Tommy sudah melewati ambang batas manusia normal. Napasnya memburu, paru-parunya terasa terbakar. Wajahnya babak belur, mata kirinya bengkak menutup. Rompi anti-peluru level IV miliknya yang seharusnya bisa menahan peluru kaliber 5.56mm kini terlihat seperti kertas yang dicacah gunting. Darah merembes deras dari celah sobekan itu.
Di hadapannya, Red Knife berdiri santai, memutar-mutar dua golok hitam obsidiannya. Bilah itu tidak memantulkan cahaya, seolah menyerap jiwa di sekitarnya.
“Hhh... hhh...” Tommy mencoba mengangkat sisa senapannya yang sudah terbelah dua untuk menangkis.
SRAK! Red Knife menebas horizontal. Tommy menahan dengan sisa laras baja senapannya. Logam baja itu terpotong bersih tanpa suara. Golok obsidian itu terus melaju, menggores dada Tommy.
BUK! Sebuah tendangan depan menghantam ulu hati Tommy. Tubuh Komandan SBN itu terlempar lima meter, menabrak dinding beton hingga retak, lalu jatuh berlutut. “Uhukk... uhuk...” Tommy memuntahkan gumpalan darah kental.
“Kau cukup tangguh untuk ukuran aparat,” puji Red Knife, berjalan mendekat pelan-pelan. “Tapi pertahananmu percuma. Obsidian ini lebih tajam dari silet bedah. Kalau kau orang biasa, tubuhmu sudah jadi potongan puzzle sejak lima menit lalu.”
Tommy mencoba berdiri, tapi kakinya gemetar hebat. Ototnya menjerit minta berhenti. Kecepatan Red Knife di luar nalar. “Sebaiknya kuakhiri sekarang,” kata Red Knife, memasang kuda-kuda rendah. Bilah hitamnya terangkat.
‘Sial... aku akan mati di sini? Maafkan aku, Negara...’ batin Tommy pasrah.
Tiba-tiba, pintu tangga darurat di ujung lorong terbuka kasar. Empat anggota pasukan elit SBN muncul. “KOMANDAAAN...!!!”
Mata Tommy membelalak horor. Bukan karena lega, tapi karena takut. “HEI... JANGAN KESINI...!!!! MUNDUR!!!”
Terlambat. Loyalitas mengalahkan logika. RATATATATATAT!!! Empat senapan serbu menyalak serentak.
Red Knife tidak menghindar. Dia menari. Dia meluncur di lantai, memutar tubuhnya di antara lintasan peluru, mendekat ke arah pasukan itu seperti bayangan maut. Dalam satu kedipan mata, dia sudah berada di tengah formasi mereka.
SREEET! Kepala prajurit pertama terpisah dari leher, masih memakai helm taktis. ZLASSH! Prajurit kedua terbelah perutnya, ususnya terburai sebelum dia sadar dia sudah mati. CRASH! Golok kiri Red Knife membelah dada prajurit ketiga sampai ke tulang belakang. KRAK! Prajurit keempat mencoba lari, tapi kakinya ditebas putus di bagian paha. Dia jatuh telungkup, menjerit memilukan.
Tiga nyawa melayang dalam tiga detik. Tommy meraung dalam hati. Dia memanfaatkan momen itu. Dengan sisa tenaga terakhir, dia merangkak ke mayat prajurit pertamanya, menyambar pistol dari holster mayat itu dan mencabut granat asap.
Saat Red Knife berbalik sambil tersenyum untuk menghabisi prajurit keempat yang merangkak tanpa kaki... DOR! DOR! Tommy menembak bukan ke Red Knife, tapi ke lampu neon di langit-langit tepat di atas kepala monster itu. PYAR! Kaca lampu pecah, kabel listrik bertegangan tinggi menjuntai turun, memercikkan bunga api liar ke arah Red Knife. Red Knife melompat mundur karena kaget.
KLIK. BLAR. Tommy melepas pin granat asap. Kabut putih tebal langsung memenuhi lorong dalam sekejap.
Dalam kebutaan asap itu, Tommy bergerak dengan adrenalin murni. Dia berlari ke arah prajurit keempatnya yang masih hidup, merobek lengan bajunya sendiri, dan mengikatnya kuat-kuat di paha prajurit itu sebagai tourniquet darurat. “Bertahanlah...!!!” bisik Tommy.
Sambil memapah prajurit itu di bahu kirinya, tangan kanan Tommy terus menembak buta ke arah posisi Red Knife di dalam asap. Tommy menyeret anak buahnya mundur, masuk ke lorong ventilasi darurat, menjauh dari iblis itu.
Di tengah kabut asap, Red Knife menepis peluru dengan goloknya. Dia tidak mengejar. Dia hanya tersenyum, menjilat darah di bilah obsidiannya. “Lari, kelinci kecil... lari yang jauh.”
Sementara itu di parkiran basemen
Ramdan perlahan keluar dari balik pilar beton. Matanya menatap bangkai helikopter yang terbakar di kejauhan. “Tiga helikopter tempur hancur gara-gara seorang ibu dan bayi,” gumam Ramdan sambil menggeleng takjub. “Benar-benar epic.”
Ramdan bergegas menuju mobil sport Ravi. Dia tahu, Ravi bukan tipe orang yang bepergian hanya dengan baju ganti. Dia membuka bagasi belakang. Ada false bottom (dasar palsu). Ramdan mengangkatnya.
Mata Ramdan berbinar. “Wooww... hahaha... Dasar maniak!” Di sana, tersusun rapi di atas busa hitam: Submachine gun MP5, dua pistol custom TTI Combat Master, barisan granat fragmentasi, bom tempel C4, dan bahkan peluncur roket lipat.
“Namanya juga pembunuh nomor satu, mau ke rumah sakit saja bawaannya kayak mau invasi negara,” cibir Ramdan.
Dia bergerak cepat. Ramdan melepas jaketnya, mengenakan rompi kevlar taktis yang dia temukan di bagasi. KLIK. KLIK. Dia memasukkan magazin pistol ke slot rompi. Dia mengambil dua pistol TTI Combat Master, mengecek pelurunya, lalu menyelipkannya di sabuk. Dia juga menyambar tiga buah granat.
“Oke. Waktunya membakar kalori.”
Ramdan berlari masuk ke dalam rumah sakit. Bukan lewat lobi utama, tapi lewat pintu akses karyawan. Lorong lantai 1 sepi dan berantakan. Namun, ada pemandangan yang membuat darah Ramdan mendidih. Beberapa mayat warga sipil—pengunjung biasa—tergeletak di lantai.