Kopi Semalam

archavlio
Chapter #4

4

Akhir pekan adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu oleh Dira, mungkin bisa dikatakan sebagai satu-satunya motivasi baginya bertahan setiap harinya. Dua hari spesial itu semestinya dihabiskan dengan bersantai, guling-guling di kasur, tidur dari matahari terbit hingga matahari terbenam.

Namun, rencananya buyar seketika ketika negara api menyerang dalam bentuk ibunya yang menghampiri ke kamar Dira pada Jumat malam ketika Dira sudah bersedia dengan film di laptop dan bantal dalam pelukan.

"Ra, besok temani mama, ya."

Dira berpaling pada ibunya di ambang pintu. "Ke mana?"

"Pesta nikah teman mama."

"Temannya mama nikah lagi?"

"Anaknya teman mama. Aduh, kamu ini enggak bisa salah ngomong sedikit, ya," meski begitu, ibunya terkekeh. "Bentar aja, kok. Kita cukup makan, salam, lalu pulang. Kalau mau, setelah itu kita jalan-jalan ke mall."

Tawaran seperti itu tetap saja tidak menggoda Dira. Demi apa pun, dia paling benci pesta. Dia paling tidak suka menghabiskan waktu berjam-jam ditemani musik bervolume tinggi sementara pinggangnya diikat korset kencang dan wajahnya gatal-gatal ditutupi bedak. Apalagi ini pesta pernikahan. Dengan umurnya yang sudah makin bertambah, pernikahan menjajaki posisi paling tinggi dalam daftar jenis pesta yang paling dibencinya.

Namun, Dira tahu dia tidak bakal bisa menolak ibunya. Tidak boleh seperti itu. Dia bakal dibayang-bayangi cap durhaka.

"Ya udah," kata Dira pada akhirnya.

Ibunya tersenyum. "Besok kita pergi di jam makan siang, ya. Dandan biasa aja, enggak usah wah banget."

Tanpa perlu dikatakan pun Dira juga tidak berniat demikian.

Maka, Dira merelakan hari Sabtunya yang membahagiakan demi datang ke pesta. Dia hanya mengenakan gaun selutut sederhana dengan riasan ala kadarnya—yang penting bibirnya tidak kelihatan pucat. Resepsi pernikahannya diadakan di gedung serbaguna. Dekorasi balairung didominasi warna merah dan emas. Kursi-kursi berlapis kain putih disusun menghadap ke arah panggung megah yang disoroti lampu, tempat kedua pengantin berdiri dalam balutan pakaian adat, menyalami tamu satu per satu. Dira berpikir pastilah melelahkan sekali harus tersenyum seharian sembari menyalami tamu yang datang.

Dira dan ibunya langsung naik ke panggung untuk menyalam pengantin, sebagai suatu formalitas sebelum mereka mulai menggasak menu prasmanan. Teman ibunya merupakan orang tua mempelai perempuan, dan mereka berhenti di sana lama sekali karena teman ibunya menarik mereka untuk mengobrol dan tertawa-tawa, padahal antrean sudah mengular sampai ke bawah panggung. Ibunya bercerita bahwa temannya ini adalah teman baiknya saat SMA. Ini menjelaskan banyaknya teman-teman SMA ibu Dira yang hadir, seolah pesta pernikahan tersebut sekaligus merupakan reuni. Dira diam saja menyantap nasi rendangnya (yang luar biasa enak) sementara ibunya mengobrol dengan teman-temannya yang memilih duduk bersama di bagian belakang balairung.

Lalu, Dira berhenti ketika sadar dirinya diperbincangkan.

"Kamu kapan nyusul si Irma, nih, Dit?" tanya seorang teman ibunya—perempuan bersanggul dengan kebaya merah muda.

Ibunya tertawa. "Tahu, nih. Anakku belum ada tanda-tanda bakal naik pelaminan."

"Kerjanya apa?"

"Dia pegawai negeri," ibunya menepuk pundak Dira. Firasat Dira buruk.

"Bagus, dong," sahut teman ibunya yang bergaun hijau (Dira benar-benar tidak tahu namanya sehingga hanya bisa membedakan mereka dari warna baju). "Kerjaan oke. Penghasilan udah ada. Tunggu apa lagi?"

"Bener, tuh," sahut yang berbaju biru. "Cewek, mah, enggak usah sibuk berkarir mulu. Yang penting punya kerja tetap aja udah cukup. Kalau terlalu mapan cowok juga takut."

Telinga Dira panas mendengarnya, tapi dia diam saja. Situasi seperti ini serba salah. Sekalipun opininya benar, dia tetap bakal dianggap salah jika menyanggah omongan orang yang lebih tua. Sebagian orang senang sekali menyanjungkan usianya dan beranggapakan banyaknya digit angka dalam umur menjadikan apa pun yang terlontar dari mulutnya selalu benar. Dira hanya akan mempermalukan ibunya di hadapan teman-temannya dengan memberi kesan tidak sopan.

Ini juga salah satu alasan kebenciannya pada pesta.

"Dira udah ada calon?" si kebaya merah muda menyeletuk. Dira tidak tahu bagaimana perempuan itu bisa tahu namanya.

"Belum ada, nih, sampai sekarang," ibunya tertawa dan meremas bahu Dira agak kuat. "Padahal adiknya sudah punya pacar, lho. Tapi, dia dari SMA saja enggak pernah kelihatan dekat dengan satu cowok. Heran, masa enggak laku, sih?"

Dibandingkan opini tentang karir barusan, yang satu ini jauh lebih menyakitkan. Dira merasakan palu besar menghantam jantungnya sampai berdenyut-denyut. Ibu dan teman-teman ibunya tertawa-tawa lagi. Mereka pastilah menganggap kata-kata itu tidak serius. Hanya sesuatu yang bisa dianggap sebagai lelucon jenaka dan tidak semestinya ada yang menanggapinya secara serius. Ibu hanya bercanda. Jangan terlalu sensitif begitu.

Tapi, Dira tidak bisa menahan pedihnya.

Lihat selengkapnya