Hari demi haripun berlalu, hingga pada hari di mana berkas-berkas legal untuk Ravi dan Devi sudah jadi. Siang itu, apartemen Ravi yang biasanya sunyi kini beraroma campuran aneh antara bedak bayi, susu formula, dan minyak telon. Jeny, yang kebetulan sedang libur misi, datang berkunjung.
Ravi tampak sedang memakaikan baju tidur mungil pada Devi yang baru saja selesai dimandikan. Sementara Jeny, dengan wajah sedikit jijik, tengah membereskan "zona bencana" yang disebut Ravi sebagai dapur, tumpukan botol susu kotor, kaleng formula kosong, dan kotak-kotak popok yang berserakan.
“Kau tampak lelah sekali,” kata Jeny, sambil mengikat kantong sampah yang penuh.
“Aku dalam seminggu ini menyelesaikan tiga misi. Semuanya harus pakai rencana cepat karena alarm anak ini,” kata Ravi, matanya sedikit merah karena kurang tidur.
“Rencana cepat itu tidak efisien dan membuang banyak tenaga. Aku benar-benar butuh istirahat.”
“Yah, kau menjadi ibu dan ayah dalam satu waktu,” Jeny terkekeh.
“Pantas saja. Kau sepertinya perlu asisten rumah tangga. Baru kutinggal beberapa hari, tempat ini sudah sehancur markas penyelundup yang digerebek.”
“Asisten rumah tangga?” tanya Ravi, mengangkat satu alisnya.
Jeny berpikir sejenak. Ia membayangkan seorang wanita paruh baya yang lugu masuk untuk menyapu, lalu tidak sengaja menginjak ranjau-tekanan di bawah karpet, atau salah mengelap dan mengaktifkan panel senjata tersembunyi di dinding.
“Tidak, lupakan,” kata Jeny cepat. “Kasihan asisten rumah tanggamu. Baru sehari kerja, besoknya mungkin sudah pulang tinggal nama.”
Tiba-tiba, pintu depan yang sudah diperbaiki Ravi (dengan asal-asalan) berderit terbuka. “Haloo Ravi! Tumben pintu depanmu tidak dikunci... kau...”
Ramdan masuk sambil membawa map coklat besar. Langkahnya terhenti seketika. Matanya langsung terkunci pada Jeny yang berdiri di dapur Ravi.
Jeny, yang mendengar suara ramdan, sudah melepaskan kantong sampah. Tangannya menyambar pisau dapur terdekat.
Dalam sepersekian detik, ruangan itu meledak.
Ramdan, dengan kecepatan yang sangat tidak sesuai dengan postur gemuknya, menjatuhkan map itu dan mengeluarkan dua pistol dari balik jaketnya. Jeny tidak menunggu, ia melempar pisau dapur itu seperti rudal.
SYUUTT! Ramdan memutar tubuhnya. Pisau itu menggores bahunya, hanya merobek kain jaket. DORR! DORR! Dua tembakan balasan Ramdan memekakkan telinga.
Jeny sudah tidak di sana. Ia berguling lincah melewati sofa, menggunakan perabot itu sebagai tameng. Peluru menghantam tempat ia berdiri sedetik lalu, merobek tumpukan kaleng susu di meja.
Di tengah kekacauan itu, Ravi hanya menghela napas. Dengan tenang, ia meraih penutup telinga berbentuk bando headphone berwarna pink dan memakaikannya ke telinga Devi. “Maaf ya, Dev,” gumam Ravi, menimang-nimang bayinya. “Tante Jeny dan Om Ramdan sedang saling menyapa.”
BLAM! BLAM! BLAM! Ramdan menembaki sofa, mencoba menembus pertahanan Jeny. Serpihan kayu dan busa sofa berterbangan ke mana-mana, memenuhi udara dengan debu.
Dari bawah sofa, sebilah pisau tempur kedua meluncur deras, mengincar pergelangan kaki Ramdan. Ramdan melompat mundur. Pisau itu menancap dalam di lantai kayu.
Jeny menggunakan kesempatan itu. Ia melesat dari balik sofa yang hancur, kini memegang pisau ketiganya yang lebih kecil. Jarak dekat adalah keahliannya. Ia menyerang dalam sekejap, mengincar titik-titik vital Ramdan.
DESING! KLANG! Ramdan menangkis tusukan yang mengarah ke lehernya menggunakan laras pistol. Tubuhnya gemuk, tapi padat dan terlatih. Ia menggunakan bobotnya untuk mendorong Jeny, lalu menembakkan pistolnya dari jarak dekat.
Jeny mengelak, memutar tubuhnya, membiarkan peluru itu hanya menyerempet lengannya. Ia balas menyerang, sabetan pisaunya merobek lengan jaket Ramdan. Keduanya bergerak dalam tarian mematikan. Ramdan menembak, Jeny mengelak. Jeny menusuk, Ramdan menangkis. Asap mesiu yang pekat memenuhi ruangan.
Ravi, yang masih berdiri di sudut ruangan sambil menimang Devi, sedikit memiringkan kepalanya ke kiri. Sebuah peluru nyasar melesat melewati tempat kepalanya tadi berada dan menancap di dinding.
“bolong bolong deh tembok rumahku,” keluh Ravi.
Pertarungan mencapai puncaknya. Jeny berhasil menepis satu pistol Ramdan hingga terlepas. Tapi Ramdan menggunakan pistol keduanya, mengarahkannya langsung ke dada Jeny. Tepat pada saat yang sama, pisau Jeny berhasil menembus pertahanan Ramdan dan ujungnya yang dingin menempel sempurna di arteri karotis di leher Ramdan.
Keduanya membeku. Stalemate...
Napas mereka terengah-engah. Ozon dan bau mesiu terasa pekat di hidung. Hanya suara dengkuran halus Devi yang memakai headphone yang terdengar.
Hening sesaat. Perlahan... Ramdan menurunkan pistolnya. Jeny menurunkan pisaunya.