Dira hanya mencintai hujan ketika dia berada di rumah.
Kantornya baru memulangkan pegawai di sore hari pukul lima, sementara mendung sudah pekat bahkan sejak pukul tiga. Begitu kakinya mencapai undakan depan saja, hujan sudah deras seperti badai yang bertalu-talu. Mereka yang menaiki motor bersungut-sungut. Pengendara mobil menghaturkan puji syukur atas nasib mujur. Dira termasuk salah satu yang menaiki motor, dan sekalipun jas hujannya tersimpan rapi di jok, dia skeptis jas itu akan bekerja dengan baik. Rumahnya memang tidak jauh dari kantor—paling-paling hanya lima menit, itu pun sudah termasuk menunggu lampu merah enam puluh detik—tetapi dalam keadaan hujan sederas ini, Dira yakin paling tidak dia bakal pulang dalam keadaan seolah baru kembali usai bersemedi di bawah guyur air terjun. Ibunya bakal mengomel panjang. Sudah cukup baginya mendengarkan ceramah panjang semacam itu. Dia sudah menelepon ibunya sedetik setelah menyadari bahwa dia takkan bisa pulang dengan segera, dan ibunya pun tidak bisa menjemputnya dengan taksi daring karena hujan yang terlalu deras, sehingga yang bisa dilakukannya hanyalah mencari alternatif ketimbang duduk-duduk tak menentu di undakan kantor yang sepi dan gelap.
Dan di sinilah dia sekarang, duduk di sudut Kafe Noir, yang letaknya persis di samping gerbang kantornya. Hanya kafe kecil yang sebenarnya lebih menyerupai kedai kopi. Tempat langganan pegawai kantor—biasanya yang masih muda, karena masalah selera—tiap jam makan siang atau saat pulang. Dira hanya perlu menyeberang ke pos satpam dan meminta tolong satpam untuk mengantarkannya ke sana dengan meminjam payung. Teman-teman sekantor Dira kebanyakannya adalah anak luar daerah, yang tinggal di kota ini dengan menyewa kamar kos. Gang kecil yang terhubung dengan pagar belakang kantor merupakan pusat rumah kos-kosan, sehingga sekalipun hujan badai mendera, kebanyakan mereka dapat tetap pulang dengan selamat. Nanda, temannya yang juga tinggal di rumah orang tua, sempat menemaninya tadi, tapi pada akhirnya dia harus pulang karena dijemput ayahnya. Dira mengiakan.
Yang dipesannya hanyalah segelas kopi dan roti bakar cokelat. Menu yang kedengaran elegan, padahal Dira memesannya karena dua menu itu termasuk murah. Hujan masih menampar-nampar kaca jendela, dan seiring waktu dia mulai bosan mengutak-atik aplikasi media sosial di ponselnya. Maka Dira menarik novel dari tasnya. Satu hal yang sudah melekat pada imej Dira di kantornya, selalu ada novel yang dibawanya setiap hari ke kantor. Dira menggunakan waktu-waktu mepet seperti ketika dia datang terlalu cepat dari jam kerja, sisa jam istirahat, serta ketika dia mendekam di kantor usai jam kerja karena sedang badmood untuk pulang ke rumah.
Segelas kopi. Hujan deras. Kafe yang sepi. Semuanya kedengaran sempurna.
Dulu, temannya saat SMA pernah mengatakan bahwa hujan dan kopi bagaikan sperma dan sel telur, yang jika bersatu akan membuahkan inspirasi. Dira pernah melewatkan waktu-waktu bersamanya seperti ini, bedanya mereka berada di sebuah restoran cepat saji. Tentu alasannya sesederhana mengincar wifi gratis walau yang dipesan hanyalah kopi murah, tidak pakai es pula. Laptop di depan wajah, dua pasang mata fokus pada pekerjaannya. Memesan kopi yang hangat tapi diabaikan begitu saja hingga mendingin. Masa-masa itu berlalu sudah cukup lama—berapa tahun sudah? Lima? Enam? Dira tidak berminat untuk sekadar merunut ulang masa hidupnya.
Sekarang, dia hanya duduk sendiri, membaca novel klasik untuk membunuh kebosanan. Selama pemiliknya tidak mengusir, Dira berencana untuk berlama-lama saja di sini.
Lonceng di atas pintu kafe berdentang. Tamu bertambah, pramusaji lantas sumringah. Dira tidak peduli, kembali membaca novelnya.
Namun, sebuah bayangan melingkupinya.
"Boleh saya duduk di sini?" tanya sebuah suara. Anehnya, terdengar tidak asing.
Dira sedikit terganggu. Kafe sangat sepi, siapa pun yang datang bisa memilih tempat lain selain di meja yang sama dengannya. Dira menurunkan bukunya, bersiap menggunakan jurus senyum pura-pura yang biasa dipasangnya di kantor saat menghadapi tamu yang urat kesabarannya tipis sekali—
—kemudian, terdiam.
Seorang pemuda yang berdiri menjulang. Bibirnya melengkung menjadi suatu senyuman. Dia tidak menunggu jawaban, langsung menarik kursi dan duduk di hadapan Dira. Pramusaji menatap bingung. Tidak ada yang memedulikannya.
Sang pemuda tersenyum.
"Kita jumpa lagi, Dira."
Tidak.