Kopi dari Lovi

Farra Dewi
Chapter #5

Coffe#4 - MIMPI

"Ketika mimpi yang sudah lama dinanti, akhirnya terealisasi. Namun memberi sedikit kecewa hati, akibat tingginya sebuah ekspetasi."

Selama perjalanan, baik Devan maupun Lovi, keduanya sama-sama terdiam. Tak tahu harus membahas apa. Rasanya begitu awkard. Sebenarnya Lovi sudah tidak tahan dengan situasi seperti ini. Ia gigit bibir bawahnya, ingin mengucapkan sepatah kata tetapi selalu saja tertahan, rasanya begitu berat. Seolah pita suaranya habis tak bersisa.

Ternyata bukan hanya Lovi yang tak tahan. Devan pun berkali-kali melirik lewat spion. Ingin mengucapkan satu kalimat, tapi lidahnya terasa kelu. Keduanya sama-sama tak tahan ingin bicara, namun terasa begitu sulit, bahkan hanya dengan satu kalimat.

Keduanya menarik napas dalam, lalu menghembuskannya.

"Mas."

"Mbak."

Pada akhirnya setelah memaksakan diri, keduanya berucap secara bersamaan. Dan hal ini justru membuat keduanya semakin canggung.

"Mas-nya dulu aja, deh."

"Mbak-nya dulu aja enggak papa."

"Enggak. Mas-nya dulu aja."

Keduanya sama-sama saling melempar. Membuat mereka kembali tak siap untuk mengatakan sesuatu. Sebal sekali rasanya ada di posisi seperti ini. Seumur-umur Lovi baru kali ini merasakannya.

"Eum–Itu..., A-anu, apa tuh, i-ini."

"He?"

Devan merutuki dirinya. Lidah sialan! Tidak bisa diajak kompromi. Mengapa tiba-tiba jadi berbelit seperti ini. Anu, itu, ini! Apa maksudnya? Sungguh, Devan ingin menghilang saja rasanya.

"Gimana, Mas?"

"Makan!" ucap Devan secara refleks. Lagi-lagi Devan merutuki lidahnya. Bukan itu yang ingin ia katakan! "Iya makan! Mau makan di mana?" karena sudah terlanjur, jadi ya sudah, tanyakan saja soal makan itu.

"Di... Mana aja. Terserah Mas-nya."

***

Sepuluh menit perjalanan, Devan menepikan motornya pada salah satu pedagang kaki lima. Meskipun waktu sudah menunjukkan tengah malam, namun di beberapa daerah di Jakarta masih banyak pedagang kaki lima yang masih menjajakan dagangannya. Salah satunya pedagang kwetiau ini.

Lovi sempat membeku. Benarkah disini? Benarkah di pedagang kaki lima? Benarkah di pinggir jalan? Benarkah ini malam hari? Lovi rasanya masih tak percaya. Hal yang ia dambakan selama dua puluh tahun hidupnya terjadi saat ini? Tapi....

Dengan orang asing?

"Kita makan di sini?" tanya Lovi memastikan.

"Mbak enggak suka makan di tempat kaya gini, ya?" Devan membawanya kemari karena saat ditanya tadi Lovi menjawab di mana saja. Ya, jadi Devan membawanya ke mana saja. Tapi harusnya ia tidak naif. Meskipun jawaban perempuan di mana saja, bukan berarti semua perempuan mau diajak makan di pedagang kaki lima seperti ini.

"Enggak! Bukan itu! Saya suka." suka? Pernah merasakannya saja belum. "Maksudnya pengen."

"Pengen?"

"Kaya mimpi."

"Mimpi?"

Lihat selengkapnya