Kontrakan Cinta : Rian dan Bayu

Tara Joo
Chapter #4

CHAPTER 4

Azan pertama Subuh berkumandang. Bayu terbangun. Kepalanya pening, lehernya kaku. Ia menggeliat pelan, membalikkan badan dan nyaris meloncat dari kasur. Rian ada di situ. Masih setengah berpakaian. Kemejanya lecek parah, lehernya miring, rambutnya acak-acakan. Dan… ada aroma yang tidak familiar. Bayu mengendus pelan. Wangi parfum maskulin, mahal, menyusup lewat udara. Tapi tertutup tipis oleh bau rokok yang menyengat. Matanya turun ke leher Rian. Ada bekas ungu samar. Dan satu lagi, dekat tulang selangka. Hatinya menegang. 

“Dia pulang jam berapa, sih?” Bayu membatin. Tapi langsung menggeleng. “Bukan urusan saya.” katanya dalam hati, perasaan kesal masih membekas di hatinya. Ia berdiri pelan, masuk kamar mandi tanpa suara. Tapi air yang mengguyur tubuh tak cukup membungkam kegaduhan di kepalanya. Di balik pintu kamar mandi, hatinya bising. 

“Kenapa saya kesel? Toh Rian bukan siapa-siapa. Hanya teman kontrakan. Cuma…” Bayu menunduk. Matanya panas, tapi tidak sampai keluar air. “Saya saja yang bego. Kenapa harus berharap dia peduli?” 

Di dapur, ia menyalakan kompor. Tangan otomatis mengaduk nasi semalam. Tapi pikirannya entah di mana. Awalnya dia akan masak buat dirinya sendiri. Tapi saat telurnya matang dan aroma kecap menguar, tangannya bergerak sendiri. Satu piring lagi dia ambil. Ceplok telur kedua, sesuai selera Rian, telur ceplok yang pinggirannya garing, tengahnya masih lumer. Ia menatap dua piring di atas meja. Lalu tanpa suara, ia segera memakai baju kerja dan melirik ke arah ranjang. Rian masih terlelap. Dia tidur seperti bayi. Satu kakinya menjulur ke bawah ranjang, tangannya neken jidat sendiri, mulutnya sedikit terbuka. Bayu mendecak pelan. Antara gemas dan kesal. Lalu pergi meninggalkan kontrakan tanpa berpamitan.

Di teras, Bayu bertemu Bu Lastri yang menyapu. "Lho, Bayu. Pagi amat berangkatnya? Rian mana? Tumben nggak bareng." 

Bayu tersenyum kaku. “Masih tidur, Bu. Susah banget dibangunin. Tadi udah saya coba, tapi kayaknya kecapekan.”

"Hmm… kalian berantem ya?" tanya Bu Lastri tajam.

"Eh… nggak, Bu. Nggak kok." Ia menunduk buru-buru. "Saya pamit dulu ya. Takuk telat, nanti dimarahin mandor. Oh ya, Bu… sekalian minta tolong Rian dibangunin Soalnya kalau nggak dibangunin, bisa jam sepuluh baru bangun."

"Iya deh. Memang Rian susah dibagunin kalau pagi. Hati-hati ya, Le" Bayu mengangguk sambil semyum kemudian dia beranjak pergi keluar halaman kontrakan. Langkah Bayu cepat, seperti ingin kabur dari sesuatu yang tidak bisa dia bilang. Di belakangnya, terdengar suara khas Bu Lastri yang menggelegar.

“RRRRIIIIAAAANNNNN!! BANGUUUUUN! KALO KAMU TIDUR TERUS, KAPAN DAPET JODOHNYA, HEH?! Rian bangun dengan setengah nyawa. Mengucek mata, duduk ditepi ranjang, melirik jam.

"IYA BUUUUU LAS... Saya sudah bangun." Tangannya mengaruk-garuk kepalanya.

"Sial...!" Umpatnya. Matanya menyapu sekitar. Bayu sudah tidak ada. Tapi ada sepiring Nasi goreng diatas meja. Rian duduk sambil bengong.

“…Dia masih sempet masakin? Tapi kok nggak ngebangunin gue?" Hatinya ngedumel. Ia buru-buru memcuci muka, ganti baju, semprot parfum sekenanya. Lalu makan. Satu suap, dua suap…

"Entar pulang gue habisin deh. Keburu telat nih." Dia bergegas keluar. Saat menitipkan kunci ke Bu Lastri, ia berbasa-basi.

"Bu… tadi pagi ketemu Bayu, ya?"

"Iya. Katanya kamu udah dibangunin, tapi masih molor. Ibu tadi mikirnya kalian berantem."

“Berantem?" Rian seketika teringat panggilan Bayu yng dia reject kemarin.

"Mungkin saja iya,” pikir Rian. Tapi mulutnya hanya mengucapkan, “makasih, Bu.”

Di bus, Rian membuka ponselnya. Jarinya berhenti di atas nama Bayu. Ia berniat untuk memghubunginya tapi akhirnya batal. “Biarin. Dia yang diam duluan. Emangnya gue harus terus-terusan nyariin?” Dia matikan layar ponselnya namun dadanya tetap terasa berat. Bukan karena kurang tidur. Tapi karena ada sesuatu yang belum selesai.

Sementara di gudang pabrik, Bayu sibuk kegiatannya menyusun dus. Tapi beberapa kali lirikan matanya ke arah HP yang sunyi.

“Dia nggak WA… ya udah. Nggak ngarep juga.” Tapi jarinya masih ngelus layar HP yang gelap. Seolah menunggu notifikasi yang nggak kunjung datang.

"Woy, Bay! HP lu taruh, tuh Pak Didi udah jalan ke mari!" seru Budi sambil nyenggol lengannya. Bayu buru-buru selipkan HP ke saku celana. Tapi jari-jarinya tetap gelisah. Dan hatinya, meski dikeraskan… tetap menunggu.

Azan Magrib baru saja selesai berkumandang ketika Bayu akhirnya keluar dari gerbang pabrik, disambut motor Bang Panjul yang meraung pelan. Tubuh Bayu terasa remuk, setiap sendi seperti protes. Keringatnya sudah mengering, menyisakan jejak asin di kulit dan aroma yang bercampur debu serta polusi.

"Baru kelar, Bay?" sapa Bang Panjul, matanya melirik Bayu yang tampak lesu. Bayu mengangguk lemas, "Iya nih, Bang. Tubuh saya sudah remuk semua ini. Capek sekali kerja di pabrik." Tangannya refleks memijat pundak yang pegal. Bang Panjul terkekeh. 

"Nikmatin aja, Bay. Syukur dah lu merantau dapat kerja. Lha gue orang asli Jakarta malah narik ojek." Ia menggeleng-gelengkan kepala. Bayu tersenyum tipis. 

"Ya... disukuri juga dong, Bang." Seulas senyum samar terukir di bibirnya yang sedikit pecah.

"Kalau Rian gimana? Belum pulang dia, Bay?

"Rian." Kata Bayu nyaris ta terdengar. Nama itu lagi-lagi disebut. Seketika, Bayu merasa dadanya berdesir aneh, ada gejolak tak nyaman yang muncul. Dia ingin mengabaikan, tapi rasa penasaran menguasai. 

"Mungkin dia belum pulang, Bang. Nggak tahu juga dia nggak ngasih kabar," jawab Bayu datar, matanya menatap jalanan yang mulai gelap.

"Semalam dia nelepon jam 12, minta dijemput. Katanya ada rapat dadakan. Gue ogah, bro. Gila kerja sampe segitunya." Ucap Bang Panjul "Gue sih emang narik buat cari uang, tapi kalau semalam itu gue juga mikir, sih," jelas Bang Panjul, suara knalpot motornya membelah keramaian senja Jakarta. Tangannya cekatan memutar gas.

Jantung Bayu berdebar pelan. Jam 12 malam? Rapat dadakan? Otaknya memutar kembali ingatan tentang Rian yang pulang dengan kemeja kusut, bau parfum asing, dan jejak kemerahan di leher. "Ooo... gitu ya, Bang," sahut Bayu, mencoba terdengar biasa, padahal hatinya mulai diliputi tanya.

"Iya... lo nggak nanya ke dia? Emang kalau kerja kantoran harus selarut itu ya?" Bang Panjul melirik Bayu dari spion. Bayu menunduk.

"Nggak, Bang. Pas dia pulang saya sudah tidur. Saya berangkat pun dia masih tidur. Kelelahan mungkin," dalihnya, meskipun ia tahu ada yang tidak beres. Kata-kata Bu Sri tentang "si gondrong" dan komentar Rian soal masa lalu kelamnya kembali terngiang. Apakah dia kembali lagi ke dunia kelam itu? Sehitam apakah masa lalunya? Bayu memejamkan mata, membiarkan angin sore menerpa wajahnya.

Sampai di depan kontrakan, motor Bang Panjul berhenti. Bayu turun dengan langkah gontai, badannya terasa makin berat. Ia langsung disambut Bu Lastri yang sedang menyiram pot bunga di teras. Wanita paruh baya itu tersenyum lembut, tangannya langsung menyodorkan kunci kontrakan.

Lihat selengkapnya