Kopi Semalam

archavlio
Chapter #5

5

Semestinya Dira menikmati malam minggunya dengan baik dan benar.

Dia sendirian di rumah. Ibunya pergi ke supermarket untuk berburu promo minyak goreng. Adiknya pergi nongkrong dengan temannya—Dira meragukan ini. Walau dia mengaku yang mengajaknya pergi hanya teman, dia tahu tidak benar-benar teman. Pasti ada pacarnya yang terlibat di sana. Meski begitu, ini bukan urusannya dan Dira sebetulnya tidak peduli-peduli amat selama adiknya tidak melenceng dari jalan yang semestinya. 

Ini adalah momen yang sangat langka terutama bagi Dira yang menyukai kesendirian. Kamarnya remang-remang oleh lampu tidur jingga. Dia berbaring di kasur, menyelimuti diri sementara pendingin ruangan disetel mencapai suhu delapan belas derajat (entah apa gunanya), laptop terbuka di hadapannya. Rencananya malam ini adalah menyelesaikan tontonannya yang tertunda. Selagi menunggu sinyalnya stabil, Dira mengecek ponsel. Nanda mengirim pesan di media sosialnya. Dia buru-buru membukanya, mengira mungkin saja ada keperluan atau informasi penting seputar pekerjaan. Begitu dibukanya, dia segera menyesal karena isinya hanya meme garing. Dira hendak menutup aplikasi sebelum tangannya terhenti di linimasa.

Ada sebuah foto baru yang dipos oleh akun pribadi Yasa. Dia dalam balutan seragam batik, berdiri di podium bersama sepasang pengantin. Jelas sekali foto itu baru diambil tadi. Dira tidak fokus membaca caption yang tertera, pikirannya malah melalangbuana pada apa yang terjadi di antara dirinya dengan Yasa. 

Hanya sampai besok.

Lalu, Dira melupakan filmnya. Dia membuka-buka data-data lama di laptopnya. Di antara berkas-berkas kantor dan foto-foto random, Dira menemukan sebuah folder bernama 'data lama'. Andai dokumen dalam laptopnya merupakan tanah, folder itu pastilah berada di lapisan terdalam, terkubur di antara tanah. Dia sudah hampir melupakan keberadaan folder itu beberapa tahun belakangan. Meski begitu, dia tidak pernah punya nyali untuk menghapusnya. Seperti kenang-kenangan yang walau memalukan, tapi tetap saja sayang untuk dilupakan.

Folder itu penuh dengan data-data. Sebagian dinamai secara normal. Sebagian lagi ditambahkan embel-embel seperti 'revisi', 'fix' atau 'fix banget'.

Tanpa bisa dikendalikan, Dira tersenyum geli. Bahkan setelah bertahun-tahun, dia masih ingat betul apa saja isi dari tiap-tiap data itu. Dira membuka salah satunya. Layar segera menampilkan halaman berisi berparagraf-paragraf tulisan. Jumlahnya dua ratus halaman, diketik rapi tanpa penyalahgunaan tanda baca. Dia memindainya dengan cepat.

Naskah itu berkisah tentang anak siluman gagak yang berusaha menjalani kehidupan normal sebagai anak SMP di sekolah manusia. Premis yang absurd. Dira beberapa kali melewatkan paragraf yang sangat menggelikan, humor-humor garing, beberapa kalimat percakapan yang kelewat baku hingga kesannya kaku. Dira tidak bisa menahan diri untuk tertawa. Naskah ini punya premis yang konyol dengan alur dan pembawaan yang sama konyolnya.

Namun, naskah ini dulunya merupakan kebanggaan Dira. Dia ingat memasang alarm pukul empat pagi demi menyelesaikan naskah sebelum berangkat ke sekolah. Dia ingat perasaan berdebarnya ketika menekan tombol kirim di surel. Tangisnya yang mengalir kencang saat surel balasan sampai ke akunnya. Semua itu adalah perasaan yang tidak pernah bisa Dira lupakan.

Dia berbaring telentang, matanya menatap kosong langit-langit remang di atas kepalanya. Kamar yang sama bahkan sejak dia masuk sekolah dasar. Di tempat inilah, mungkin di atas kasur ini juga, Dira yang berusia enam belas tahun, mengkhayalkan sebuah dunia asing, lalu mengetikkannya dalam lembar kosong selagi seisi rumahnya masih tertidur lelap. Mengingatnya sekarang terasa janggal. Kenangan itu adalah bagian dari dirinya, tapi di saat yang sama juga terasa amat asing. Seolah kejadian tersebut adalah kehidupan orang lain alih-alih kehidupan masa lampaunya.

Seperti apa dirinya dulu?

Rasanya Dira yang dulu bahkan tidak bisa jatuh tertidur tanpa berkhayal lebih dahulu.

Dira yang sekarang hanya memikirkan beban apa lagi yang akan dijalani di kantor besok hari.

Ada yang menghilang. Dan Dira mau tidak mau mengakui bahwa dia sendiri merasakannya.

Dia memejamkan mata. Merasakan keheningan menyesakkan indera pendengarannya. Waktu terus berjalan. Semua orang sudah melangkah maju. Tidak akan ada yang bersedia menunggunya. Bahkan Yasa sekalipun. Sekarang atau tidak sama sekali.

Dira menarik napas. Dia mengambil ponselnya. Dengan mudahnya dia menemukan akun yang dicari, menekan tombol pesan. Lalu mengetiknya dengan kecepatan yang luar biasa.

Lihat selengkapnya