Kontrak Terakhir

cahyo laras
Chapter #5

BAB 4 - Imunisasi?

Keesokan paginya, matahari sudah bersinar terik, menyengat aspal jalanan. Pukul 07.30. Pintu depan terbuka pelan.

Masuklah sesosok makhluk yang lebih mirip korban ledakan tambang daripada manusia. Ravi berdiri di ambang pintu, jas hitam mahalnya kini sudah sangat lusuh penuh noda, debu, kotoran, dan bercak darah yang sudah membeku. Wajahnya cemong oleh jelaga, tangannya kotor berlumuran oli dan darah kering, serta ada bau sangit mesiu, dan keringat yang mencuat kuat dari tubuhnya.

Seperti yang dikatakan Jeny, dia hanya menjaga sampai subuh. Rumah kosong, hanya ada Ravi yang babak belur dan Devi yang masih terlelap.

Ravi menghempaskan badannya ke dinding sebentar, mengatur napas. ‘Sial,’ batinnya. ‘Intelijen klien sampah. Kupikir lawanku satpam bank yang mengantuk. Ternyata yang menjaga permata itu satu skuad pembunuh bayaran elit. Dan pelarianku? Kenapa harus ada satu peleton tentara yang kebetulan lewat dan ikut mengejar? Boros amunisi.’

Ravi menyeret kakinya ke kamar. Ia menemukan Devi masih tidur dengan damai di ranjang mungilnya, tidak peduli bahwa ayahnya baru saja memicu perang kecil di pusat kota.

Melihat jam dinding, mata Ravi membelalak. Waktu pendaftaran Puskesmas hampir tutup. Tidak ada waktu untuk mandi, apalagi tidur.

Dengan gerakan taktis namun tergesa-gesa, Ravi menyambar berkas-berkas legal dari Ramdan. KREK. Suara velcro berbunyi saat ia memasukkan Kartu Keluarga, KTP, dan Akta Lahir ke dalam slot granat di rompi taktis di balik jasnya yang robek. Dokumen itu terselip aman di tempat yang biasanya diisi granat asap.

Di meja, ia melihat sebuah diaper bag dengan motif kelinci yang sudah disiapkan Jeny. Isinya lengkap: pampers, botol susu steril, susu formula dalam plastik klip (yang sekilas mirip paket narkoba), dan termos silver. Ravi menyampirkan tas kelinci itu di bahunya yang lusuh, kontras dengan aura membunuhnya.

Ia menggendong Devi dengan hati-hati, lalu berlari keluar.

Di halaman, mobil sedan hitamnya sudah menunggu. Kondisinya mengenaskan. Kaca depan pecah total, kap mesin berasap, spion kiri hilang, dan pintu pengemudi dihiasi deretan lubang peluru.

Ravi masuk, menyalakan mesin yang batuk-batuk, dan tancap gas. Angin pagi menerpa wajahnya langsung karena tidak ada kaca depan, membuat rambutnya yang kotor semakin acak-acakan.

Ia membuka ponselnya dengan satu tangan, mengetik "Puskesmas Terdekat" di GPS. Jalur terdeteksi. Ravi memacu mobil rongsokannya membelah kemacetan pagi, mengabaikan tatapan horor pengendara lain.

Akhirnya, dia sampai. Ia membelokkan mobilnya masuk ke area parkir Puskesmas yang padat. Tukang parkir yang sedang mengatur motor tiba-tiba melompat mundur. Matanya melotot melihat rongsokan berjalan itu masuk. Asap hitam mengepul dari knalpot saat Ravi mematikan mesin.

Tukang parkir itu mendekat dengan ragu, yakin 100% ini adalah korban tabrakan beruntun. Ravi keluar. Penampilannya melengkapi paket bencana itu: Jas lusuh, muka lebam, gendong bayi, tas kelinci.

“Pak... Ya ampun, Pak!” seru tukang parkir panik. “Kalau habis kecelakaan parah begini sebaiknya langsung ke UGD Rumah Sakit, Pak! Puskesmas alatnya kurang lengkap!”

Ravi menatap mobilnya yang berlubang-lubang peluru, lalu menatap tukang parkir itu dengan wajah datar tanpa ekspresi. “Ti... tidak,” jawab Ravi kaku. “Aku hanya menghindari ayam menyebrang.”

Tukang parkir itu melongo. 'Ayam macam apa yang bisa bikin mobil jadi saringan begitu?'

Tanpa menjelaskan lebih lanjut, Ravi berjalan masuk.

Begitu ia melangkah masuk ke lobi Puskesmas, suasana mendadak hening. Puluhan pasang mata ibu-ibu menyusui, lansia yang batuk-batuk, dan balita yang berlarian semua tertuju padanya. Di tempat yang penuh bau minyak telon dan antiseptik ini, Ravi membawa aroma aspal terbakar dan bahaya.

Satpam Puskesmas, seorang bapak tua yang biasanya hanya menegur orang merokok, berdiri dengan gugup. Tangannya gemetar memegang tongkat pentungan, bingung apakah harus menolong atau menangkap orang ini.

“Ada... ada perlu apa ya, Pak?” tanya satpam, berusaha ramah meski keringat dingin mengucur.

Ravi menatapnya tajam, lalu pandangannya turun ke Devi yang tidur di pelukannya. “Aku mau imunisasi anakku.”

Satpam itu mengerjap. “O-oh... imunisasi...” Ia menunjuk ke arah loket dengan jari gemetar. “Langsung saja ke sebelah sana, Pak... ambil nomor antrian dulu.”

“Terima kasih,” kata Ravi singkat.

Ravi berjalan menuju mesin antrian. Langkahnya terpincang-pincang jelas. Di mata orang lain, itu adalah pincang kesakitan akibat kecelakaan. Padahal, itu adalah cedera otot hamstring akibat menendang dada seorang tentara bayaran seberat 100 kilo beberapa jam yang lalu.

Ravi melangkah menuju mesin antrian, sebuah kotak logam putih dengan tombol hijau besar yang menjanjikan efisiensi. Dengan jari telunjuk dia menekan tombol itu.

Hening... Tidak ada suara mekanis, tidak ada kertas yang keluar.

“Pak, alatnya rusak. Ambil antrian kertas di paku itu,” teriak seorang petugas wanita dari balik kaca loket pendaftaran, suaranya melengking di atas keributan lobi.

Ravi menatap paku berkarat yang menancap di balok kayu, tempat tumpukan potongan kertas bekas kalender ditusuk. Ia mengambil satu. Kertas itu kusam, dengan angka 88 yang ditulis manual menggunakan spidol hampir habis.

Dengan langkah yang sedikit terpincang, Ravi berjalan menuju satu-satunya kursi kosong. Kursi itu berada tepat di tengah-tengah ibu-ibu dan balita.

Saat ia duduk, atmosfer berubah. Obrolan ibu-ibu meredup sesaat. Semua mata tertuju padanya. Di tempat yang didominasi aroma minyak telon dan bedak bayi, Ravi membawa masuk aroma yang sangat asing: campuran sangit mesiu, karet ban terbakar, dan sisa adrenalin yang basi. Jasnya yang lusuh tampak kontras dengan daster batik warna-warni di sekitarnya.

Di sebelahnya, duduk seorang wanita berumur 35 tahun, berkerudung rapi, menggendong anak berusia setahun yang sedang mengunyah biskuit. Wanita itu tersenyum ramah pada Ravi, senyum solidaritas sesama orang tua.

Ravi mencoba membalas. Otot wajahnya yang kaku karena tegang semalaman mencoba membentuk senyuman. Hasilnya mengerikan. Bibirnya tertarik kaku, matanya tidak ikut tersenyum. Itu bukan senyum ramah, itu senyum psikopat yang baru menemukan korban.

“Huaaaaaa!” Balita di pangkuan wanita itu langsung menjerit ketakutan, biskuitnya jatuh.

“Cup cup sayang... Om-nya baik kok,” kata ibunya menenangkan, meski ia sendiri sedikit bergeser menjauh.

“Antrian nomor 11!” seru petugas loket melalui pengeras suara yang sember.

Ravi melirik kertas di tangannya: 88. Ia menarik napas panjang, aroma antiseptik murah menusuk hidungnya. Otaknya yang taktis langsung melakukan kalkulasi cepat: Rata-rata waktu per pasien 5 menit. Selisih antrian 77. Estimasi waktu tunggu: 385 menit.

“Mas, maaf...” suara wanita di sebelahnya memecah lamunannya. “Masnya kerja apa ya? Kok kelihatan... lusuh begitu? Gak sempat ganti baju ya?”

Ravi menoleh pelan. Matanya secara otomatis memindai wanita itu.

“Ya... saya... kurir barang,” jawab Ravi singkat, suaranya berat dan serak.

“Wah, pasti berat ya?” ucap wanita itu simpatik. Di pikiran wanita itu: Ravi sedang mengangkat kardus-kardus paket ke atas motor, mengikatnya dengan tali karet ban, lalu mengelap keringat dengan handuk kecil.

“Tidak, Hanya beberapa benda saja. Tapi... mahal,” jawab Ravi. Di pikiran Ravi: Kilas balik semalam. Ia merayap di lorong ventilasi yang sempit dan berdebu, menghindari sensor laser inframerah kelas militer, lalu menggunakan stetoskop elektronik untuk memecahkan kombinasi brankas titanium seberat dua ton.

“Wow... pasti ngambil barangnya susah ya?” tanya wanita itu lagi, matanya berbinar. Di pikiran wanita itu: Ravi sedang jinjit mengambil paket kecil di atas rak gudang logistik yang tinggi, menggunakan kursi plastik yang agak goyang.

“Ya, memang susah.” jawab Ravi datar. Di pikiran Ravi: Pintu brankas meledak. Alarm meraung. Empat orang penjaga elit dari sindikat Rusia menyerbu masuk dengan senjata otomatis. Ravi melakukan slide di lantai marmer sambil menembak dua arah sekaligus.

“Waktu nganter barangnya pasti lebih susah lagi ya? Sampai lusuh begitu, tangannya juga banyak goresan,” kata wanita itu, menunjuk punggung tangan Ravi yang penuh goresan. Di pikiran wanita itu: Ravi naik motor bebek tua, dikejar anjing pudel galak di komplek perumahan elit, lalu terpeleset masuk selokan karena jalan licin.

“Sangat susah. Jalurnya... sulit” jawab Ravi. Di pikiran Ravi: Ia memacu mobil sedannya menembus barikade polisi. Dua helikopter tempur menyalakan lampu sorot dari atas. Peluru kaliber 50 merobek aspal di samping bannya. Ia harus menyetir dengan lutut sambil melempar granat asap ke belakang.

“Yah, namanya juga cari uang zaman sekarang ya, Mas? Apapun demi anak,” kata wanita itu bijak. Di pikiran wanita itu: Ravi menyerahkan paket kosmetik ke seorang ibu rumah tangga, menerima 2 lembar sepuluh ribuan, lalu tersenyum puas bisa membelikan sesuatu untuk makan malam dan anaknya.

“Ya, begitulah. Demi anak” jawab Ravi. Di pikiran Ravi: Ia berdiri di hadapan klien mafia di sebuah dermaga gelap. Klien itu, yang memiliki wajah penuh tato tengkorak, menyerahkan sebuah hard drive berisi kode akses crypto wallet. Ravi mengecek saldo di ponselnya: 20 Bitcoin masuk. Transaksi selesai.

Wanita itu mengangguk-angguk, merasa terhubung dengan perjuangan sesama orang kecil. “Anaknya cewek ya? Namanya siapa?”

 “Devi.”

Lihat selengkapnya