Kontrak Terakhir

cahyo laras
Chapter #12

BAB 11 - Jangan Ganggu Anakku

Sementara itu di satu sisi parkiran rumah sakit, sesosok bayangan ramping bergerak lincah di antara mobil-mobil yang terbakar. Bukan dengan gaun merah, tapi dengan setelan taktis bodysuit hitam ketat. Jeny. Dia menyusup tanpa suara, menghindari patroli sisa pasukan musuh.

Dia masuk ke area bongkar muat dan menemukan pemandangan surealis. Ramdan sedang duduk santai di atas tumpukan mayat tentara bayaran, merokok dengan nikmat. Di sekelilingnya, dinding hancur bekas ledakan C4.

“Dan... gimana Ravi dan Devi?” tanya Jeny, muncul dari bayangan.

“Uhuk!” Ramdan kaget, hampir menelan rokoknya. “Astaga, Jeny! Kau bisa bikin orang jantungan!” Ramdan menunjuk ke atas. “Dia di lantai atas. Aku disuruh 'bersih-bersih' barikade depan. Sebat dulu lah... jarang-jarang bisa ngerokok di area No Smoking tanpa diusir satpam.”

“Ravi sudah ketemu Red Knife?”

“Entahlah. Terakhir kontak dia bilang belum. Kau mau bantu aku meledakkan gerbang depan?”

“Tidak. Aku bukan tipe perusuh,” tolak Jeny. “Aku akan ke atas. Firasatku buruk.”

“Pikiran kita sama. Dia pasti lari ke rooftop,” kata Ramdan.

Jeny mengangguk, lalu berlari menuju tangga darurat dengan kecepatan tinggi. “Hei! Hati-hati! Lantai licin oleh darah!” teriak Ramdan, lalu menghela napas. “Fuuuhh... bakar kalori lagi.”

 

Kondisi Ravi semakin sulit. Dia terpojok di dekat jendela pecah. Red Knife menekannya tanpa ampun. Serangannya bertubi-tubi seperti badai. Atas, bawah, kiri, kanan. Ravi hanya bisa menangkis dengan apa pun yang ada—tiang infus (terpotong jadi dua), kursi besi (hancur berkeping-keping), bahkan nampan obat.

Pipinya memar terkena gagang golok. Jasnya sudah compang-camping. Tapi satu hal yang pasti: Devi tidak tergores sedikit pun. Tangan kiri Ravi melindunginya seperti benteng baja.

Red Knife melompat tinggi, menebas vertikal dengan dua golok. Ravi berguling ke depan, melewati sela kaki Red Knife. Dia menyambar senapan laras panjang milik mayat SBN, berbalik, dan menembak dari jarak nol meter. KLIK. Macet.

Red Knife berbalik, menebas senapan itu. Baja larasnya putus seperti mentimun. Tendangan berputar Red Knife menghantam punggung Ravi. BUAGH! Ravi terlempar menabrak dinding. Dia melengkungkan tubuhnya ke depan saat membentur tembok agar Devi tidak tergencet.

Ravi jatuh berlutut. Pandangannya mulai kabur. Napasnya tersengal parah. Dia mencoba bangkit, tapi kakinya goyah.

“Untuk ukuran orang yang menggendong beban, kau luar biasa,” kata Red Knife, berjalan mendekat. “Kau satu-satunya yang bisa menahanku selama ini. Tapi aku bosan. Kau tidak all out.”

Red Knife mengangkat goloknya tinggi-tinggi. “Kalau begitu... biar kubunuh saja beban kecil itu. Agar kau bisa bermain serius denganku.”

Mata Ravi membelalak. Amarah meledak di dadanya. Saat Red knife melesat kearah Ravi.

SYUUUTTT....

Langkah Red Knife terhenti, menoleh ke arah datangnya pisau. Di sana, berdiri Jeny dengan kuda-kuda tempur. Di tangan kirinya ada pisau komando terbalik, di tangan kanannya pistol custom.

“Ravi, larilah... bawa Devi pergi,” ucap Jeny dingin, tapi matanya menyiratkan kekhawatiran mendalam melihat kondisi Ravi. “Akan kuperlambat dia.”

“Untuk apa kau kemari?” tanya Ravi, napasnya masih memburu.

“Menjenguk keponakanku Devi,” jawab Jeny, tersenyum miring. “Sayang sekali, Tante Jeny tidak bawa buah atau dessert. Tante malah bawa oleh-oleh tajam untuk teman barumu ini.” Ucap Jenny memasang kuda-kuda, tatapannya tajam dengan pistol di tangan kanan, dan pisau ditangan kiri

Jeny melesat maju, bayangannya seolah tertinggal di belakang saking cepatnya. “Dor... Dor...” Dua letusan pistol memecah udara, aroma mesiu menyengat hidung.

Red Knife bahkan tidak bergeser dari posisinya. Dia hanya memiringkan leher sedikit, peluru itu mendesing melewati telinganya. Jeny tidak berhenti, dia membuang pistolnya dan mencabut pisau taktis, bergerak zig-zag berusaha memutari tubuh Red Knife untuk mencari titik buta.

“Hiaaa!” Jeny menebas leher. Wuuush! Hanya angin. Jeny berputar, mencoba menyabet tendon kaki. Wuuush! Red Knife mengangkat kakinya santai, seolah sedang melangkah menghindari genangan air.

“Terlalu banyak gerakan sia-sia,” gumam Red Knife.

Saat Jeny melancarkan tusukan ketiga, Red Knife maju satu langkah, menghapus jarak. Lututnya melesat naik menghantam ulu hati Jeny. “BUGH!” Suara hantaman itu terdengar tumpul dan menyakitkan. Mata Jeny membelalak, seluruh udara di paru-parunya dipaksa keluar. Sebelum tubuh Jeny jatuh, Red Knife mencengkeram wajah gadis itu dan menghempaskannya ke lantai beton. “BRAKK!” Darah segar langsung muncrat dari hidung Jeny. Dalam hitungan detik, dia lumpuh total.

Sementara itu, Ravi berjalan mendekati Tanti yang tubuhnya bergetar hebat. “Ayo...” kata Ravi datar.

Ravi berjalan melanjutkan langkahnya bersama Tanti. Namun, baru beberapa langkah, telinga Ravi menangkap kesunyian yang ganjil. Tidak ada lagi suara perlawanan. Ravi mendadak diam. Punggungnya menegang. Tanti pun bingung dalam takut. “Ada apa? Kenapa kau diam?” tanya Tanti dengan suara bergetar.

Ravi berbalik. Pemandangan di sana mengerikan. Jeny sudah babak belur, wajah cantiknya kini bengkak dan merah-biru. Jeny bukan lawan yang sepadan untuk monster itu.

Tanpa bicara, Ravi menunduk. Dia mengambil pistol dari jenazah tanpa kepala di dekat kakinya, mengecek chamber-nya, lalu mencabut sebilah pisau militer dari pinggang mayat itu. Dingin besi di tangannya terasa familiar.

Jeny sudah kehabisan napas, jatuh telungkup tak berdaya di atas genangan darahnya sendiri. Red Knife menyarungkan salah satu goloknya dengan bunyi klik logam yang nyaring. Red Knife kemudian menjambak rambut Jeny, menariknya kasar ke atas hingga leher jenjang Jeny terpampang jelas. Urat-urat leher Jeny menonjol menahan sakit. Dia sudah pasrah.

Red Knife menyeringai, golok hitamnya terangkat tinggi, memantulkan cahaya lampu remang-remang. Saat golok itu diayunkan turun untuk memisahkan kepala dari badan...

Syuuutt... Sebuah pisau militer membelah udara dengan presisi mematikan.

Pisau itu menggores punggung tangan Red Knife. Red Knife refleks menghindar dan melepaskan rambut Jeny. Tubuh Jeny langsung ambruk ke lantai seperti boneka rusak. Napasnya terengah berat.

Ravi sudah berlari. Bukan lari panik, tapi lari taktis. Kedua tangannya memegang pistol dalam posisi siap tembak. “Dor... Dor... Dor...” Tembakan supresi yang ritmis memaksa Red Knife mundur.

Red Knife melompat menjauhi tubuh Jeny, menghindari peluru yang mengincar persendian kakinya. “Dor... Dor... Dor...” Ravi terus menembak sambil bergerak maju, mengincar lutut dan bahu, membuat Red Knife tidak punya kesempatan menyerang balik.

Begitu peluru habis tepat saat Ravi sampai di tempat Jeny telungkup, dia tidak berhenti. Ravi langsung menyambar tubuh Jeny, memanggulnya di pundak kanan. Sekuat tenaga dia berlari kembali menjauhi Red Knife.

Red Knife hanya tersenyum lebar, menjilat darah dari goresan di tangannya. “Lari, tikus kecil. Lari yang kencang.”

Sesampainya di tempat Tanti berdiri, Ravi mendudukkan Jeny pelan-pelan. “Jeny... Jeny...” panggil Ravi. Jeny membuka matanya yang bengkak sebelah.

“Kau gila... menggendongku dengan kecepatan segitu... padahal dirimu juga sedang terluka... beresiko sekali,” desis Jeny diselingi batuk. “Kau bisa memegangi Devi sementara?” tanya Ravi, mengabaikan lukanya sendiri. “Hah?” “Jaga Devi untuk sementara, biar kuhadapi bajingan itu,” kata Ravi.

“Kau tak apa?” tanya Tanti ikut jongkok di sebelah Jeny. “Kelihatannya bagaimana?” jawab Jeny sinis menahan nyeri. “Menyakitkan,” jawab Tanti jujur. “Baiklah, berikan Devi padaku... hajar si brengsek itu,” kata Jeny lemah.

Ravi menyerahkan bayi itu hati-hati. Tatapannya berubah total. “Jaga dia dengan nyawamu.” Jeny merinding melihat tatapan mata Ravi. Dingin, kosong, tapi tajam. Auranya terasa sampai menggetarkan nyalinya sendiri, padahal dia bukan musuhnya.

Ravi berdiri, meregangkan lehernya hingga berbunyi krek, lalu melangkah menuju Red Knife. Dia melepaskan jas hitamnya yang sudah kotor, membiarkannya jatuh ke lantai.

“Wahahaaha... akhirnya kau tanpa beban! Kau bisa bertarung dengan kekuatan penuh!” seru Red Knife girang, memutar-mutar dua goloknya. “Ya.”

Hanya satu kata. Namun tatapan Ravi yang tajam mengarah pada Red Knife membuat suhu di ruangan itu seolah turun drastis. Auranya benar-benar berubah dari seorang pelindung menjadi pembunuh. Insting Red Knife menjerit menyatakan bahaya. ‘Aura ini... pekat sekali. Pertama kalinya kurasakan,’ pikir Red Knife, keringat dingin menetes di pelipisnya. “Ini benar-benar menarik,” ucap Red Knife menyeringai.

Red Knife menerjang. Dia menyabetkan golok kanan secara horizontal, mengincar leher. Cepat dan mematikan. Ravi tidak mundur. Dia menunduk (ducking) dengan gerakan minimalis, bilah golok lewat satu inci di atas rambutnya.

Red Knife menusuk dengan golok kiri ke arah jantung. Ravi menggeser bahunya (side step). Tusukan itu hanya merobek udara di samping kemejanya.

Red Knife memutari tubuh Ravi dengan kecepatan tinggi, dan menebas dari belakang—titik buta. WUUUSH! Golok itu hanya menebas sisa bayangan. Ravi sudah menghilang dari pandangannya.

“Lamban”

 bisik Ravi yang sudah ada di belakang Red Knife.

Dengan terkejut, Red Knife langsung menyabetkan goloknya pada Ravi dengan memutar tubuhnya dengan cepat. Tangannya ditangkap oleh Ravi, sebelum tangan satunya merespon. Dengan cepat...

“BUUUAAAAAKkk...!!!”

Tangan Ravi memukul dengan keras perut Red Knife. Ia terpental bermeter-meter. Red Knife bangkit, memegangi perutnya. “Kecepatan macam apa itu... dia...” belum selesai kata-kata dalam pikirannya. Ravi sudah ada di hadapan matanya, mencengkeram lehernya dan melemparnya ke atas.

“BUAAAKKKK” tubuh Red Knife terlempar menghantam lampu neon, pecahan kaca dan percikan listrik menghujani tubuhnya, dan langsung jatuh menghujam lantai.

“BUUKKK”

Red Knife mengerang kesakitan, tubuhnya penuh serpihan kaca. Namun naluri membunuhnya memaksanya bangkit kembali dengan raungan marah. Dia menerjang Ravi, mengabaikan rasa sakit.

Di sinilah perbedaan kelas itu terlihat jelas.

Saat Red Knife mengayunkan golok kanannya secara vertikal, Ravi tidak mundur. Dia melangkah masuk (step in) ke dalam jangkauan serangan. Tangan kiri Ravi menepis pergelangan tangan Red Knife ke samping, sementara sikut kanan Ravi menghantam keras pelipis Red Knife. “PLAKK!” Kepala Red Knife terlempar ke samping, keseimbangannya goyah. Ravi tidak berhenti. Dia langsung menendang lipatan lutut Red Knife dari samping, memaksanya berlutut paksa. “KRAKK!” Lutut itu berbunyi ngilu.

Red Knife mencoba bangkit sambil menyabetkan golok kirinya secara horizontal (wide slash) untuk menjauhkan Ravi. Ravi hanya menunduk sedikit (ducking), bilah tajam itu lewat di atas rambutnya. Dari posisi menunduk, Ravi melancarkan pukulan uppercut ke dagu, disusul dengan dua pukulan cepat ke rusuk kanan dan kiri. “BUGH! BUGH! BUGH!” Pukulan itu begitu cepat dan padat, terdengar seperti suara karung pasir yang dipukul palu besi. Red Knife memuntahkan darah segar.

Red Knife yang sudah sempoyongan mencoba melakukan headbutt (tandukan kepala) sebagai upaya terakhir jarak dekat. Ravi dengan tenang menahan dahi Red Knife dengan telapak tangannya, menahan laju serangan itu dengan mudah. Ravi menatap mata Red Knife yang penuh amarah dengan tatapan bosan. “Lemah,” desis Ravi. Ravi kemudian memutar pinggangnya dan melepaskan tendangan memutar (spinning back kick) tepat di tengah dada Red Knife.

“DHHUUAARRRR!”

Tubuh Red Knife terhempas mundur jauh, kakinya terseret di lantai meninggalkan jejak debu, hingga punggungnya menabrak pilar beton.

Ravi masih berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam dan ekspresi yang dingin. Dari kejauhan Jeny melihat pertarungan yang tak masuk akal. Ravi dalam mode normalnya, bisa secepat dan sekuat itu. “Mengerikan, Aku tak sempat melihatnya bergerak, dia benar-benar secepat itu, tenaganya juga besar” ucap Jeny.

Kemudian Red Knife mencoba menegakkan badannya. Napasnya terdengar seperti mesin rusak. Hingga Red Knife benar-benar babak belur. Darah keluar dari mulutnya. Hidungnya patah, wajahnya merah-biru.

Red Knife melompat ke belakang untuk mengisi staminanya. Napasnya terengah-engah hebat. Ravi hanya berdiri tenang dengan tatapan dingin.

Red Knife menarik napas panjang yang bergetar, paru-parunya terasa terbakar, namun adrenalin membanjiri sistem sarafnya, menekan rasa sakit untuk sementara. Matanya yang bengkak menyipit, menatap Ravi dengan kebencian murni.

“Kau... kau pikir kau sudah menang, hah?!” geram Red Knife, suaranya serak bercampur darah.

Dia menegakkan tubuhnya paksa. Otot-ototnya menegang hingga urat-urat di leher dan lengannya menonjol keluar seperti kabel baja.

Tiba-tiba, Red Knife menerjang.

Kecepatannya kali ini berbeda. Jauh lebih mengerikan dari sebelumnya. Jika tadi dia seperti angin, sekarang dia adalah badai. Kedua goloknya berputar membentuk pusaran kematian berwarna hitam yang mengincar setiap inci tubuh Ravi. Desingan angin akibat sabetan golok itu terdengar nyaring di udara.

Namun, Ravi tidak bergeming. Matanya yang tajam dan dingin mengikuti setiap inci pergerakan liar itu.

Saat sabetan golok kanan mengincar leher dengan kecepatan kilat, Ravi hanya memiringkan kepalanya sedikit—bilah tajam itu lewat satu milimeter dari kulitnya. Bersamaan dengan itu, tangan kiri Ravi bergerak seperti ular patuk, menepis keras pergelangan tangan Red Knife ke atas sebelum sabetan kedua datang.

Plak!

Momentum serangan Red Knife rusak. Ravi melangkah masuk ke dalam pertahanan lawan (in-fighting).

Red Knife mencoba menusuk dengan golok kiri. Ravi menangkap lengan bawah Red Knife dengan satu tangan, menghentikan tusukan itu di udara, lalu melepaskan pukulan hook pendek dengan tangan kanannya.

“BUGH!”

Pukulan itu mendarat telak di rusuk Red Knife yang sudah retak sebelumnya. Red Knife terbatuk hebat, tapi momentum serangan brutalnya memaksanya terus bergerak. Dia mencoba menendang, menyikut, menebas. segala cara dia lakukan dengan kecepatan puncaknya.

Ravi menanggapi badai serangan itu dengan efisiensi yang menakutkan. Dia menepis sikut, memblok lutut dengan tulang keringnya, dan mengalihkan arah tebasan golok dengan mendorong lengan Red Knife. Setiap kali ada celah sekecil apapun, kepalan tangan Ravi masuk.

Bugh! Hantaman ke ulu hati. Bugh! Hantaman ke ginjal. Krak! Pukulan lurus ke hidung yang sudah patah.

Darah segar kembali menyembur dari wajah Red Knife, mengotori kemeja putih Ravi.

Dari kejauhan, Jeny menahan napas menyaksikan pemandangan itu. Matanya tak berkedip, takut melewatkan satu detik pun.

‘Gila...’ batin Jeny, keringat dingin mengalir di pelipisnya. ‘Red Knife... kecepatannya sekarang sudah melampaui batas manusia normal. Aku bahkan tidak yakin mataku bisa mengikuti gerakan goloknya.’

Jeny tahu, jika andai dia masih dalam kondisi prima menghadapi Red Knife dalam kecepatan sekarang, dia akan tercincang dalam hitungan detik. Level Red Knife sudah di ranah monster.

‘Tapi Ravi...’

Tatapan Jeny beralih pada pria yang memanggulnya sembari menggendong bayi. Pria yang bergerak dengan ketenangan absolut di tengah badai tebasan maut.

‘Ravi tidak hanya mengimbanginya. Dia mendominasinya. Dia melihat semuanya. Ini bukan sekadar cepat... ini kekuatan di level yang berbeda. Dia adalah puncak.’

Kembali ke pertarungan. Red Knife mulai frustrasi. Serangan tercepannya tidak ada yang tembus.

Ravi melihat celah akibat kelelahan dan frustrasi lawannya. Dia menangkap kerah baju Red Knife dengan kedua tangan, lalu dengan teknik judo yang sempurna, Ravi membanting tubuh besar itu ke lantai keramik.

“BRAKKK!”

Punggung Red Knife menghantam lantai dengan keras, membuatnya terengah kehilangan napas. Dia terbaring telentang, pandangannya berputar.

Bayangan Ravi menutupi tubuhnya. Red Knife melihat ke atas, dan rasa mencekam menyergapnya.

Ravi sudah mengangkat kepalan tangan kanannya tinggi-tinggi. Otot lengan Ravi menegang, siap meluncurkan hantaman palu godam ke wajah Red Knife yang sudah babak belur.

Waktu terasa melambat bagi Red Knife. Dia melihat kematian di mata dingin Ravi.

‘Mati aku!’

Dengan sisa tenaga terakhir didorong oleh ketakutan kehilangan nyawa, Red Knife berguling ke samping tepat saat kepalan tangan Ravi meluncur turun.

“DHUAAAAARRRRR...!!!”

Kepalan tangan Ravi menghantam lantai keramik kosong di sebelah kepala Red Knife.

Dampaknya mengerikan. Suaranya seperti ledakan bom kecil. Lantai keramik di titik hantaman itu bukan sekadar retak, tapi meledak menjadi serpihan debu dan kerikil tajam.

“GGRRRRRTTTT....”

Getaran hebat menjalar ke seluruh ruangan melalui lantai, terasa nyata di punggung Red Knife yang sedang berguling menjauh, bahkan Tanti dan Jeny di kejauhan bisa merasakan pijakan mereka bergetar. Kawah kecil tercipta di lantai beton yang keras itu.

Red Knife, yang berhasil menghindar beberapa inci dari kematian, merangkak mundur dengan panik seperti kepiting. Matanya terbelalak menatap lubang di lantai bekas pukulan Ravi, lalu menatap wajah Ravi yang masih tanpa ekspresi.

Lihat selengkapnya