang disusun seperti barikade. Bungkusan-bungkusan popok berbagai merek ditumpuk di sudut, sebagian sudah dibuka isinya untuk "dianalisis". Di sebelah kaleng susu yang terbuka, ada sebuah selongsong peluru 9mm yang sepertinya digunakan sebagai sendok takar. Ramdan hanya bisa menggelengkan kepala.
Setelah membuatkan susu, ia kembali dan menyerahkan botol itu pada Ravi. Ramdan masih menatap pemandangan di depannya dengan tidak percaya: Ravi, sang mesin pembunuh paling menakutkan yang pernah ia kenal, kini sedang dengan sabar memberikan susu pada bayi mungil.
“Aku tahu banyak pertanyaan di kepalamu. Setelah anak ini tidur, aku akan ceritakan semuanya,” kata Ravi.
Tidak lama, Devi kembali terlelap. Ravi menaruhnya di ranjang dengan kelembutan yang kontras dengan reputasinya. “Oke.. kuceritakan semuanya.”
Ravi menceritakan segalanya. Tanggapan Ramdan hampir sama dengan Jeny. “Kau terlalu profesional. Itu yang membuatmu mengerikan, sekaligus menjebakmu dalam aturanmu sendiri. Lalu, apa yang kau butuhkan dariku, kawan”
“Aku butuh identitas legal. Untukku dan untuk anak ini. Jeny mau membantu, tapi dia sibuk. Jadi, aku coba riset sendiri.”
Ramdan menyipitkan mata. “Tunggu dulu... kau bilang kau riset di internet? Kulihat laptopmu tadi, kau membuka browser Tor. Kau mencari informasi merawat bayi di Darkweb?”
“Memangnya harus cari di mana lagi?” tanya Ravi, benar-benar bingung.
Ramdan memijat pangkal hidungnya. “Hanya kau, Rav. Hanya kau yang mencari tips mengganti popok di tempat orang menjual ginjal. Lain kali, coba Google saja.”
“Aku hanya tahu itu.”
“Baiklah,” kata Ramdan, kembali profesional. “Aku bisa membuat berkas legal. Tapi kau harus memilih strateginya. Jadi ayah angkat, atau ayah kandung?”
“Jelaskan kelebihan dan kekurangannya.”
Ramdan terdiam sejenak, tatapannya beralih dari Ravi ke ranjang bayi di sudut ruangan. Ia melepas kacamatanya dan mengelapnya perlahan.
“Ini bukan sekadar memilih strategi, Rav. Ini memilih jenis luka yang akan kau berikan pada anak itu kelak,” katanya pelan, nadanya berubah lebih serius.
“Begini,” lanjutnya sambil memasang kembali kacamatanya. “Opsi pertama: kau menjadi ayah angkatnya. Secara teknis, ini lebih 'jujur'. Kau tidak menghapus jejak ibunya. Tapi kau harus paham, kau akan memberinya label ‘anak angkat’ seumur hidupnya.”
Ia menatap lurus ke mata Ravi. “Saat dia tumbuh, pertanyaan itu akan selalu datang. Di sekolah, dari teman-temannya, bahkan dari keluarganya kelak. ‘Siapa orang tua kandungmu? Kenapa kau dibuang?’ Dunia ini kejam, sobat. Seorang anak yang tidak punya dosa bisa dihancurkan mentalnya hanya karena status itu, dia akan dibully dengan sebutan ‘anak pungut’, ‘anak haram’, dan sebutan menyakitkan lainnya. Dia akan menanggung beban dari masa lalu yang bahkan tidak ia ingat. Belum lagi risiko keamanannya. Nama ibunya di akta itu seperti bom waktu yang terus berdetak.”
Ramdan menghela napas.
“Lalu, opsi kedua: kau menjadi ayah kandungnya. Ini adalah membuat tembok secara total. Kau membangun sebuah benteng di sekelilingnya. Kau menghapus jejak gelap orang tuanya, membakarnya sampai jadi abu. Kau memberinya cerita yang utuh, awal yang bersih. Dia akan tumbuh dengan rasa aman, tanpa lubang dalam identitasnya. Tak akan ada yang bisa menggunakan statusnya untuk menyakitinya.”
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-kata-katanya meresap.
“Tapi…,” lanjut Ramdan, suaranya melembut. “Benteng itu dibangun di atas kebohongan. Kebohongan yang harus kau rawat setiap hari selama belasan tahun. dan suatu saat nanti, saat kau memberitahunya, tembok itu akan runtuh menimpanya. Pada akhirnya, kau hanya bisa memilih di antara dua hal : memberinya luka-luka kecil dari serpihan kebenaran di sepanjang hidupnya, atau memberinya satu luka menganga yang dalam dari sebuah kebohongan utuh di akhir cerita. Pilihan mana yang menurutmu bisa lebih cepat dia teirma ketika dewasa kelak?”
Ravi tampak berpikir sejenak, matanya menatap Devi mungil yang tengah terlelap.
Dalam keheningan yang berat...
“Oke. Aku akan jadi ayah kandungnya,” putusnya.
“Pilihan yang berani,” kata Ramdan. “Aku akan mengerjakannya. Tujuh hari dari sekarang, berkasnya akan siap. Tapi ingat, ini bukan cuma kertas. Kau akan punya identitas legal, kau adalah pembunuh professional yang berkecimpung didunia kriminal, kau siap?”
Ravi mengangguk.
“Baiklah. Ini permintaan teraneh yang pernah kukerjakan. Membantu hantu untuk menjadi manusia,” kata Ramdan. “Siapa nama lengkapnya?”
“Devi... Devi Leora.”
“Cantik. Lalu kau? Siapa nama lengkapmu di akta nanti?”
“Gunakan nama asliku.”
Ramdan tertawa kecil. “Aku yang sudah lama kenal saja hanya tahu namamu Ravi. Ravi siapa?”
“Terserah kau. Pikirkan saja sendiri. Aku sendiri hanya tahu namaku Ravi.”
Ekspresi Ramdan melembut. Ia mengerti. “Baiklah, akan kupikirkan nama yang pantas untukmu, kawan..”
“Bagaimana dengan keluargamu?” tanya Ravi, sebuah pertanyaan yang langka darinya.
Ramdan tersenyum tipis, senyum yang mengandung kerinduan. “Yah, mereka hidup normal di belahan bumi yang lain. Mereka tidak di sini. Kau tahu sendiri, pekerjaan kita ini tidak memungkinkan kita untuk punya keluarga yang utuh di sisi kita. Aku kadang pulang setahun sekali, itu pun harus dipastikan sedang tidak ada 'proyek' dan tidak ada yang mengikuti.”