Kontrak Terakhir

cahyo laras
Chapter #7

BAB 6 - Iblis yang bersedih

Malam semakin larut, namun rumah Ravi terasa berbeda dari biasanya. Tidak ada suara tembakan, hanya suara tangisan bayi yang menyayat hati, melengking tanpa jeda, memantul di dinding-dinding dingin rumah itu.

Ravi, pria yang bisa tidur di tengah hujan mortir, kini mondar-mandir dengan keringat dingin membasahi pelipisnya. Tangannya gemetar bukan karena takut musuh, tapi karena ketidaktahuan. Devi ada di gendongannya, tubuh mungil itu terasa seperti bara api yang membakar kulitnya.

Ia menyambar ponselnya. Jemarinya yang biasanya presisi kini salah menekan tombol dua kali sebelum akhirnya tersambung ke Jeny.

“Halo, ada apa Rav?” suara Jeny terdengar diiringi suara letusan samar di latar belakang. “Apakah kau sedang dalam misi?” tanya Ravi, suaranya serak.

“Ya... begitulah, Ini pasti tentang Devi, kan?”

“Devi demam,” Ravi berkata cepat, nadanya putus asa. “Apa yang harus kulakukan? Dia menangis sudah satu jam. Dia menolak susu. Popoknya bersih. Aku sudah mengecek suhu ruangan, ventilasi, tidak ada ancaman eksternal. Tapi dia... dia panas sekali.”

Jeny terdiam sejenak, mendengar kepanikan murni di suara rekannya yang biasanya sedingin es. “Pasti itu karena vaksin tadi pagi,” kata Jeny tenang.

KLIK. Otak Ravi memproses informasi itu sebagai "serangan". Wajah dokter di Puskesmas tadi melintas di benaknya. Jarum suntik itu. Cairan itu. Matanya menyipit tajam, pupilnya mengecil. Dalam sepersekian detik, Ravi sudah memetakan rute kembali ke Puskesmas, cara membobol pintu rumah dokter itu, dan sepuluh metode berbeda untuk mengakhiri hidup orang yang telah "meracuni" anaknya.

“Rav...” suara Jeny memotong visualisasi pembunuhan itu. “Hentikan. Hentikan instingmu untuk membunuh dokter itu... Sekarang.”

Ravi tersentak, kembali ke realitas. Napasnya memburu. “Itu reaksi normal, bodoh. Imunisasi memang begitu,” lanjut Jeny lembut tapi tegas. “Tapi kalau dia menolak susu, ada risiko dehidrasi. Sebaiknya kau bawa Devi ke UGD Rumah Sakit Besar segera. Minta infus untuk mengganti cairan tubuhnya dan observasi.”

“Rumah sakit... infus... observasi. Dimengerti,” gumam Ravi Tegas. “Terima kasih.”

“Kalau ada apa-apa hubungi aku. Aku akan kontak Ramdan agar menyusulmu. Kau butuh backup emosional, Rav.”

 “Ya.”

Telepon ditutup. Tidak ada waktu untuk berpikir taktis. Ravi menyambar tas kelinci itu, memasukkan barang sembarangan. Ia memakai jasnya yang tergantung, lalu menggendong Devi lagi.

Ia berlari ke garasi. Di sana terparkir sedan hitam yang sudah hancur lebur bekas pelarian pagi tadi. Tidak mungkin. Matanya beralih ke sudut lain. Sebuah sport car dua pintu dengan mesin monster yang jarang ia pakai karena terlalu mencolok. Masa bodoh dengan penyamaran, pikirnya. Kecepatan adalah prioritas.

Ia meletakkan Devi di car seat dengan tangan gemetar. Saat ia memasang sabuk pengaman, ia menyadari sesuatu yang mengerikan. Tangisan Devi melemah. Bukan karena tenang, tapi karena lemas. Mata bayi itu setengah terbuka, sayu, dan berkabut.

Jantung Ravi seakan berhenti berdetak. “Bertahanlah” bisiknya.

Mesin mobil menderu. Ravi memacu kendaraan itu membelah jalanan kota, melanggar setiap lampu merah, menyalip dengan manuver gila yang hanya bisa dilakukan pembalap profesional. Tapi kali ini, dia tidak merasakan sensasi adrenalin. Dia hanya merasakan ketakutan yang mencekik.

Sesampainya di lobi IGD Rumah Sakit Pusat Medika, Ravi mengerem mendadak, meninggalkan jejak ban hitam di aspal. Ia melompat keluar, menyambar Devi, dan berlari masuk.

Pintu kaca otomatis terbuka. Aroma rumah sakit, alkohol, pembersih lantai, dan betadine langsung menyergapnya. Biasanya, Ravi akan memindai CCTV, penjaga, dan jalur evakuasi. Malam ini, dia buta pada semua itu. Matanya hanya mencari satu hal: Penyelamat.

Ia menerjang ke meja triase perawat. “A... ada perlu apa, Pak?” tanya perawat wanita itu, kaget melihat pria berjas rapi dengan wajah pucat pasi dan mata liar.

“Anakku demam,” jawab Ravi. Suaranya berat, dalam, dan bergetar. Itu bukan suara seorang ayah yang khawatir. Itu suara seekor binatang buas yang terluka dan memohon pertolongan. Ada ancaman sekaligus permohonan di sana.

Perawat itu bergidik ngeri. Aura pria ini gelap dan berat. “Dokter! Pasien bayi!” teriak perawat itu memanggil rekannya.

Ravi menyerahkan Devi. Saat tangan perawat mengambil beban itu dari lengannya, Ravi merasa sebagian nyawanya ikut terambil. Devi dibawa ke tempat tidur tindakan. Perawat dan dokter muda mengerumuninya. Termometer ditempelkan. Stetoskop diperiksa.

Dunia melambat. Suara bip-bip monitor terdengar seperti dentang lonceng raksasa di telinga Ravi. Gerakan perawat yang cepat terlihat seperti slow motion. Cahaya lampu neon terasa terlalu terang, menyilaukan, membuat kepalanya pening. Ravi berdiri di tengah ruangan IGD yang sibuk, merasa kecil dan tidak berguna.

“Rav...” Sebuah tangan mendarat di bahunya. Berat dan nyata. Ravi menoleh patah-patah. Ramdan berdiri di sana, napasnya sedikit terengah, wajahnya penuh kekhawatiran.

“Devi sakit?” tanya Ramdan pelan.

“Ya... Demam...” Ravi menjawab, matanya kembali terpaku pada Devi yang kini sedang dipasang infus jarum kecil di tangannya.

 “Tubuhnya panas sekali... seperti memegang laras senapan yang baru ditembakkan... Dan tadi dia berhenti menangis... wajahnya pucat... dia diam saja, Ramdan. Dia diam saja.”

Ramdan menepuk-nepuk pundak Ravi, merasakan otot-otot sahabatnya itu menegang kaku seperti batu. “Tenangkan dirimu. Dia sudah ditangain orang yang tepat.”

Ravi merasakan sesuatu yang asing meremas dadanya. Rasa sakit yang bukan fisik. Rasa sesak. Rasa takut kehilangan yang begitu absolut hingga membuatnya terdiam.

“Pak,” panggil seorang perawat, membuyarkan lamunannya. “Kami akan observasi dulu. Bapak bisa urus administrasi di depan.”

Ravi menatap perawat itu kosong. ‘Administrasi? Kertas? Di saat seperti ini?’ pikir ravi.

 “Biar aku saja,” potong Ramdan cepat. Dia tahu Ravi sedang tidak berfungsi. “Kau temani saja Devi. Rav, mana KTP dan kartu asuransinya?”

“Tertinggal... di mobil...” jawab Ravi lemas. Dia, sang perencana paling teliti, melupakan berkas penting.

“Sudahlah, tak perlu. Datamu masih kusimpan di HP. Tanda tanganmu bisa kupalsukan nanti,” kata Ramdan sigap, lalu bergegas pergi.

Ravi kembali menatap Devi. Perawat memberi isyarat bahwa Devi akan dipindahkan. Ravi berjalan mengikuti brankar kecil itu seperti zombie. Dia tidak memedulikan lorong rumah sakit yang panjang. Dia tidak menganalisis potensi penyergapan. Insting membunuhnya tumpul, digantikan oleh insting purba untuk melindungi.

Lihat selengkapnya