Pertemuannya dengan pemuda itu berlangsung sembilan tahun setelah kali terakhirnya.
Yang Dira ingat, Nanda mengajak reuni di Kafe Noir. Mereka berasal dari sekolah menengah yang sama, masuk kampus yang sama, dan masuk ke kantor di angkatan yang sama juga. Reuni tersebut adalah reuni angkatan SMA mereka, dan daripada disebut reuni SMA, sebenarnya lebih cocok disebut reuni kelas, karena yang hadir kebanyakan hanyalah penghuni IPS 1 kala itu.
Dira menolak pada awalnya. Bukan karena tidak akrab dengan teman sekelas, hanya saja lelah sekali rasanya jika harus kumpul-kumpul setelah pulang kantor. Nanda memaksa dengan kekuatan penuh. Alhasil, Dira mengiakan.
Yang hadir di reuni itu ternyata tidak banyak-banyak amat. Rajen, wakil ketua OSIS yang berisik; Samuel, si anak basket; Lira, yang langganan juara kelas; lalu Dion, yang hobi manggung tiap kali ada kesempatan. Mereka adalah semacam geng yang tidak bernama, di mana Dira adalah salah satu di antaranya juga, dan semasa SMA, bersama merekalah Dira sering menghabiskan waktu. Banyak yang berubah di antara mereka, perubahan yang sangat baik. Rajen bercerita tentang tes CPNS-nya yang mendapat nilai bagus. Lira dan Dion sudah menjadi pegawai tetap di perusahaan swasta. Samuel meneruskan usaha keluarganya. Cerita-cerita mereka adalah potongan hidup yang telah dijalani, terutama usai lulus kuliah, karena sebagian dari mereka berpisah di sama.
Perbincangan itu lantas menyerempet, entah bagaimana, pada karir orang lain. Dan yang pertama dibahas adalah yang tidak datang. Satu-satunya yang mungkin gagal memenuhi undangan di antara mereka.
"Kalau Yasa udah terkenal banget sekarang," Rajen yang memulai, tiba-tiba saja, seolah topik itu datang mengilhami otaknya tanpa diminta.
"Iya, ih. Aku baca komiknya di web. Udah jadi komik resmi juga," Lira menimpali semangat.
"Followers ig-nya juga udah ribuan."
"Yang namanya Yasadahlah itu, kan?" Rajen tertawa. "Sumpah, anak itu nyeleneh banget dari dulu."
"Mantannya Dira dia, kan?" giliran Samuel menyeletuk. Padahal, Dira hanya tertawa-tawa halus sambil menenggak soda dinginnya. Kenapa dia ikut-ikut dilibatkan?
Dira meneguk sodanya seteguk sebelum menjawab, "Kami enggak pacaran."
"Masa?" Rajen mengangkat alis, skeptis. "Perasaan dulu ke mana-mana nempel melulu."
"Ya gimana, Yasa enggak mau gerak duluan. Dira mah malu-malu kucing," Nanda menepuk-nepuk punggung Dira dan tertawa. Demi apa pun, kenapa Nanda malah ikut-ikutan?
"Eh, panjang umur, dateng orangnya."
Dira hampir tersedak soda begitu Rajen berseru begitu. Dari pintu kafe, seorang pemuda mengedarkan pandang. Begitu dia menemukan meja mereka di sudut kafe, cengirannya luar biasa lebar. Rajen menyalamnya dengan cengkeraman maut. Yang lain tertawa.
Hanya Dira yang memaksakan diri.
Sejauh ingatannya, Yasa tidak banyak berubah. Selain garis wajahnya yang lebih tegas serta pembawaannya yang agak dewasa, semuanya masih sama. Rambutnya hitam lebat, ciri khasnya sedari dulu. Dira ingat dia sering mengeluh ketika kena razia rambut, atau menjelang ujian nasional saat dia mesti memangkas habis rambutnya. Tingginya pastilah sekitar 180 cm, mungkin lebih dua-tiga senti, karena dia menjulang sangat mencolok di kafe. Senyum sumringahnya masih sama.
"Yasa, lu gemukan ya?" celetuk Dion.
"Diem," balas Yasa, walau berlagak emosi, senyumnya masih ada. Dia duduk di hadapan Dira—dari sekian banyak kursi, kenapa harus di sana?—dan membolak-balik buku menu seketika. "Aku sibuk. Enggak ada waktu buat ke gym."
"Sombong amat, mentang-mentang komikus beken," Nanda berkata iseng.
"Jelas aja. Kan komiknya mau diterbitin."
"Beneran?"
Yasa mengangguk pada sekumpulan mata yang membelalak ingin tahu kepadanya. "Kemungkinan terbit bulan depan. Jangan lupa beli, ya. Khusus buat kalian, aku kasih tanda tangan gratis."
"Nanti aku jual lebih mahal di toko online. Komik Yasadahlah eksklusif dengan tanda tangan komikus—"
"Raj, diem atau kau yang kujual."
"Eh, ampun baginda, saya cuman bercanda," Rajen mengatupkan tangan di depan dada, berpura-pura bagaikan seorang hamba raja. Seisi meja tertawa. Bahkan Dira sekalipun.
Dira mencuri pandang pada Yasa, yang tertawa sambil mengacak-acak rambut Rajen. Keduanya mungkin masih sama. Gelagat mereka tidak kunjung berubah bahkan setelah usia bertambah.
Walau begitu, Dira bisa merasakan perbedaannya. Berhadapan dengan Yasa yang hanya dipisahkan oleh meja kafe, jarak yang ada sebenarnya lebih dari itu. Terasa dekat, tapi sesungguhnya jauh. Dira seperti menatapi Yasa dari tepian savana, pemuda itu berdiri menatapi langit sementara kaki Dira terbenam di antara ilalang.