Kontrakan Cinta : Rian dan Bayu

Tara Joo
Chapter #2

CHAPTER 2

Mereka berjalan beriringan di pagi hari menjelang siang. Tepat setelah tikungan ada gang sempit depan dihiasi spanduk jasa fotokopi, warung kelontong dan jemuran sprei yang melambai-lambai.

Rian berjalan lebih dulu, menyeret koper hitamnya ke tengah jalan gang. Bayu tertinggal beberapa meter dari posisi Rian dengan banjir peluh di pelipisnya sambil masih memeluk kardus mi instan yang sudah nyaris ambruk.

Bau gorengan, comberan dan pewangi pakaian bercampur di udara. Lagu Dangdut di radio, sinetron azab, plus ribut ibu-ibu di dapur jadi musik sambutan. "Welcome to Gang Cipete, Bro," kata Rian berbinar. Bayu hanya melongo, sangat kontras dengan pemandangan dari jendela MRT tadi.

Seolah tau keraguan Bayu. Rian mendekat kembali mengejutkannya dengan satu tepukan di pundak.

"Gimana Bay? Lu sudah siap berjuang menghadapi kerasnya ibu kota?"

"Saya ragu, Bang. Apakah saya bisa kuat bertahan dan betah disini. Semuanya sangat berbeda dengan suasana kampung saya."

"Tenang. Gang ini emang kelihatan horor pas pertama, tapi disini aman, kok.” ujar Rian sambil tersenyum dan Bayu mendesah.

"Kayak masuk dusun... tapi versi sempit dan rame banget."

"Persis. Lo bakal betah, Bay. Asal lu tahan digosipin Ibu-ibu gang," kata Rian, tertawa kecil.

"Lu nggak usaha panik duluan gitu dong. Bro... itu hal biasa yang dialami para pendatang baru di Jakarta, wajar aja kalau semua nampak berbeda dan mungkin mengkhawatirkan. Tapi lu tenang aja. Lu nggak sendiri kok disini. Kan ada gue." Lanjut Rian sambil memainkan alisnya ke Bayu yang masih memasang wajah khawatir.

"Asal lu nggak macam-macam, Bro gue yakin kita bisa akur terus. Lagian gue rasa kita berdua cocok" kata Rian menyenggol lengan Bayu.

"Maksudnya, Bang?" Tanya Bayu. Rian tak menjawab dia hanya terus berjalan seolah tak perduli dengan Bayu yang masih mencerna perkataannya.

"Maksud gue... kalau lu terus-terusan bengong disitu, gue tinggal" kata Rian berlalu sambil menarik koper hitamnya meninggalkan Bayu yang masih kebingungan.

"Bang... tungguin dong. Kok saya ditinggal terus sih." Bayu mengejar Rian dari belakang sambil membawa tas jinjing dan dos mie instantnya yang sakral.

Semakin ke dalam suasananya semakin ramai. Beberapa orang memandangi mereka, tapi sebagian lain langsung menyapa Rian dengan hangat.

"Eh, Rian! Balik lagi lu ke sini?" sapa seorang tukang ojek gang.

"Iya, Bang Panjul. Gue dapet kerja lagi di Blok M," jawab Rian ramah.

"Wuih... selamat ya, Yan. Nanti kalau udah mulai kerja, langganan ojek gue lagi ya?"

"Beres... Nomor HP masih sama, kan?"

"Masih dong, Yan. Lo tinggal calling aja, Bray."

Di pertengahan gang, seorang perempuan berdandan menor dengan pakaian berwarna cerah ketat, menutupi tubuhnya yang terlalu ramping. Dia menggoda dari depan salon dengan suaranya yang berat tapi dipaksakan lembut. "Wah, Babang tampan! Lama nggak kelihatan. Mau ngontrak lagi sama Bu Lastri, Bang?" goda Marni, waria pemilik salon, sambil mencolek pundak Rian dan mencuri pandang ke arah Bayu.

"Iya… Mar. Makin menor aja nih muka lu. Lipstik lu merah banget. Habis cipokan sama genderuwo, lu?" ledek Rian sambil setengah berlari. "Ih, Bang Rian! Ngeledek Marni mulu. Awas lo, Bang, lewat depan salon lagi gue botakin, biar gantengnya hilang!" sewot Marni, tapi masih sempat main mata dan memberikan kiss bye ke Bayu, yang ditanggapinya dengan senyum aneh dan gelengan ngeri.

Didepan sebuah kios, Rian mempercepat langkahnya tanpa menoleh.

"Eee, Yan! Balik lu! Inget ya, lo masih ngutang mie dua ama telur satu sama gue!" teriak Mpok Sarah dari balik warung kecilnya yang tidak jauh dari salon Marni.

"Yaa, Mpok Sarah... baru juga ketemu udah bahas utang aja. Temu kangen dulu dong, cipika-cipiki gitu," ujar Rian sambil meringis malu ditagih utang depan Bayu.

"Cipika-cipiki pala lu, PA! Gue tabok lu ye. Bayar utang lu cepet!"

"Nanti, lah, Mpok. Gue kan baru sampe nih. Entar gue ke sini deh buat lunasin." jawab Rian setengah merajuk.

"Ya udah... tapi jangan lupa bayar, ya!" "Beres!" kata Rian sambil mengacungkan jempol. Kemudian mereka lanjut berjalan.

Akhirnya mereka sampai di depan sebuah rumah kontrakan. Pekarangannya dikelilingi pagar besi bercat hitam agak mengelupas. Rumah utamanya asri dan bersih, terasnya dipenuhi pot bunga warna-warni. Seorang perempuan paruh baya dengan gelungan rambut setengah beruban, sedang menyiram tanaman. Seorang pria tua, mencuci motor butut di halaman. Di sebelah rumah utama berdiri dua petak bangunan, degan satu pintu, satu jendela, dan langit-langit rendah yang khas gang Cipete.

Rian berhenti di depan pagar, lalu melirik ke arah Bayu. "Selamat datang di rumah kontrakan kita, Bro. Nggak mewah, tapi... lo bakal susah ninggalin tempat ini nanti." Bayu menatap bangunan itu. Matanya berbinar. Ada rasa takut tapi juga antusias.

"Assalamualaykum... Bu, Pak." Rian melangkah masuk ke halaman, menyeret koper hitam, di belakangnya. Bayu hanya berdiri dekat pagar, tas jinjing di tangan kanan, kardus mi instan yang hampir hancur dipeluk erat-erat di dada. Wajah pasrah dan lelah bercampur jadi satu. Pak Sugeng yang sedang mencuci motor tua mendongak. Bu Lastri yang menyiram bunga menghentikan gerakannya, menyipitkan mata. Mereka saling pandang sejenak, lalu ekspresi terkejut muncul bersamaan.

"Ya Allah... Rian? Waalaykumussalam." seru Bu Lastri setengah berteriak.

"Eh, Rian! Baru datang, Yan," sapa Pak Sugeng ramah, melepas lap motor lalu menyodorkan tangan untuk bersalaman. Rian tersenyum lebar, membalas salaman itu.

"Pagi, Pak... Bu. Masih ingat juga, ya, sama saya?"

"Masih dong! Lha wong dua hari lalu kamu masih nge-chat Ibu soal kontrakan. Tapi habis itu ngilang! Eh, sekarang tahu-tahu muncul." komentar Bu Lastri.

"Hehe... maaf, Bu. Kemarin saya mikir dulu, soalnya Ibu bilang harga sewanya naik. Tapi sekarang saya ke sini karena... ya, saya udah cocok tinggal di sini. Nyaman," jawab Rian.

Sejurus kemudian, nada suaranya berubah serius. "Tapi saya mau ngobrol soal satu hal dulu, Bu." Pak Sugeng dan Bu Lastri langsung pasang wajah waspada.

"Ngomong apa, Yan?" tanya Pak Sugeng.

Lihat selengkapnya