Dira menghabiskan sisa waktu sepanjang malam dengan menonton film (rupanya dia tidak bisa mengabaikan rencananya itu). Ponselnya dimatikan. Lagi-lagi Dira tidak berani membukanya. Dia tentu tidak bisa menghindar selamanya, terutama setelah Dira dengan jelas menyetujui penawaran Yasa.
Minggu siang, Dira akhirnya memutuskan untuk membuka ponselnya. Karena bagaimanapun dia adalah tipikal manusia zaman sekarang yang tidak bisa enghabiskan hari tanpa gawainya. Dira berdebar-debar ketika ponselnya mulai bekerja menangkap sinyal.
Benda itu langsung bergetar-getar. Andai dia manusia pastilah dia tengah meneriakkan apa saja pemberitahuan yang Dira lewatkan selama mematikan ponselnya. Dira menyusuri satu per satu. Sejauh ini, pemberitahuan paling banyak datang dari grup kantor dengan lelucon khas bapak-bapak yang tidak lucu. Dira menggerakkan jempolnya hingga dia sampai pada pemberitahuan paling lama. Pesan singkat dari nama yang tidak asing, dikirim pada pukul satu malam tepat (apa yang dilakukannya pada jam segitu?):
Akhirnya, Ra. Aku senang.
Hanya segitu? Setelah Dira dengan susah payah mengetik jawabannya? Setelah berhari-hari dilewatinya hanya memikirkan penawaran yang dia berikan? Apa Yasa memang serius terhadapnya? Dira jadi meragukan semua sikapnya.
Selanjutnya apa? Dira mengetiknya sebagai respon.
Tidak disangka-sangka, Yasa menjawabnya segera.
Kenapa malah nanya?
Bisa dibayangkannya pemuda itu, di seberang sana, tengah tersenyum sementara satu alisnya melengkung naik.
Aku serius.
Yasa pasti tengah tertawa saat ini.
Pertama-tama, ayo ketemuan dulu. Kapan kamu bisa?
Dira sempat mengetik aku bisa kapan saja, kemudian menghapusnya. Kata-kata itu agak terdengar tidak tahu diri karena di antara mereka berdua, hanya Dira yang terikat pada jam kantor. Secara tidak langsung harus Yasa-lah yang menyesuaikan diri dengan jadwalnya.
Bebas. Aku pulang dari kantor jam lima.
Ya udah. Besok jam lima di kafe sebelah kantormu. Gimana?
Rupanya pemuda itu tidak mau menunda-nunda lagi. Dira mereka ulang semua jadwal dan rencana yang dimilikinya seminggu ke depan. Sampai membuka grup kantor demi memastikan dia tidak akan dapat jadwal lembur besok. Hari Seninnya benar-benar kosong.
Oke, Dira menjawab singkat. Makasih, Sa.
Entah untuk apa ucapan terima kasih itu, Dira sendiri tidak tahu. Sepertinya dia terlalu banyak berhubungan dengan klien. Yasa hanya membalasnya dengan stiker kucing yang mengacungkan jempol (lucu sekali stikernya).
Setelahnya, Dira tidak bisa mengenyahkan perasaan berdebarnya yang terkesan seperti anak sekolah di malam sebelum karyawisata.
—
Senin. Tidak sedetikpun Dira bisa melupakan janji temu mereka. Sepanjang hari yang dilakukannya hanyalah mengurusi dokumen-dokumen yang menumpuk di mejanya sembari berulang kali melirik jam. Waktu tiba-tiba terasa sangat lama. Ketika tugasnya sudah selesai pun jam masih menunjukkan pukul empat sore. Paling tidak, hari itu berakhir agak lebih baik dibandingkan tempo hari. Kliennya ramah, kerjaannya lancar dan teman satu seksinya mentraktir mereka pempek kuah dalam rangka ulang tahun. Dira sudah keburu kenyang dengan napas beraroma pedas saat memarkirkan motor di kafe. Yasa duduk di teras kafe sembari memainkan ponsel. Karena sore itu cuaca cerah, dia tidak perlu takut makanannya bakal terkena cipratan air hujan. Dia segera melambai begitu Dira menghampirinya.
"Kupikir kamu bakal telat," kata Yasa.
Dira menarik kursi di hadapan pemuda itu. "Kenapa kamu mikir gitu?"
"Orang kantoran biasanya paling hobi pulang larut."
"Aku enggak seambisius itu."
"Benar juga. Kamu bukan tipe yang workaholic. Malah kayaknya kamu enggak cocok kerja kantoran."
Dira memicing padanya. Andaikan pelayan tidak datang membawakan buku menu, nada bicaranya pasti sudah naik beberapa oktaf. "Jangan menilai seenaknya."
"Soalnya kamu sampai nangis—"