Aku ingin bercerita, bagaimana proses bertemu dengan Cata, usai KKN. Tepatnya saat aku mendaki gunung Slamet, aku melihatnya terpeleset kerikil saat sedang summit attack sekitar jam 04.20 wib. Pertemuan yang cukup memorable di ketinggian 3.173 mdpl, dengan tingkat kemiringan 80 derajat. Kebetulan aku berada dibelakangnya, praktis saat dia terpeleset, badannya telentang didepanku. Dia tersenyum, antara menahan rasa sakit atau malu. Aku menyodorkan tangan, dia menggapainya, dan beranjak bangun.
Aku menunjuk batu besar, tidak jauh dari tempatnya terjatuh. "Duduk dulu disini, periksa ada yang luka ga? Soalnya ini batu kerikil."
Wanita blasteran berkulit putih dengan rambut sebahu itu tersenyum tiga centi. "Terima kasih, kak! Iya nih kerasa sakit banget." Keluhnya.
Lalu duduk tepat di batu yang aku tunjuk. Wajahnya meringis kesakitan.
Lima orang turun menghampirinya, begitu pun rombongan-ku yang masih berada dibelakang, jumlahnya tiga orang. Teman-temannya mulai menumpahkan rasa khawatir, dengan puluhan pertanyaan yang jelas tidak sempat dia jawab satu per-satu.
Aku memilih memberi jarak untuk teman-temannya, lalu menyalakan rokok dan minum seteguk. Sambil memperhatikan warna langit yang sangat indah, tidak percaya? Silakan datang ke pelawangan gunung Slamet jam 04.20 wib.
Diagnosa awal dari lima orang temannya dan dari yang dia rasakan, kakinya terkilir. Tidak bisa berjalan, kendati telah dipaksakan. Dari dua kali uji coba, hasilnya mengecewakan.
Hudan Al-Furqon temanku nyeletuk. "Kenapa kakinya?"
Seorang perempuan diantara lima temannya menjawab. "Sepertinya terkilir, Kak. Sakit kalo dipaksa jalan."
"Pa, bukannya bokap lo bisa ngobatin kaki keseleo?" Tanya Hudan.
Aku menoleh, Hudan mengganggu momen-ku memuji semesta. "Ya bisa, terus kenapa?"
"Itu, dia kakinya terkilir, coba pegang. Siapa tau sembuh. Udah diturunin kan ilmunya?" Ucap Hudan.
"Belum lah ngaco!" Seruku.
"Kakak bisa ngobatin kaki yang terkilir? Coba tolongin teman aku, kak. Please..." Ujar perempuan yang tadi merespon Hudan, dengan nada memohon.
Aku berpikir singkat. Aku memang mengerti tata cara pijat yang biasa dilakukan Ayah-ku. Tetapi pengobatan tradisional itu menggunakan media minyak kelapa dan doa-doa khusus, itu yang aku tidak ketahui, dan sepertinya tidak ada minyak kelapa juga disini.
"Pa, tolongin!" Ucap Hudan sambil menepuk pundak-ku.
"Ga ada minyak kelapanya, Dan." Sahut-ku.
"Minyak kelapa, kak? Aku kebetulan banget, bawa. Biasa dipakai buat balurin kulit, biar halus." Ujar perempuan itu lagi.
"Oh iya?" Tanyaku tidak percaya.
Dia mengeluarkan botol kecil berisi minyak kelapa dari tas selempangnya. Ajaib! Dia benar-benar membawa minyak yang persis dipakai Ayah.
"Mana coba sini?" Pintaku.
Dia memberikan botol kecil itu, lalu menyodorkan tangan. "Kenalin kak, nama aku Leya Humaira, biasa dipanggil Leya."
"Papa." Ucapku sambil menjabat tangannya, lalu membuka botol, dan berjalan ke arah wanita yang terkilir, mengikuti Leya.
"Ta, coba dipijat sama kakaknya ya. Papanya dirumah buka praktek pengobatan tradisional gitu, pakai minyak kelapa yang biasa gue bawa itu loh. Mau ya?" Ucap Leya.
"Tapi, aman ga?" Sahut wanita blasteran itu, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
"Ga akan ditarik atau dibengkokin kok. Cuma di-usap-usap aja. Mau coba ga?" Aku coba menjelaskan metode pengobatannya.