"Sebatas kata sederhana tanpa cerna. Menghunjam hati yang menolak untuk lupa."
Tiba-tiba saja sebuah jaket hitam terulur di hadapannya. "Pake ini aja."
Lovi mendongak, melihat siapa yang mengulurkan jaket untuknya. Ia pikir tidak akan ada yang peduli. Tapi ternyata sosok ini tidak meninggalkannya. Iya! Devan.
"Kok Mas-nya balik lagi?" tanya Lovi dengan polosnya. Karena, seingatnya tadi Devan sudah berlalu dengan motor maticnya, lalu mengapa tiba-tiba kembali ke sini.
"Ada yang ketinggalan."
Lovi terpaku pada jaket hitam dan pemiliknya. Masih tak cukup percaya. Entah sudah keberapa kalinya ia melakukan hal serupa–dengan tempat-tempat yang berbeda, baru kali ini merasakan ada yang benar-benar memperhatikannya. Biasanya, semua orang akan menganggapnya–enggak ada urusannya sama gue. Apalagi untuk kategori orang asing. Sebelumnya, yang peduli pada dirinya, ya, hanya dirinya sendiri. Terlebih dalam keadaan seperti ini.
"Jaket saya mau diambil enggak, Mbak?" Devan melirik ke arah jaketnya yang sedari tadi tak kunjung diraih. Kalau dia tahu, pegal juga terus meluruskan tangan seperti itu.
Lovi tersadar. Jadi, lupa pada jaket di hadapannya. Akhirnya Lovi meraih jaket itu. Jaket hoodie tebal berbahan cotton fleece. Kemudian ia berdiri. Menggenggam jaket itu erat di depan dadanya. "Makasih, ya." ucapan terimakasih untuk yang kedua kalinya.
Devan hanya tersenyum, lalu mengangguk. "Mbak, sendiri kenapa masih di sini?" tanya Devan balik. Pasalnya kedai ini jelas-jelas sudah tutup, dan dia sendiripun melihatnya saat Devan sedang mengunci, lalu untuk apa Lovi masih di sini? Sedang menunggu? Tapi melihatnya, Devan menjadi tidak tega sendiri. Seorang perempuan, berjongkok di depan kedai kopi yang sudah tutup seorang diri. Bahaya juga jika ada yang mengganggunya.
"Enggak tau mau ke mana." Lovi memelas. Yang kali ini sepertinya memang benar-benar memelas. Kepalanya menunduk, menatap sneakers hitam yang dikenakan Devan.
"Enggak pulang?" Devan bertanya dengan hati-hati. Takut-takut ada hal yang menyinggung soal kata 'pulang'. karena jika Lovi memang sedang baik-baik saja, mengapa ia tidak pulang? Mungkin kah sedang ada masalah di rumah? Begitu pikirnya.
Lovi hanya menggeleng lemah.
Devan bingung harus berbuat apa. Harus kah ia membawa gadis ini ke rumahnya? Ah tidak! Bukan karena ia takut melewati batas. Bukan! Tapi karena ada hal yang tidak bisa orang lain–apalagi orang yang tidak ia kenal–ketahui. "Kalau Mbak enggak mau pulang, terus mau ke mana?"
Lovi tak tahu harus menjawab apa lagi. Mau ke mana? Ia pun tidak tahu ke mana ia harus pergi. Lovi melirik jam tangannya. Pukul 22:21
"Baru jam segini." Lovi menunjukkan angka yang tertera pada jam tangan digitalnya. "Saya belum mau pulang."
Devan berpikir. Mengajaknya bermotoran untuk mengulur waktu? Sepertinya tidak! Devan juga ada urusan yang mendesaknya untuk segera pergi. Tapi, tidak mungkin juga kalau ia meninggalkan perempuan ini seorang diri. Di mana letak gentleman-nya kalau seperti itu.
"Kalau ikut saya aja, mau?" entahlah Lovi akan berpikir dirinya seperti apa. Mesum? Mungkin itu yang pertama terlintas di benak orang ini. Atau penjahat? Bisa jadi juga. Ah! Devan tidak peduli. Niatnya ingin membantu, jadi terserah saja mau beranggapan seperti apa.
Tidak diduga oleh Devan. Lovi justru mengangguk penuh antusias, pancaran matanya seolah berkata, "mau banget! Bawa aku kemana pun kau pergi!"
Devan sempat tersentak. Segitu mudahnya? "Emangnya, Mbak enggak takut sama saya? Bisa aja saya orang jahat." bukannya ingin menakut-nakuti, hanya saja Devan masih agak ngeri membawa seorang gadis tak dikenalnya. Tapi apa manusia satu ini tidak sedikitpun takut kalau bisa saja lelaki di hadapannya ini orang jahat?
"Enggak." Lovi menjawab dengan tegas. "Kalau pun emang Mas-nya orang jahat, terus mau bunuh saya. Saya enggak papa," jawab Lovi dengan santainya. Ya, mungkin, karena memang itu yang ia tunggu-tunggu.
"Kenapa enggak bunuh diri aja, Mbak," canda Devan. Lagipula, mengapa tidak bunuh diri saja daripada repot-repot menunggu orang jahat yang membunuhnya? Devan tak mengerti dengan pola pikir Lovi. Bisa-bisanya menyerahkan hidupnya segampang itu disaat banyak orang di luar sana susah payah untuk bertahan hidup.
Lovi menggeleng, lalu berkata, "dosa." Devan terkekeh. Benar juga ternyata. Jika bunuh diri, maka ia akan berdosa, tetapi jika dibunuh? Sudah pasti yang mendapat dosa ya si pembunuh.