Tiga hari setelah mendaki Gunung Slamet, tepatnya hari Minggu jam 09.45 wib. Aku dibangunkan oleh adikku, Puspita Oetami Putri Isnaini also as know Popi. Padahal, tidak ada yang pernah membangunkan ku saat hari libur, kecuali aku memesan dibangunkan karena ada acara.
"Bang, bang. Bangun, bang!" Ujar Popi sambil menepuk-nepuk lenganku.
Aku hanya berbalik badan.
"Ish! Bangun bang. Cepetan!" Popi menambah volume suara.
"Iya ini udah bangun." Sahut-ku dengan mata yang masih mengatup.
"Kalo bangun tuh matanya melek! Ini masih tidur namanya..." Popi menjadi emosional.
"Ngapain? Kan hari Minggu?" Tanyaku.
Popi duduk dikasur, tepat disebelahku. "Ada yang cariin didepan. Pacar barunya ya, bang?"
"Ada yang nyariin? Siapa?" Tanyaku heran.
Popi yang masih SMP itu pun berlagak polos, seperti anak-anak seusianya. "Ya mana gua tau. Pacar baru lo ya?"
Aku mengucek-ucek kedua mata. "Pacar baru?"
Popi balik bertanya. "Iya, kan?"
Aku sambil menunjuk ke arah barang yang dibawanya, sebuah paket yang baru diterimanya. "Masih di plastikin?"
Popi tertawa singkat, dia mengerti maksudku, pacar baru yang berarti seperti paket barunya, masih dalam kemasan plastik. "Apa sih... Freak banget! Ish! Malas ah..." Keluhnya, Popi gengsi mengapresiasi jokes brilian dari-ku.
"Bangun bang! Ditungguin seriusan didepan. Gue disuruh-suruh Bunda terus nih kalo lo belum bangun. Please bangun, biar hari libur gue tenang!" Ujar Popi terus terang.
"Iya, iya, iya. Bawel banget. Gue juga mau hari libur yang tenang, kan." Aku sengaja resisten dan membuatnya emosi.
Popi mencubitku, cukup keras. Aku bergegas bangun, menyelesaikan debat kusir, sebelum menjadi adu jotos. Aku menuju kamar mandi, cuci muka, sikat gigi. Mengenakan kaos, lalu bergegas ke ruang tamu.
Kedua mataku terbelalak, melihat sosok Cata tengah duduk selonjor kaki, dipijat oleh Ayah. Bagaimana dia tau alamat rumah-ku? Aneh bin Ajaib.
"Sudah puas tidurnya?" Sapa Cata. Seolah telah kenal lama denganku, padahal boro-boro kenal lama, hari ini saja terhitung baru dua kali aku melihat wajahnya.
Aku tersenyum.
Ayah selesai mengobati Cata. Lalu memberikan arahan. "Nanti minyaknya dipakai rutin ya, sehari minimal dua kali, kalo bisa sesering mungkin. Terus, jangan lupa ini ada pantangannya, jangan dimakan dulu selama pakai minyak."
Cata mengangguk tanda mengerti. Ayah menolak amplop pemberian dari Cata.
"Ayah masuk dulu ya, gantian sekarang Papa yang temanin." Ucap Ayah sambil beranjak bangun meninggalkan kita.
Aku duduk disebelah Cata, jaraknya lebih dari 5 cm. "Kamu tau darimana rumah-ku?"
Cata tertawa. "Kenapa? Aku ga boleh kesini ya?"
Dasar wanita. Ditanya malah langsung resisten. "Aku mau tau. Seingatku, tidak ada yang memberikan kamu alamat rumah ini."