Markas Besar SBN :
Di ruang komando, suasana terasa berat. Komandan Tommy duduk di ujung meja, dikelilingi petinggi pasukannya. “Sial, bukan hanya Sandi, intel lapangan kita di Rumah Sakit juga tak memberi kabar,” geram Tommy. “Apa yang harus kita lakukan?”
“Apakah kita harus lakukan evakuasi?” tanya seorang anak buahnya.
Tommy menatap peta digital dengan frustrasi. ‘Apa yang harus kami lakukan? Jika langsung terjun ke lapangan dan tak tahu musuh ada di mana saja, itu bunuh diri. Evakuasi akan membahayakan warga sipil dan pasukan juga. Tapi jika tidak melakukan apa-apa, aku takut semuanya terlambat...’
Ruang Bersalin :
Di ruang bersalin yang steril dan dingin, perjuangan Tanti mencapai puncaknya. Peluh membasahi rambutnya yang lepek, wajahnya merah padam menahan sakit yang tak terbayangkan.
“Terus Bu... dorong! Sedikit lagi!” seru dokter.
“Aaaakkhh... hufff.... hufff....” Tanti mengerahkan sisa tenaga terakhirnya, dorongan yang didorong oleh cinta seorang ibu.
“Tarik napas... hembuskan, kepala bayinya sudah keluar Bu!”
“Aaaakkhh... sakit dok.. aakkhh... huuffhhh huuffhh!”
Dan kemudian, di detik yang hening itu, suara kehidupan memecah malam. “Oeeeeeekkk....!!!”
Tangisan nyaring itu menggema, menggetarkan hati semua orang di ruangan itu. “Alhamdulillah... bayinya laki-laki, Bu. Dia sempurna.”
“Hah... hah... hah...” Tanti terengah-engah, tubuhnya lemas seolah tulang-tulangnya dicabut. Tapi saat matanya melihat sosok mungil yang berlumuran darah itu, senyum paling indah merekah di wajahnya yang pucat. Rasa bangga yang membuncah menghapus semua rasa sakit.
Bayi itu dibersihkan dengan hati-hati, lalu diletakkan di dada Tanti untuk inisiasi menyusui dini. Kulit bayi yang hangat bersentuhan dengan kulit Tanti. Perasaan senang dan bangga begitu kuat di hati Tanti. Anak pertamanya telah lahir. Tanti tersenyum dan meneteskan air mata bahagia, jari-jarinya yang gemetar mengelus punggung mungil buah hatinya dengan rasa sayang yang tak terhingga. “Selamat datang, Nak...” bisiknya lembut.
Beberapa saat kemudian, dokter kembali mengambil bayi Tanti dan menaruhnya di kotak bayi transparan. Tanti dan bayinya pun dibawa kembali ke kamar dengan pengawalan ketat sepanjang jalan. Suasana rumah sakit sudah sangat sepi, pasien-pasien rawat inap sudah beristirahat. Aktivitas hanya ada perawat jaga, satpam, dan beberapa orang yang berjalan berlalu-lalang.
Sesampainya di kamarnya, Tanti memandangi anaknya yang tertidur lelap di kotak bayi. Damai. Suci. Tidak menyadari badai yang sedang berkumpul di lantai bawah.
Parkiran Basement :
Ramdan berjalan cepat menuju mobil Ravi. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia melempar tubuhnya ke balik tembok beton. Matanya membelalak. Di area bongkar muat, ia melihat puluhan orang pembunuh bayaran dan tentara bayaran tengah mempersiapkan senjata berat. Ia melihat kilatan logam laras panjang Sniper Rifle, sabuk peluru senapan mesin, tabung peluncur roket bazoka, dan peti-peti granat.
“Apa yang akan mereka lakukan?” bisik Ramdan ngeri.
Ramdan kemudian perlahan berjalan kembali ke dalam, mencoba mencari jalan lain. Tapi lagi-lagi, dari lorong akses tangga darurat, muncul puluhan orang dengan parang terhunus dan pistol di tangan, bergerak naik dalam diam.
Ramdan kembali bersembunyi dengan napas tertahan. “Benar-benar akan ada penyerangan besar-besaran... apakah untuk membunuh pasien penting di sebelah kamar rawat Dev... eehh... aku harus menghubungi Ravi!” Ramdan cepat-cepat memegang ponselnya. Jari-jarinya gemetar mengetik pesan. Karena tak ingin membuat suara, ia mengirimkan pesan singkat.
"Rav... hati-hati, para pembunuh dan tentara bayaran itu akan beraksi, jaga dirimu dan Devi."