Jumlah pegawai kantor semestinya tidak bertambah, tapi keramaian yang ada mencolok sekali. Ini masih pagi, Dira bahkan masih setengah sadar menaiki tangga menuju ruangannya di lantai dua. Aneh rasanya mendapati semangat yang menggebu-gebu dari pegawai padahal ini hari Senin.
"Ada apa?" Dira bertanya pada Nanda, yang walau tidak terlibat langsung pada kerumunan kecil gadis di lantai itu, ikut tertawa mendengarkan percakapan mereka dan menatapi layar ponsel kelewat lama.
"Komiknya Yasa, si Yasadahlah," jawab Nanda. "Chapter barunya rilis pagi ini."
Dira masih tidak paham. "Terus, kenapa?"
Nanda tampaknya memutar otak untuk memberi penjelasan yang kira-kira mudah dimengerti orang yang tidak membaca komiknya. "Intinya, tokoh utamanya jadian juga."
"Oh," dia tidak perlu bertanya lebih lanjut, itu saja sudah memberikan penjelasan secara rinci. Ini sama seperti momen-momen ketika ada drama Korea yang tengah populer dan dua tokoh utama akhirnya jadian menjelang akhir kisah—begitu episode tersebut rilis, seisi kantor seperti akan tenggelam dalam perkumpulan bernada tinggi yang terkadang tertawa keras, terkadang menjerit bahagia, pokoknya beragam emosi bercampur di sana. Dira tidak menganggapnya buruk, selama mereka tidak seberisik itu sampai membuat kepala kantor marah. Lagipula, dia sendiri bukannya tidak pernah menonton drama Korea dan bergabung dengan pembicaraan mereka.
"Yasa itu gila banget, ya, bikin komik bisa seromantis itu. Padahal cowok, lho," gumam Nanda. "Kamu enggak tertarik buat baca, Ra?"
Dira menggeleng, tetapi isi hatinya agak berdenyut karena respon itu. "Aku enggak doyan romance."
"Payah," cibir Nanda. Dira mengabaikannya. Berteman dengan gadis itu bertahun-tahun sudah cukup membuatnya paham bahwa Nanda pastilah tidak benar-benar mengejeknya.
Dira mengecek arloji di tangan kirinya. Masih ada waktu setengah jam sebelum jam kerja dimulai. Dia meletakkan tas di kursi, lalu menarik dompet dari dalamnya "Aku ke kantin sebentar, ya."
"Ah, titip susu kotak, ya. Yang stoberi."
"Ogah," ganti Dira mencibir. Nanda hanya tertawa—lagi-lagi, mereka saling tahu bahwa keduanya tidak serius. Dira toh bakal membelikannya juga, dan Nanda akan langsung mengganti uang Dira begitu pesanannya diterima.
Kantin terletak di bangunan kecil yang terpisah dari gedung kantor. Tempatnya seperti kedai makan kecil, dengan etalase kaca dan piring-piring lauk berjejer menghadap ke luar. Tidak ada kanopi yang menaungi jalan menuju kantin, sehingga jika hujan turun tiba-tiba saat jam makan siang, pilihannya hanyalah menerobos hingga basah kuyup atau menahan lapar sampai hujan reda. Opsi kedua hampir tidak pernah dipilih oleh siapa pun.
Ibu kantin adalah sosok yang paling disayang di sepenjuru kantor, kendati tidak banyak yang ingat namanya. Bahkan Dira sendiri lupa, sebab nomor telepon ibu kantin yang disimpannya di ponsel hanya diberi nama 'Bu Kantin'. Begitu Dira melangkah masuk, dia langsung tersenyum seolah menyambut teman lama.
"Lontong, Mbak?"
Dira mengangguk. Dia tidak sarapan di rumah karena ibunya tadi malam dipanggil mendadak oleh saudaranya yang sakit, dan sampai tadi pagi belum juga kembali. Ibunya sudah menelepon saat subuh, berkata Dira boleh memasak sarapan kalau mau, dan tentu saja Dira tidak mau karena dia terlalu malas. Jadilah dia berangkat dengan perut kosong ke kantor.
Lontong dengan cepat dihidangkan. Dira duduk di dekat jendela. Sembari tangan kanannya menyuap makanan, tangan kirinya memainkan ponsel. Nanda baru saja mengunggah sesuatu di akun media sosial cadangannya—akunnya yang diperuntukkan untuk spam dan segala macam kehebohan yang akan merusak imej jika dipampangkan kepada orang banyak—sebuah potongan komik yang menampakkan sepasang remaja laki-laki dan perempuan berhadapan. Wajah mereka memerah. Balon percakapan melintang dari puncak kepala si laki-laki, isinya hanya dua kata: jadianlah denganku.
Di bawahnya, Nanda mengetik caption berparagraf-paragraf penuh huruf besar yang isinya agak tidak jelas. Hebat sekali, mengingat saat sekolah dulu Nanda selalu mengeluh tiap kali ada soal mengarang di ujian Bahasa Indonesia. Mungkin itulah hasil jika jeritan bahagia dikonversi ke dalam kata-kata.
Namun, yang paling menarik perhatian Dira adalah sebuah akun yang disebut dalam caption Nanda. Satu-satunya kata berwarna biru yang ditulis dalam huruf kecil.
Yasadahlah.
Gerak tangan Dira berhenti.
Semestinya dia mengabaikan saja dan lanjut menge-scroll linimasa. Akan tetapi, kali terakhir pertemuannya dengan Yasa membayang di benaknya, dan entah kenapa, itulah yang mendorongnya untuk membuka akun tersebut.
Sudah bisa diduga, pengikut akun Yasadahlah banyak sekali. Sudah delapan puluh ribu orang, mungkin masih akan bertambah juga. Akun itu mengunggah banyak macam konten, tapi yang paling mendominasi adalah komik strip empat kolom. Dira menekan unggahan terbaru, yang bukan komik strip dan alhasil kelihatan sedikit kentara. Unggahan itu baru berusia tujuh jam. Masih baru sekali.
Begitu unggahan itu memenuhi layarnya, Dira kembali termangu.
Unggahan itu adalah sketsa kasar seorang perempuan berambut pendek yang bertopang dagu di atas meja sembari membaca buku. Gelas kopi terletak di samping sikunya. Tanda tangan kecil memenuhi sudut kanan bawah gambar itu. Caption yang tertulis hanya berisi satu kata: storyteller. Pendongeng.
Dira terdiam tanpa tahu harus bereaksi seperti apa.
Yasa mungkin sengaja. Mungkin juga tidak. Apa pun itu, Dira hanya berharap dia saja yang terlalu paranoid. Semoga saja dia hanya berlebihan. Karena sulit sekali mengenyahkan perasaan bahwa di balik satu kata itu, ada makna lain yang disisipkan, dan Dira tidak mau mengira-ngira apa itu.
Meski begitu, Dewi Fortuna tampaknya sedang tidak memberkatinya.
Tangan kiri Dira mendadak licin. Ponselnya tergelincir, dan refleknya langsung menggenggam ponsel itu agar tidak terjatuh. Ibu jarinya menekan layar sembarangan. Begitu Dira sudah menguasai cengkeramannya dan memindai kondisi ponselnya, matanya membelalak lebar sampai rasanya nyaris saja melompat keluar.
Layar kembali ke tampilan akun Yasadahlah. Di bawah biodata singkat, tombol yang tadinya bertuliskan ikuti berubah menjadi mengikuti. Dira tanpa sengaja telah mengikuti akun Yasa.
Ini pastilah hari terburuknya.