Tommy dan pasukannya turun menyusuri tangga, menyapu lantai teratas. “Periksa semua ruangan! Bawa sipil ke rooftop! Kita buat zona aman di atas!” perintah Tommy.
Mereka bergerak taktis. Pintu didobrak. Dokter, perawat, dan pasien yang gemetar ketakutan dievakuasi satu per satu ke atap. Tommy memimpin tim depan bersama empat orang terbaiknya. Mereka berbelok di koridor panjang.
Dan di sana, di ujung koridor, Red Knife berdiri santai, bersandar di dinding seolah sedang menunggu bus.
Radio Tommy berbunyi. Suara salah satu anggotanya di sektor lain menjerit. “Komandan! Di sini ada... Red Knife... Aaaaaaakkkh... bzzztt...” Suara tulang patah dan static.
Tommy menatap sosok di depannya. Mata mereka bertemu. “Dia di sini,” desis Tommy.
Red Knife tersenyum, merentangkan tangannya. Di sekelilingnya, empat anggota SBN dari tim lain sudah terkapar tak bernyawa dengan leher sobek. Lantai putih itu banjir darah. “SBN hanya segini saja?” ejek Red Knife.
“TEMBAK!” teriak Tommy.
Empat anggota elit di samping Tommy melepaskan tembakan senapan serbu secara serentak. BRRRRTTTTT!
Tapi Red Knife menghilang. Dia tidak lari. Dia meluncur. Tubuhnya merendah hampir menyentuh lantai, zig-zag dengan kecepatan yang menipu mata. Peluru hanya menghantam dinding kosong. Dalam satu kedipan mata, dia sudah berada di depan prajurit pertama. SRET. Karambit menyayat arteri leher. Dia berputar, menggunakan mayat itu sebagai tameng dari tembakan prajurit kedua, lalu melempar karambitnya. TUK. Menancap tepat di dahi prajurit kedua.
Tommy maju, menggunakan senapan laras panjangnya sebagai tongkat pemukul untuk menangkis serangan Red Knife yang mengincar jantungnya. KLANG! Logam beradu logam. Karambit Red Knife bergesekan dengan laras senapan Tommy, memercikkan api.
Pertarungan jarak dekat (Close Quarter Battle) terjadi dengan kecepatan tinggi. Tommy bukan lawan sembarangan. Dia menangkis, menendang, dan menembak dalam jarak nol meter. Red Knife tertawa, menikmati setiap detiknya. Dia melompat mundur, menghindari popor senapan Tommy yang mengincar rahangnya.
Tommy mengganti magazin dengan gerakan kilat. Klik-klak. “Kau beda dengan anak buahmu. Kau kuat,” puji Red Knife, matanya berbinar gila. “Kau dibayar Riki untuk melakukan ini?!” bentak Tommy. “Persetan dengan Riki. Aku hanya ingin membunuh yang sepadan. Kupikir SBN kuat, ternyata mengecewakan. Tapi kau... kau lumayan.”
“Kau gila,” desis Tommy.
“Baiklah. Untuk menghormatimu, aku ganti senjata. Karambit ini terlalu... mainan,” kata Red Knife. Dia menyarungkan karambitnya. Dari punggungnya, dia menarik dua bilah golok hitam pekat. Bilahnya tidak memantulkan cahaya. Gelap seperti lubang hitam.
Red Knife menerjang. Tommy mengangkat senapannya untuk menangkis secara horizontal. BRAKKKK!
Mata Tommy membelalak. Senapan serbu militer standar NATO yang terbuat dari baja dan polimer keras itu... terbelah dua seperti ranting kering. Ujung golok hitam itu berhenti satu milimeter dari hidung Tommy.
“Kenapa? Terkejut?” Red Knife menyeringai. “Batu obsidian vulkanik yang ditempa khusus. Benda paling tajam di dunia. Bisa membelah molekul... dan tubuhmu.”
Tommy melempar sisa senapannya yang hancur, melompat mundur, dan mencabut pisau tempurnya. Dia tahu, satu kesalahan kecil, dia akan terbelah.
Lantai VVIP:
Sementara itu, di lantai bawah. BRAK! Gio dan pasukannya mendobrak kamar Tanti. Tembak-menembak pecah di dalam. Bodyguard Tanti yang tersisa di dalam kamar melawan mati-matian, namun kalah jumlah.
Di kamar sebelah, Ravi merasakan getaran di dinding. Instingnya berteriak: Zona Merah. Evakuasi. Ravi menggendong Devi dengan tangan kiri, melindunginya di dada. Tangan kanannya memegang pistol yang ia siapkan sebelumnya. Ia keluar kamar.
Pemandangan di lorong mengerikan. Dinding penuh lubang peluru dan cipratan darah. Mayat di mana-mana. Tepat saat itu, pintu kamar Tanti terbuka. Tanti, dengan gaun rumah sakit yang robek dan berdarah, merangkak keluar sambil mendekap bayinya erat-erat. Dia jatuh tersungkur di lantai koridor.
Gio keluar dari kamar, diikuti tiga anak buahnya. Dia berjalan santai, menendang tangan Tanti yang mencoba meraih kakinya. Tanti bersimpuh, memeluk bayinya, memunggungi tembok. “Tolong... jangan bunuh anak ini,” isak Tanti, suaranya parau. “Bunuh aku. Lakukan apa pun padaku. Tapi tolong... jangan anak ini.”
Gio mengangkat pistolnya, mengarahkannya ke kepala bayi merah itu. “Maaf, Bu. Paketnya harus lengkap.”
Ravi berdiri 12 meter dari mereka. Gio menoleh, melihat Ravi. “Ingat kesepakatan kita?” tanya Gio. “Jangan ikut campur.”
Ravi diam. Wajahnya datar. Kakinya sudah bergerak memutar, hendak menuju tangga darurat. Bukan kontrakku. Bukan urusanku. Gio menyeringai, kembali membidik bayi Tanti. Jarinya menekan pelatuk.
Tiba-tiba. Sebuah sentuhan lembut terasa di jari kelingking Ravi. Ravi berhenti. Dia menunduk. Mata Devi terbuka. Jernih. Polos. Basah. Mata itu menatap Ravi, lalu berkedip pelan.
Dunia melambat hingga hampir berhenti. Suara tangisan Tanti menjadi gema yang jauh. Desingan peluru di kejauhan lenyap. Hanya ada Ravi dan Devi. Dalam keheningan absolut itu, tatapan Devi seolah menembus jiwa Ravi yang gelap. Tatapan itu tidak menghakimi, tapi memohon. “Ayah... tolong dia. Kumohon.”
Ravi menoleh ke arah Tanti yang memeluk anaknya, lalu kembali menatap Devi. Devi berkedip lagi. “Tolong dia, Yah.”