Kontrakan Cinta : Rian dan Bayu

Tara Joo
Chapter #6

CHAPTER 6

Pagi itu, mentari Jakarta menyengat, tapi suasana di kontrakan Bayu dan Rian dingin. Kecanggungan semalam masih menggantung. Bayu terbangun lebih dulu, menatap Rian yang terlelap, dengkur halus terdengar. Kemudian ia merenung, menyesali sikapnya semalam. Ia ingin bicara, tapi gengsi menahannya.

Setelah Bayu salat subuh, Rian terbangun, tidak baisanya dia segera mandi dan berganti pakaian. Di dapur, Rian menyeduh kopi, punggungnya tegang. “Pagi, Bang,” sapa Bayu pelan. Rian cuma berdehem, fokus pada cangkirnya lalu berjalan meninggalkan dapur, berdiri di ambang pintu menikmati kopinya.

Tidak ada candaan atau godaan khas Rian. Biasanya dia selalu cerewet, selalu bisa mencairkan suasana, kini diam, seolah tembok tak terlihat membentang di antara mereka. Rasa kesal Bayu kini tergantikan oleh sedikit panik karena diabaikan.

Setelah mandi dan berpakaian, Bayu sarapan. Dia duduk di kursi tanpa suara. Ia mulai menyantap makanannya sambil sesekali melirik Rian yang masih berdiri di depan pintu, sibuk dengan kopinya. Seolah Bayu tidak ada di sana.

"Nggak sarapan, Bang?" tanya Bayu lagi, berusaha mencoba.

"Nanti saja," jawab Rian pendek, masih tanpa menoleh.

Bayu menunduk, nafsu makannya tiba-tiba menghilang. Rasanya seperti ditampar. Ini adalah perang dingin yang nyata. Beberapa menit kemudian, Bu Sri melintas di depan kontrakan, berseragam rapi, siap berangkat kerja ke Mal.

"Pagi, Bang Tampan!" sapa Bu Sri ceria, melambaikan tangan.

Rian tersenyum simpul, keramahan itu kembali terlihat. "Pagi, Bu Sri yang cantik. Mau berangkat kerja, ya?"

"Ah... Kamu bisa aja, Yan. Sendirian aja nih? Mas Ganteng mana?" Bu Sri melirik ke dalam kontrakan.

"Ada tuh di dalam, lagi sarapan," jawab Rian ringan, sedikit mengangguk ke arah Bayu.

"Owalah.... kirain Mas Ganteng masih tidur. Eh... Ibu berangkat ya... Bye..." Bu Sri melambaikan tangan, kemudian bergegas pergi.

"Hati-hati, Bu..." kata Rian, masih dengan senyumnya yang ramah, sampai punggung Bu Sri menghilang di tikungan gang.

Namun, saat Rian berbalik badan lalu menyimpan cangkir kopinya di wastafel, sikapnya berubah drastis. Senyum di wajahnya memudar, tatapannya kembali datar dan aura dingin itu kembali menyelimuti dirinya. Bayu dapat merasakan sebuah sinyal kuat bahwa kehangatan Rian tadi hanya untuk Bu Sri, bukan untuknya.

Rian kemudian mengambil tasnya kemudi ia keluar begitu saja dari kontrakan tanpa menoleh lagi ke arah Bayu.

Bayu hanya bisa menatap punggung Rian yang menjauh, meninggalkannya sendirian di kontrakan, dingin dan sunyi.

"Bang Rian benar-benar marah" batinnya.

Sesampainya di kantor, Bayu tetap berusaha bekerja keras seperti biasa. Seperti janjinya pada Mbak Ana, dia belajar dengan cepat, berusaha menelan setiap instruksi yang kadang diberikan dengan nada tinggi oleh Pak Didi. Dia juga tidak ingin berurusan panjang dengan Mandor Gudang yang galak itu. Meskipun beberapa kali, dia kedapatan murung oleh Budi dan Kipli.

Seperti biasa, saat istirahat siang, mereka berkumpul di mushola salat dan makan siang.

"Woi... Bay, kamu kok murung terus sih? Lagi ada masalah?" tanya Budi, matanya menatap Bayu yang tampak lesu.

Bayu menghela napas tipis. "Tidak kok, Bero. Saya baik-baik saja." Ia mencoba tersenyum, tapi terasa kaku.

"Alaaaa... Nggak usah bohong, Bay. Kelihatan kok beberapa kali kamu melamun saat kerja," timpal Kipli, tangannya menyenggol lengan Bayu.

"Gitu ya...? Kok saya tidak sadar," canda Bayu, berusaha menyembunyikan kegelisahan.

Budi berhenti menguyah. "Bayu... kamu itu tipikal cowok polos yang tidak pandai menyembunyikan masalah. Kenapa? Masalah uang? Atau masih soal pekerjaan? Kamu masih tidak terima dikasari Pak Didi? Santai, Men... dunia kerja memang begitu. Selama kamu masih punya bos, kamu akan terus-terusan ditindas. Kita mah orang kecil, Bay. Nurut saja." Ia menepuk pundak Bayu.

"Atau kamu ada masalah percintaan, Bay? Sudah... kalau tidak sejalan, tinggalkan, Bay. Cewek masih banyak kok," Kipli menambahkan, seringai jahil muncul di wajahnya.

"Iya, Bay... kita ini laki-laki, Bro. Jangan mau ditindas sama cewek." Budi mengangguk setuju.

"Tapi kalau ditindas perusahaan, kita nurut saja gitu?" tanya Bayu, nadanya sedikit sarkas, mengangkat alis.

"Ya... ya... itu kan beda lagi, Bay." Mereka bertiga tertawa bersama, suara mereka memecah keheningan mushola. Namun, ucapan Kipli, "Kalau sudah tidak sejalan, tinggalkan saja," membekas di benak Bayu. Apakah sebaiknya saya pindah ke kontrakan baru saja ya? Tanyanya pada diri sendiri, hatinya terasa sesak.

Malam harinya, setelah salat Magrib, Bayu masih sempat memasak nasi dan telur ceplok. Aroma masakan sederhana itu memenuhi kontrakan. Tiba-tiba, pintu kontrakan Bu Sri di seberang terbuka, dan wanita itu muncul dengan sepiring kangkung tumis sambal terasi.

"Haloooo... Mas ganteng. Sendirian saja nih?" Bu Sri tersenyum lebar, matanya melirik ke dalam, seolah mencari sesuatu.

"Eh... Bu Sri. Iya nih, sendirian. Ayo, sekalian makan, Bu," ajak Bayu ramah, tersenyum kecil.

"Sudah tidak usah. Ini Ibu masak sayur tumis kangkung sambal terasi kesukaan kalian," katanya sambil terkekeh. Bayu tersipu malu. Bu Sri dan bahkan Rian pasti masih ingat kejadian saat Bayu dengan polosnya menyuapi Rian dengan kangkung tumis di hari pertama mereka.

"Rian belum pulang?" tanya Bu Sri lagi.

"Belum, Bu... masih sibuk mungkin," kata Bayu, sambil menyimpan piring kangkung tumis itu di atas meja. Bu Sri masih menunggu di luar, tidak bergerak.

"Kamu gimana sih... kamu kan teman sekamarnya. Masa tidak tahu?" Bu Sri memasang wajah sebal.

Lihat selengkapnya