"Espresso saja yang hitam kelam dan pahit memiliki banyak pecinta. Mengapa aku yang manusia tidak?"
"Rumah kamu di mana?" tanya Devan. Ia tidak tahu harus mengantar Lovi ke mana. Sedari tadi, Lovi tak memberitahukan alamat tempat tinggalnya. Bagaimana Devan mengantarnya pulang. Setiap ditanya, ia malah menjawab, "saya enggak mau pulang."
Devan terheran. Tadi, belum mau pulang, sekarang, tidak mau pulang. Apa mau wanita ini sebenarnya?
"Terus saya harus gimana?" sudah pasrah, Devan memutuskan semuanya pada Lovi. Biarkan dia membuat keputusan yang dia mau.
"Bantu saya cari tempat penginapan."
*****
Setelah menuruti kemauan Lovi, kini mereka sudah berdiri di depan sebuah rumah tingkat. Tidak terlalu kecil, tidak juga terlalu besar. Tapi bisa dikatakan lumayan. Terpampang sebuah papan bertuliskan 'cari kost putri? Sini merapat'
Sebenarnya, sebelum sepakat untuk ke sini, Lovi sempat meminta dicarikan hotel saja. Tapi Devan bilang, "kamu mau nginep berapa lama? Yakin kamu sanggup bayarnya?"
Kalimatnya ibarat meremehkan Lovi. Tapi, memang, sih Lovi sendiripun tidak yakin akankah uang yang di pegangnya cukup atau tidak. Alhasil, Lovi menuruti Devan untuk mencari penginapan sederhana saja. Kostan misalnya.
Devan meraih ponsel di sakunya. Mencari kontak seseorang. Tak lama, ia merapatkan ponsel itu ke telinganya.
"Iya, gue udah di depan, nih." hanya kalimat itu. Kemudian telepon di matikan.
"Kamu kenal sama yang punya kost?" tanya Lovi.
Devan tersenyum lalu menunduk. Tanpa disadari Lovi, ia menahan tawa.
Akhirnya pintu terbuka. Wanita paruh baya dengan daster ungu bunga-bunga berdiri di hadapannya. "Ngh... Siapa, sih malam-malam gini!"
Lovi terkejut. Rasanya, ia tidak mengetuk pintu. Wanita ini berdiri tepat di hadapannya dengan tubuh yang setengah sadar. Mata yang lima watt—terbukti karena masih merem-melek.
Lovi gelagapan. Ia malah menarik-narik lengan baju Devan. Memberi isyarat untuk bantu menjawab.