Kontrakan Cinta : Rian dan Bayu

Tara Joo
Chapter #5

CHAPTER 5

Matahari perlahan merangkak naik di ufuk timur Jakarta. Suara azan Subuh berbaur dengan deru kendaraan yang mulai ramai. Bayu sudah lebih dulu bangun. Matanya terbuka perlahan. Begitu sadar sepenuhnya, ia merasakan hembusan napas dan dengkuran halus di dekat telinganya. Refleks, ia menoleh dan hampir menabrak wajah Rian yang tidur tepat di sampingnya. Bayu menatap sejenak, takut kalau Rian sampai terbangun. Tapi entah kenapa, kepalanya menolak untuk segera menjauh. Wajah itu tampak tenang dan damai dalam posisi tidur yang begitu dekat, tangan dan kaki Rian masih melingkar di tubuhnya. Ini aneh… tapi nyata. Kehangatan itu memberikan rasa nyaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Bayu menarik napas dalam-dalam, membiarkan sensasi pagi itu mengalir dalam diam.

Duuuuuttttt… Tiba-tiba, Rian kentut.

“Kurang asem… uwek!” Bayu buru-buru menutup hidung sambil mendorong tubuh Rian menjauh. Rian cuma menggeliat pelan. Tangannya refleks masuk ke celana, lalu... mulai gerak. Morning wood-nya pun ikut berdetak, seenaknya sendiri. Bayu terpana sesaat, lalu cepat-cepat menggeleng. Ia bergegas masuk kamar mandi untuk berwudu.

Selepas salat, Bayu sibuk di dapur menyiapkan sarapan dan bekal. Sementara Rian masih terbujur di kasur, kayak mayat ngaceng. Suara panci dan piring tak cukup keras untuk membangunkannya. Sesekali, Bayu melirik ke arah kasur. Was-was juga kalau Rian beneran mati. Tiba-tiba, pintu kontrakan diketuk dari luar. Suara Bu Sri terdengar memanggil.

“Rian… Bayu… bangun, sudah pagi nih!” Bayu buru-buru ke depan dan membuka pintu. Bu Sri sudah berdiri di sana, seragam lengkap, wajahnya tertutup riasan.

“Pagi, Mas Ganteng! Wah, Mas Ganteng rajin amat. Pagi-pagi begini udah masak. Babang Tampan masih tidur?”

“Iya, Bu. Masih,” jawab Bayu sambil tersenyum.

“Duh, bener-bener tuh anak. Nggak ada berubahnya. Masih kayak dulu. Dulu tiap pagi Ibu yang bangunin. Kalau nggak digedor pintunya, dia nggak bangun. Apalagi kalau si gondrong nginap. Bisa-bisa dia nggak mandi, cuma cuci muka doang tuh ke kantor.”

DEG.

Ada rasa aneh menggelitik di hati Bayu saat nama "si gondrong" disebut. Sesuatu yang sempat hilang kemarin, kini muncul lagi.

“Eh, Bay… Ibu berangkat ya. Kalian jangan sampai telat. Di Jakarta tuh jarak bisa dekat, tapi waktu bisa lama karena macet. Mending kalian bergegas. Mari, ya… Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, Bu…”

Bayu kembali masuk, membereskan sarapan, lalu bersiap mandi. Setelah itu, ia berniat membangunkan Rian.

Ia menatap wajah Rian lagi. Ingatan soal "si gondrong" dan masa lalu Rian mengganggunya.

“Bang… Bang Rian… Bang, bangun, Bang. Udah pagi

“Duh… berisik amat sih, Bay… orang lagi enak-enak molor juga,” gerutu Rian dengan suara serak sambil menguap, lalu balik tidur lagi. 

“Woi… bangun, woi! Ini hari pertama kita masuk kantor!” 

“Iya… iya… gue bangun, Bay. Cerewet amat sih lu, kayak emak gue…” Rian akhirnya bangkit dan jalan setengah sadar ke kamar mandi. 

“Nah, gitu dong. Habis mandi sarapan ya. Saya udah bikin telur goreng plus sambel yang bisa bikin Bang Rian langsung melek!” 

“Hmm.” Rian ngangguk sambil masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, dia keluar dengan wajah lebih segar. Bayu sudah duduk di meja makan, menunggu. 

“Wuih… wangi banget, Bay, telur gorengnya!” kata Rian sambil meraih sendok. 

“Eit… et et et… pakaian dulu, Bang. Sarapannya belakangan. Saya tungguin kok.” 

“Yaelah, Bay… nanggung ini, tinggal masuk ke mulut doang!” 

“Nggak. Pakaian dulu, baru makan.” Rian meletakkan kembali sendoknya. 

“Eh, Bay… lu gitu amat, kayak ibu-ibu tau.” 

“Biarin. Yang penting kita hidup teratur dan disiplin, Bang. Itu aturan dari pesantren yang selalu aku ingat.” 

“Lah, lu pernah mondok ya, Bay? Pantesan sarungan mulu di kamar. Hahahaha…” 

“Udah, Bang. Cepetan ganti baju, baru sarapan.” 

“Eh, Bay… serius, lho. Baru kali ini gue ngerasa diperhatiin. Lu udah kayak istri gue. Makasih ya, sayang.” 

“Idih! Amit-amit, Bang. Udah, jangan mulai lagi. Ganti baju sana. Nanti terlambat!” sewot Bayu tapi pipinya mulai merona karena malu.

Di depan gang, Bayu sudah berdiri rapi dengan tas kecilnya, menunggu Bang Panjul tukang ojek langganan. Rian sendiri berangkat duluan naik bus. Katanya, suasana di kantor barunya lebih santai.

Tidak berapa lama, Bang Panjul muncul dari arah tikungan. Bayu bergegas meraih helm lalu duduk diboncengan. Suara bising kendaraan bikin kepalanya sedikit pening. Jakarta pagi-pagi memang kejam. Macet, bising, dan udara penuh debu. 

Sesampainya di pabrik, Bayu merasa gugup. Detak jantungnya mulai tidak karuan. Mobil-mobil box lalu lalang, suara mesin yang saling bersahutan bikin kupingnya kayak digempur dari segala arah. Dia diantar satpam ke ruang HRD. Di sana, sudah ada dua orang lainnya, sesama pekerja baru, Budi dan Kipli. Seorang perempuan muda berhijab, berpenampilan rapi dan profesional, menyambut mereka dengan senyum tegas. Name tag-nya bertuliskan: Mariana, tapi ia langsung bilang, Panggil saya Mbak Ana aja.” Mereka bertiga duduk dengan gugup. Mbak Ana membuka satu per satu CV mereka. 

"Budi," katanya menyebutkan sebuah nama, pria bertubuh gempal diujung kanan segera menyahut. "Iya saya, Bu" katanya sembari tersenyum.

"Kamu... mantan pegawai koperasi? Wah, kamu galak dong? Suka nagih utang ya?” canda Mbak Ana. 

“Enggak kok, Mbak. Tergantung nasabahnya juga,” jawab Budi malu-malu. Mbak Ana menetapnya sekilas lalu kembali membuka CV lain.

"Zulkifli..." katanya lagi. Pria jangkung jangkung dan kurus yang duduk ditengah segera mengangkat tangan kanannya. "Saya, Mbak. Zulkifli tapi Mbak anak bisa panggil saya Kipli aja." Jawabnya sambil tersenyum lebar.

“Kamu pernah jadi barista? Boleh dong, kapan-kapan buatin saya kopi?” kata Mbak Ana sambil senyum. 

“Siap, Mbak. Kopi spesial buat Mbak Ana. Mbak Ana sukanya apa? Cappuccino, espresso, Americano, latte, mocha atau kopi tubruk juga bisa. Apapun buat Mbak Ana." Kipli kembali terseyum, membanggakan dirinya. Budi terlihat mencibirnya.

Giliran Bayu. Mbak Ana menatapnya lebih lama. Entah karena kagum, atau curiga. 

“Kamu yang paling muda... dan tampan juga ya. Emang bisa kerja di pabrik? Sayang lho sama gantengnya.” 

 Bayu gugup, tapi tetap menjawab tegas, “Siap, Mbak. Saya sudah siap kerja.” 

“Tapi kamu belum punya pengalaman kerja.” 

 “Saya siap belajar cepat, Mbak. Mohon bimbingannya.” Mbak Ana mengangguk. 

“Oke. Tapi ingat, Bay. Perusahaan ini butuh yang cekatan dan bisa adaptasi cepat. Kalau kamu lambat, bisa-bisa kamu bisa saja langsung di-cut.” Ucap Mbak Ana dengan tegas matanya tetap saja menatap Bayu.

Setelah menjelaskan soal jam kerja, divisi, dan gaji yang sedikit di atas UMR, mereka bertiga diantar ke dalam pabrik. Beberapa pekerja menatap mereka, terutama Bayu, yang langsung jadi pusat lirikan cewek-cewek di bagian produksi. 

Mereka sampai di area gudang barang jadi, sebuah ruangan besar dengan tumpukan kardus bermerek. Suasana kerja yang intens, semua orang fokus dan sibuk dengan kegiatan mereka. Tangan mereka sangat terampil mengepak barang. Seorang pria bertubuh besar, berseragam biru navy dengan HT di tangan mondar-mandir sambil ngoceh keras. Di name tag-nya tertulis: Didi – Manager Gudang. Budi memberanikan diri menyapa, 

“Pagi, Pak. Kami pekerja baru, disuruh menghadap Bapak.” Pak Didi melirik tajam. 

“Emang kamu bisa kerja? Badan gede gitu malah kelihatan lelet.” Budi tertunduk. 

"Yang kurus ini juga. Lu kuat ngangkat barang? Jangan-jangan patah tulang duluan.” Bayu mulai geram. Sorot matanya menatap tajam ke arah Pak Didi. Tapi itu malah jadi blunder. 

“Woi! Ngapain natap-natap saya? Hah?! Anak baru udah berani nantangin saya? Belum tahu siapa gue!” Kipli langsung narik lengan Bayu, kasih kode halus buat minta maaf. Bayu akhirnya menunduk, 

“Maaf, Pak. Saya gak bermaksud.” 

Lihat selengkapnya