Sementara itu, di Markas Besar SBN
Di sebuah ruangan luas yang dipenuhi alat-alat kebugaran, Komandan Tommy sedang menggantung di palang pull-up. Otot-otot punggungnya menegang dan rileks secara ritmis, keringat bercucuran membasahi tubuhnya yang kekar tanpa baju.
“...99... 100.”
Tommy turun, mendarat ringan. Ia menyeka keringat dengan handuk kecil. Napasnya teratur. Seorang kapten pasukannya datang mendekat dengan langkah tegap. “Siap melapor, Komandan. Dari informasi terbaru, Target Tanti sudah berada di rumah sakit.”
Tommy langsung beralih ke mode serius. “Apakah intel kita di lapangan menemukan kejanggalan?”
“Lapor. Terpantau beberapa individu mencurigakan yang diduga pembunuh dan tentara bayaran menyamar dan berlalu-lalang di dalam dan luar perimeter rumah sakit.”
Tommy mengerutkan kening. “Aneh. Kenapa Sandi belum melaporkan apapun? Haruskah aku bertindak sekarang? Atau menunggu konfirmasi visual dari Sandi?” batinnya bertarung.
“Kapan perkiraan kelahiran?” tanya Tommy. “Belum dipastikan, tapi Tanti dijaga ketat oleh Private Military Contractor (PMC) profesional.”
“Baik. Persiapkan pasukan terbaik. Kemungkinan operasi penyelamatan Level 5. Jangan lengah. Katakan pada intel lapangan untuk terus memantau. Kita tunggu informasi kunci dari Sandi yang masih ada di dalam lingkaran mereka,” perintah Tommy tegas. Ia tidak tahu bahwa Sandi sudah tiada.
“Siap...” Kapten itu berbalik, lalu teringat sesuatu. “Oh, satu lagi Komandan. Menurut informasi intel... mereka melihat Ramdan di rumah sakit itu.”
“Hah? Ramdan?” Tommy berhenti mengelap keringatnya. “Si broker data gendut itu? Kenapa dia di sana?” “Entahlah. Mungkin dia bagian dari tim pendukung Red Knife?”
Tommy berpikir sejenak, lalu menggeleng. “Tidak mungkin. Si Gendut itu memang petarung tangguh, seimbang dengan pasukan elit kita. Tapi dia bukan tipikal pembunuh brutal. Dia lebih suka mengacak-acak data negara sambil makan keripik daripada mengotori tangannya dengan darah. Pasti ada alasan lain.”
“Uang mungkin?”
“entahlah, Pantau dia juga.”
Kembali ke Kamar Devi
Seorang perawat masuk membawa nampan makanan untuk orang tua bayi. “Permisi Pak, apakah dedek bayinya sudah mau minum susu?” tanya perawat ramah.
Ravi dan Ramdan membeku. Seperti patung. Ravi memucat. Matanya membelalak horor. Lebih horor daripada saat melihat mayat. “Aku... aku lupa mambawa susu,” desis Ravi. “Dia tidak menangis seperti biasanya, jadi aku... lupa.”
“bukan apa-apa pak, hanya sekedar memastikan, kalau sudah bisa minum susu mungkin tidak perlu infus lagi” kata perawat.
Tanpa aba-aba, tanpa kata-kata, Ravi langsung berbalik badan dan melesat keluar ruangan seperti peluru. Susu formulanya tertinggal di mobil sport-nya di parkiran bawah.
“Maaf ya Mbak, maklum... ayah baru. Masih training,” ucap Ramdan sambil tersenyum canggung.
Ravi berjalan cepat di lorong VVIP. Ia melewati deretan bodyguard Tanti yang berdiri tegap seperti pagar betis di depan kamar sebelah. Mereka menatap Ravi dengan tatapan tajam dan mengintimidasi. Ravi tidak memperlambat langkahnya. Dalam pandangan slow motion, matanya membedah mereka satu per satu. ‘Senjata di pinggang kiri. Kuda-kuda kokoh. Tatapan disiplin. Agen terlatih. Tidak ada ancaman langsung pada Devi yang ada di kamar, tapi di kamar juga masih ada Ramdan, masih aman.’
Ravi masuk ke lift, menekan tombol lobi.
Saat pintu lift terbuka di lantai dasar, Ravi disambut oleh hiruk-pikuk rumah sakit. Pasien, dokter, pengunjung, semuanya berlalu-lalang. Ravi berjalan membelah kerumunan. Langkahnya cepat dan efisien. Insting Ravi mendeteksi ada banyak srigala yang berlalu lalang disekitarnya. Ia tetap berjalan cepat.
Di tengah perjalanan menuju pintu keluar, Insting Ravi aktif. Dia merasakan keberadaan sesuatu. Bukan manusia biasa. Dia berada di tengah kumpulan domba, dan radarnya baru saja mendeteksi predator alpha lain.
Dari arah berlawanan, di tengah keramaian pengunjung yang sibuk dengan urusan masing-masing, sesosok berjas hitam dan berambut gondrong berjalan santai, tapi Ravi bisa "mencium" bau darah dan logam darinya. The Red Knife. Mereka berjalan dalam satu garis lurus. Jarak semakin dekat. 5 meter. 3 meter.
Dunia di sekitar mereka seolah melambat drastis. Suara bising rumah sakit panggilan pengeras suara, tangisan anak, obrolan orang meredam menjadi dengungan latar yang jauh. Fokus Ravi terkunci pada mata pria itu. Mata Red Knife terkunci pada mata Ravi.
Dua predator puncak saling mengenali dalam satu kedipan mata. Mereka tidak perlu bicara. Aura membunuh yang mereka pancarkan saling bertabrakan di udara, menciptakan tekanan yang tak kasat mata. Orang-orang di sekitar mereka tanpa sadar menyingkir, memberi jalan, seolah naluri alamiah menyuruh mereka menjauh dari jalur lintasan dua badai ini.
Saat bahu mereka sejajar, waktu seakan berhenti. Red Knife menatap lurus ke bola mata Ravi. Dan di sana, di wajah sang pembunuh brutal itu, muncul sebuah senyum tipis. Senyum yang hanya bisa dilihat oleh Ravi. Senyum yang berkata: "aku tidak tahu siapa kau, tapi aku tau kalau kau kuat."
Ravi tidak bereaksi. Wajahnya tetap datar sedingin es.
Lalu, momen itu berlalu. Mereka berpapasan. Red Knife terus berjalan masuk ke dalam rumah sakit, membawa neraka bersamanya. Ravi terus berjalan keluar menuju mobilnya untuk mengambil susu.
Ravi melihat mobil sport-nya terparkir mencolok di dekat IGD. Karena semalam ia memarkirnya dengan gaya "darurat militer" (miring dan memakan dua slot), mobil itu kini jadi objek wisata dadakan. Beberapa pengunjung sedang selfie di depan kap mesinnya.
Saat Ravi mendekat dengan wajah yang cukup garang. kerumunan itu bubar seketika tanpa perlu diusir. Ravi masuk, menyalakan mesin, dan memindahkan mobil ke parkiran basement yang lebih sepi dan gelap.
Di kedalaman basement, hanya ada dengungan lampu neon yang berkedip-kedip. Ravi mengambil sebungkus susu formula dan botol kosong dari dashboard. Ia keluar, lalu menekan tombol kunci di remote. BIP.
TEP. Tiba-tiba Dinginnya ujung pistol menempel tepat di kening Ravi.
“Kenapa kau di sini?” suara berat seorang pria terdengar dari belakang.
Ekspresi Ravi tidak berubah satu mikron pun. Detak jantungnya tetap normal. Dia dengan santai memasukkan bungkusan susu dan botol kosong ke dalam saku jasnya yang robek, seolah pistol di kepalanya hanyalah ranting pohon.
“Unik juga kau,” ucap pria itu, nadanya bercampur antara kagum dan waspada. “Napasmu teratur. Jantungmu tenang. Kau tidak panik atau bodoh.”
Ravi menoleh perlahan. Di sampingnya berdiri seorang pria berambut cepak (bros), mengenakan jaket kulit yang menyembunyikan rompi kevlar. Di belakangnya, tiga orang lain muncul dari balik pilar beton, senjata terarah ke Ravi.