Di permukaan, dunia berjalan seperti biasa. Polisi mengatur lalu lintas, dan Tentara menjaga perbatasan. Namun, untuk ancaman yang tidak bisa ditangani oleh hukum biasa seperti terorisme kelas berat, sindikat internasional, dan ancaman yang bisa meruntuhkan stabilitas negara dalam semalam, negara memiliki satu mekanisme pertahanan terakhir.
SBN (Satuan Bayangan Negara).
Unit ini tidak tercatat dalam anggaran publik. Anggotanya tidak memiliki NIP atau NRP yang bisa dilacak. Mereka adalah hantu. Dibentuk melalui dekrit rahasia dan bertanggung jawab langsung di bawah Presiden, SBN memegang otoritas tertinggi untuk "membersihkan" masalah dengan cara apa pun. Jika SBN memerintahkan Jenderal Bintang Empat untuk mundur, sang Jenderal harus mundur.
Markas mereka tersembunyi jauh di bawah tanah sebuah gedung arsip tua yang tak terpakai di pinggiran ibu kota. Di balik dinding beton setebal dua meter yang dilapisi timbal, udara dipompa secara artifisial, dingin dan berbau ozon dari puluhan server superkomputer yang berdengung rendah tanpa henti. Cahaya biru dari monitor-monitor raksasa memantul di wajah-wajah serius para operator yang mengetik dengan kecepatan tinggi, memantau setiap inci negara melalui satelit dan kamera pengawas.
Di tengah ruangan komando yang hening namun sibuk itu, berdiri seorang pria paruh baya dengan postur tegak sempurna. Rambutnya memutih di bagian pelipis, dipotong cepak gaya militer. Matanya tajam, mengawasi peta digital kota yang dipenuhi titik-titik data.
Dia adalah Komandan Tommy. Pria yang memegang kendali atas bayang-bayang ini.
“Laporan masuk dari Agen Sandi, Komandan,” lapor seorang operator. “Audio jernih. Dia menggunakan saluran aman di frekuensi rendah.”
Tommy menekan tombol di earpiece-nya. “Masuk, Sandi. Bagaimana situasinya?”
Di ujung sana, di tengah keramaian gudang logistik, Agen Sandi sedang menyamar. Dia mengenakan jaket kulit lusuh, membaur sempurna dengan puluhan tentara bayaran lainnya. Dia berdiri di pojok remang-remang di balik tumpukan peti kemas, berpura-pura sedang merokok sambil berbicara pelan ke mikrofon di kerah bajunya.
“Lapor, Komandan. Target dikonfirmasi. Pemuda bernama Riki yang mendanai ini semua. Dia mengumpulkan puluhan tentara bayaran elit. Dan... informasinya valid. Dia menyewa The Red Knife.”
Tommy menyipitkan matanya. “Red Knife? Kau melihatnya langsung?”
“Siap.. Saya melihatnya memotong tangan seseorang dalam sekejap mata barusan dan membunuh beberapa pembunuh bayaran dalam sekejap mata. Dalam misi ini, Tujuannya adalah Rumah Sakit Pusat Medika. Ada pasien VIP di sana... seorang wanita yang akan melahirkan. Motif Riki adalah dendam pribadi. Perintahnya spesifik: Bunuh bayinya, hancurkan ibunya.”
“Kenapa butuh pasukan sebanyak itu?”
“pasien VIP itu dijaga ketat juga oleh Agen perlindungan yang berlapis, dan juga syarat dari Red Knife. Dia ingin 'pesta'. Mereka akan menyerang secara frontal. Riki mengizinkan Red Knife untuk meratakan rumah sakit itu. Siapapun yang ada disana tak hanya bodyguard pasien, dokter, perawat, pasien akan dihabisi.”
Rahang Tommy mengeras. “Gila. Itu terorisme murni. Kapan eksekusinya?”
“Rencananya belum diketahui, saya dengar mereka akan melakukan observasi dulu dalam beberapa hari secara tersembunyi. Saya akan tetap menyamar bersama mereka untuk update posisi real-time saat mereka bergerak.”
“Bagus. Jangan ambil resiko yang tidak perlu dengan melakukan konfrontasi apapun. Kabari langsung ketika hari penyerangan sudah terkonfimasi.”
“Siap. Sandi keluar.”
KLIK. Koneksi terputus.
Di markas SBN, Tommy menghela napas lega. Dia punya intelijen di dalam. “Siapkan Tim Alpha dan Bravo, persiapkan segala persenjataan, lawan kita adalah Red Knife” perintah Tommy tegas.
Di Gudang Logistik
Sandi menurunkan tangannya dari kerah baju. Ia menghembuskan asap rokok terakhirnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Penyamarannya sempurna. Tidak ada yang curiga.
Dia berbalik badan, berniat kembali ke kerumunan tentara bayaran untuk membaur.
Namun, langkahnya terhenti seketika. Jantungnya seakan berhenti berdetak.
Tepat di hadapannya, menghalangi jalan keluar dari balik tumpukan peti, berdiri sosok lelaki dengan rambut gondrong. Red Knife.
Wajah Sandi pucat pasi. Dia tidak mendengar langkah kaki sedikit pun. Orang ini muncul begitu saja seperti hantu. Sandi berusaha keras mempertahankan wajah santainya.
“Woi, Bos,” sapa Sandi dengan senyum kaku, mengangkat bungkus rokoknya. “Ada apa? Mau minta rokok?”
Red Knife tidak menjawab. Dia hanya menatap Sandi dengan mata yang hitam dan kosong, tapi bibirnya menyunggingkan senyum yang sangat tipis. Di tangannya, dia memainkan sebuah pisau karambit kecil, memutarnya di jari telunjuk.
“Kau punya suara yang bagus saat melapor,” kata Red Knife pelan.
Darah Sandi membeku. Dia tahu. Instingnya mengambil alih. Tangan Sandi bergerak cepat menuju pistol di pinggangnya untuk menembak.
SRING!
Terlalu lambat. Jauh terlalu lambat. Sebelum jari Sandi menyentuh gagang pistol, Red Knife sudah bergerak. Bilah karambit itu menyayat leher Sandi dengan gerakan horizontal yang cepat dan presisi.
“Ghhhkk...” Sandi tercekik. Darah segar menyembur, membasahi jaket kulitnya. Dia jatuh berlutut, tangannya memegangi lehernya yang terbuka, mencoba menahan nyawanya yang mengalir keluar. Dia menatap Red Knife dengan pandangan tidak percaya.
Red Knife hanya berdiri di sana, menatap Sandi mati perlahan tanpa emosi, seolah sedang melihat serangga yang sekarat. Tubuh Sandi ambruk ke lantai gudang yang kotor. Tewas.