Sabtu, 31 Mei 2025
07:10 Terminal Bekasi Kota
Pagi itu Terminal Bekasi Kota riuh oleh klakson motor, asap rokok, dan bau keringat bercampur gerimis. Seorang pemuda baru turun dari bus antarkota. Kaosnya basah, jaketnya lepek, di tangannya ada tas jinjing dan kardus mie instan yang mulai lembap. Tubuhnya tinggi, kulit kuning langsat, rambut pendek masih basah. Tatapannya bingung, wajahnya polos khas anak desa yang baru menginjak ibu kota.
Tak jauh dari situ, seorang pria memperhatikannya dari bangku kayu panjang warung kopi. Penampilannya mencolok dengan kulit putih bersih, rambut lurus, memakai kaos abu-abu lengan panjang dan aroma parfum mahal yang menyelinap di antara bau stasiun. Matanya tak lepas dari sosok si pemuda. Selain karena wajah tampan, gerak-geriknya yang kebingungan seperti korban hipnotis yang baru sadar penuh menarik perhatiannya. Sesaat kemudian ia berinisiatif untuk memanggilnya.
"Woi... Bro, lo keliatan linglung tuh. Sini berteduh dulu yuk... sambil ngopi, sebelum tuh kardus hancur karena air hujan. Gue traktir kok," panggil si pria tampan. Suaranya cukup nyaring. Senyumnya ramah, tapi matanya menyimpan sesuatu. Si pemuda tanggung yang dipanggil menatapnya dengan ragu. Matanya memindai sekitar lalu menatapnya pria itu lagi sejenak.
Dalam hati si pemuda itu bertanya tanya. "Itu dia manggil saya ya? Dia siapa? Penipu atau preman di terminal sini? Tapi dia terlalu rapi, terlalu tampan, atau dia artis yang lagi shuting disini?"
Gerimis makin rapat, perutnya keroncongan. Kata “traktir” langsung terdengar seperti penawar. Bayu menarik napas, lalu berlari kecil ke arah warung.
"Ya sudahlah... nggak ada salahnya juga. Siapa tau dia memang malaikat penolong." Batinnya.
Dengan tarikan nafas dalam akhirnya dia memutuskan untuk mendatangi si pria asing tersebut. "Iya, Mas... sebentar," kata si pemuda sambil berlari kecil ke warung.
"Neng, kopi manis dua ya,"
"Ok... Abang ganteng. Ditunggu ya..." kata si Neng penjaga warung sambil memainkan mata.
Pemuda itu kemudian meletakkan tas jinjing dan dos mie instantnya bertumpuk dilantai warung yang becek dan kotor karena cipratan air hujan. Perlahan dia duduk dibangku kayu panjang dengan kikuk.
"Baru nyampe Jakarta, Bro?" tanya si pria, memecah kekakuan dengan membuka obrolan, masih tersenyuman ramah.
"Iya Mas... Saya Bayu, dari Purwokerto. Baru keterima kerja di pabrik." katanya sambil buru-buru menyeka tangan ke baju sebelum mengulur salam.
"Hehehe... Lengkap amat, Bro kayak mau bikin KTP. Ok... nama gue Rianto. Panggil aja Rian, biar kita akrab." Ia menyambut uluran tangan Bayu.
Rian bisa merasakan getaran yang berbeda. Ia tersenyum sambil menatap Bayu. Tangan halus Rian yang hangat kontras dengan tangan Bayu yang keras dan kasar akibat keseringan mencangkul di sawah. Bayu seketika minder, melepaskan tangannya begitu menyadari mereka telah berjabat terlalu lama. Rian menyeringai melihat tingkah Bayu.
"Baik, Mas Bero'." Bayu mencoba meniru gaya bicara Rian, tapi logat Jawanya bikin 'Bro' jadi 'Bero'." Rian langsung ketawa.
"Hahahaha... 'Bero' apaan sih? Udah, panggil gue 'Bang' aja deh. Lo kalo ngomong 'Bro' jadi kayak nyebut nama penyakit aja." Bayu jadi salah tingkah. Gerimis di luar makin deras, tapi di antara mereka, suasana perkenalan mulai hangat.
"Bang Rian merantau juga ke Jakarta? Itu saya lihat abang bawa koper." kata Bayu matanya melirik koper pakaian hitam disamping Rian.
"Ngg... gimana ya, Bro. Bisa dibilang merantau bisa juga nggak. Habis gue tinggal di dekat sini juga. Tapi gue mau ngontrak di daerah Jaksel biar lebih dekat dengan kantor." Jelas Rian.
"Dua kopi buat cowok-cowok ganteng," kata Neng Lela genit sambil sengaja membungkuk saat meletakkan gelas plus sepiring pisang goreng panas. "Dicicip ya, Bang Mas, masih anget." Katanya tersenyum manja lalu berlenggok menuju kebagian dalam warung.
Rian tersenyum geli, sementara Bayu tidak menggubris. Baginya sepiring pisang goreng hangat lebih hot dari pada belahan dada Neng Lela.
"Bang... gue boleh sekalian ditraktir sama pisang gorengnya, nggak?" Tanya Bayu.
"Eh... iya silahkan" kata Rian ramah sambil mendekatkan piring pisang goreng. Bayu langsung melahap pisang goreng panas, wajahnya meringis tapi tetap diterusin.
"Enak?" tanya Rian sambil menyeruput kopinya. Bayu hanya mengangguk kecil. "Pelan-pelan aja, Bro. Panas itu," ujar Rian.
"Bang, boleh nambah, nggak?" Tanya Bayu malu-malu.
"Boleh... Tapi jangan lu habisin, ya. Gue juga lagi kere. Gue sama kayak lo, gue baru dapet kerja di showroom mobil."
"Ooo... Padahal dari tadi saya kira Abang orang kaya, eh ternyata dompetnya tipis juga toh..." kata Bayu santai tanpa dosa.
"Yaelah, lu ya bener-bener... udah ditraktir malah ngeldekin gue. Eh... muka gue emang ganteng dari lahir. Tapi nggak ada hubungannya ama isi dompet gue, mah..." Sewot Rian melihat Bayu menikmati pisang goreng yang sisa setengah piring. Dia sendiri tidak berniat mencicipi takut uangnya tidak cukup namun tidak enak hati untuk meyuruh Bayu berhenti. "Buset, dia lapar atau kesurupan? Sial...!!! Salah panggil orang nih gue." Umpat Rian dalam hati.
"Ehh... Bro... lo mau ke mana? Kali aja kita sejurusan?" Tanya Rian. Bayu masih santai, masih dengan pisang goreng di mulut. "Belum tau, Bang..."
"Apa...!!! Wah... lo gila sih, Bro kata gue. Bisa-bisanya mau kerja di Jakarta tapi nggak tau mau tinggal di mana. Terus entar malam lu nginep dimana? Emang lo nggak punya saudara di sini? Terus keterima kerja di pabrik gimana ceritanya tuh?" Tanya Rian penuh penasaran.
"Sabar... Bang. Saya habisin pisang goreng dulu. Abang nanyanya udah kayak wartawan. Banyak banget." Bayu menelan pisang terakhir lalu menyeruput kopi.
"Ahhhh... alhamdulillah kenyang," katanya sambil mengelus perutnya. Rian hanya melongo melihat kelakuan cowok yang baru dikenalnya itu. Bayu bersendawa. Rian menyerengit. "Ih, jorok lo. Nggak sopan tau."
"Maaf Bang. Kelepasan. Akhirnya perut saya kenyang meski cuma diisi pisang goreng. Eh... abang tadi nanya apaan? Saya lupa." Kini Bayu lebih bersemangat setelah laparnya hilang.
Rian menghela napas. "Intinya, lo ceritain ke gue kenapa lo bisa ke Jakarta?"
"Ooo... Pakde saya dulunya kerja di pabrik sini, terus resign. Posisi kosong itu ditawarin ke saya. Daripada ngurus sawah mulu, ya saya coba merantau, Bang." Bayu berhenti sejenak, menyeruput kopinya, lalu lanjut cerita.
"Terus bulan lalu saya sempet diantar wawancara sama Pakde. Naik motor PP, sampe pantat saya keram, Bang."
Rian tertawa keras. "Ooo... jadi itu sebabnya pantat lo jadi bulat padet begitu?"
"Bukanlah Bang! Itu tuh udah dari sononya. Ih, abang saya kan cerita pengalaman kok malah bahas pantat saya sih?"
"Habis cerita lo kepanjangan kayak novel, Bro. Hahaha. Jadi, habis dari sini lo mau ke mana?"
"Nggak tau juga, Bang. menurut Abang, sebaiknya saya kemana?"
"Dih... kenapa lu nanya gue? Emang lu nggak dikasi alamat sama Pakde lu?"
"Ada sih... alamat pabrik. Katanya cari aja kontrakan yang dekat situ." Bayu menyodorkan secarik kertas.
Rian membaca seksama."Oh, ini mah masih masuk Jakarta Selatan, daerah Pasar Minggu. Banyak pabrik konveksi kecil di situ. Jadi dari sini, lo bisa naik bis ke arah Blok M, nanti dari Blok M, bisa naik MRT ke Cipete biar lebih cepat. Di Cipete lo bisa naik ojek online." jelas Rian. Bayu mendengarnya sambil planga plongo. Blok M, Cipete, MRT serta ojek online, semua terdengar asing ditelinganya.
Rian diam sejenak lalu sebuah ide terbesit dipikirannya. "Apa gue ajakin dia ngontrak bareng aja ya? Lumayan gue bisa hemat uang kontrakan dibulan pertama, jadi masih bisa bayar utang juga. Lagian dia kelihatannya anak baik-baik plusnya lagi, ganteng." Kata Rian dalam hati sambil tersenyum ke Bayu.
"Bay, lo mau nggak tinggal bareng gue?"
Bayu bengong mendapat pertanyaan itu. "Maksudnya, Bang?" Tanya Bayu.