Kontrakan Cinta : Rian dan Bayu

Tara Joo
Chapter #3

CHAPTER 3

Subuh baru saja usai. Bayu bangun dengan sisa hangat di tubuhnya. Ia masih ingat jelas semalam punggung Rian merapat ke tubuhnya. Dingin kalah oleh rasa itu. Ia ingin menoleh, tapi memilih diam. Sambil senyum kecil, ia bangkit dan langsung menuju kamar mandi, menyiapkan cucian.

Di halaman, Bayu mulai menjemur pakaiannya. Tak jauh darinya, Bu Sri sedang menyapu.

“Pagi, Mas Ganteng. Rajin banget,” sapa Bu Sri.

Bayu tersenyum. “Eh, Bu Sri... iya nih, mumpung bangun pagi.”

Bu Sri mendekat. “Ibu senang kamu sama Rian ngontrak di sini. Jadi nggak sepi. Mudah-mudahan betah ya." Nada suaranya tulus. "Si Babang Tampan mana? Kayak pengantin baru lho kalian.”

Bayu terkekeh. “Ah, Bu Sri... biasa aja kok.” 

“Serius lho, Ibu sampai mikir kamu itu gandengan barunya Rian.”

Bayu memiringkan kepala. “Gandengan baru? Maksudnya, Bu?”

“Eh... nggak. Ibu pikir kamu itu teman kantornya dulu yang sering nginep.”

Bayu mengerutkan dahi. “Teman kantornya sering nginep, Bu? Cowok atau cewek, Bu?”

“Ya cowok lah. Rambutnya aja yang gondrong. Kalau cewek beneran? Wah, diusir Bu Lastri.” Bayu menelan ludah.

“Tapi sukurlah sudah dapat kerja lagi. Dulu dia kena PHK waktu Covid, dia stres berat. Jual semua barangnya buat modal pulang kampung. Eh... tapi Mas ganteng itu beruntung punya teman kayak dia. Rian itu anak baik kok. Dia itu nolongnya nggak pernah setengah-setengah. Wajah Bu Sri melunak. "Dulu waktu masih kerja, dia suka bantu Ibu kalau telat bayar kontrakan. Dia itu perhatian.” 

Bayu diam. Cerita itu membuka lembar baru tentang Rian.

Bu Sri menatapnya dalam-dalam. “ Ibu tahu kok kalian berdua bukan saudara jauh, kan? Pasti ini ide Rian, biar bisa balik ke sini dan mengajak kamu.” tebak Bu Sri yang dibalas Bayu dengan senyuman.

“Eh, Ibu mandi dulu ya. Nanti main ke mal tempat Ibu kerja, ya?"

"Buat apa, Bu?”

“Ya... biar Ibu bisa bilang ke temen-temen kalau ibu punya tetangga baru di kontrakan yang ganteng,” ujar Bu Sri sambil nyengir.

Bayu melangkah masuk kembali ke kamar. Rian duduk di tepi ranjang, wajahnya masih setengah sadar. Ia mengucek mata, lalu menguap panjang.

Singlet hitamnya terangkat sedikit, menyingkap garis perut dan bulu tipis di bawahnya. Lebih parah lagi, bokser abu-abunya jelas menampilkan tonjolan keras yang berdiri gagah tanpa kompromi.

Dengan santai, seolah hal itu lumrah setiap pagi, Rian menyelipkan tangan ke dalam bokser lalu menggaruk selangkangannya. Begitu menyadari tatapan kaget Bayu dari pintu, senyum nakal langsung tersungging di wajahnya.

“Eh, Bay… lu abis nyuci ya? Rajin amat pagi-pagi.” Suaranya serak, khas orang baru bangun.

Bayu cepat-cepat mengangguk, menutupi kegugupan. “I-iya, habis Subuh saya bangun.” Ia buru-buru bergegas ke kamar mandi.

Rian malah santai bersandar. “Wah, makasih lho Bay. Gue udah niat laundry aja tadi.”

Suara Bayu terdengar dari balik kamar mandi, berusaha terdengar normal padahal bayangan tonjolan tadi masih melekat di kepalanya. “Nggak seberapa kok, Bang. Cuma dikit.”

Rian nyengir, lalu bersuara agak keras, “Eh, Bay… abis ini kita belanja yuk ke pasar. Biar ada stok buat sarapan dan bekal makan siang.”

Bayu keluar setelah agak tenang. “Wah, ide bagus, Bang. Sekalian saya mau beli sepatu buat kerja besok. Sepatu saya masih basah.”

“Oke. Kalo sepatu belinya di mal aja sekalian, Bay. Biar bisa cuci mata.”

“Wah, seru tuh Bang. Siapa tahu dapet kenalan cewek.” Bayu nyengir jahil.

“Buset, nih anak. Baru sehari di Jakarta udah mau cari pacar.”

“Kan cuma cari kenalan, Bang.”

Rian ngakak. “Noh, Marni nitip salam buat lo.”

“Ogah, Bang. Ngeri. Suaranya aja ngebass.” Mereka tertawa bareng.

“Bay... sini deketan duduknya,” kata Rian, menepuk kasur.

Bayu menoleh, curiga. "Kenapa?"

“Yaelah... curigaan amat sih lu. Gue mau buat daftar belanjaan doang. Biar jelas berapa duit yang kita keluarin.” ketus Rian.

Bayu akhirnya naik ke kasur, duduk agak menjauh.

“Jauh amat, anjir... Sini dong deketan. Gue nggak mau ada yang merasa dirugikan.”

Bayu menatapnya. "Saya percaya Bang Rian kok."

“Justru karena itu, lu harus belajar strategi bertahan hidup di kota besar. Kali aja suatu saat gue usir lu. Wkwkwkwk…”

“Ih... Bang Rian tega banget,” keluh Bayu. 

“Makanya, lo baik-baik sama gue. Oke, kita list dulu mau belanja apa aja?”

Dalam hati, Bayu merasa aneh. Mereka baru bertemu kemarin, tapi sekarang sudah duduk berdua di atas kasur, diskusi belanja bulanan.

“Oke fix... gue cuci muka dulu. Terus kita cabut” kata Rian beranjak ke kamar mandi. 

“Nggak mandi dulu, Bang?”

“Ngapain mandi, entar juga keringetan lagi. Nanti pulang dari pasar gue mandi. Yang penting harum Bay…”

“Oo... ternyata begitu." Bayu terkekeh pelan. Dia lalu mengambil HP, menghubungi ibunya.

Tuut... tuut... klik.

Bayu: "Assalamualaikum, Bu. Bayu udah sampe Jakarta, kemarin pagi. Maaf ya Bu baru sempat ngabarin hari ini"

Ibu: "Waalaikumussalam... Alhamdulillah, Mas udah sampai dengan selamat. Ibu nungguin telepon kamu dari kemarin. Kamu dapet tempat tinggal di mana, Nak?"

Bayu: "Alhamdulillah, udah, Bu. Bayu ngontrak sama temen di sini. Yang punya kontrakan juga baik banget. Bayu udah bagi-bagi kue buatan Ibu." 

Ibu: "Syukur lah. Siapa namanya?"

Rian keluar dari kamar mandi dan berdiri depan cermin memunggungi Bayu yang teleponan.

Bayu: "Namanya Rianto, Bu. Tapi saya panggil Bang Rian. Dia lebih tua kayaknya."

Dari pantulan cermin, Rian melihat Bayu tersenyum sendiri.

Ibu: "Tapi dia orang baik kan Mas... bukan pengedar narkoba?"

Rian menoleh ke Bayu, ekspresinya berubah.

Lihat selengkapnya