Kopi Semalam

archavlio
Chapter #7

7

Walaupun Dira berkata begitu, pada dasarnya tetap saja sulit mengumpulkan ide cerita.

Mereka baru pulang dari kafe kira-kira pukul delapan malam. Ini meleset jauh dari perkiraan Dira. Padahal, diskusi mereka sudah berakhir hanya satu jam setelah pertemuan dimulai. Dira tidak tahu apa yang membawanya sampai terlarut, kendati yang mereka lakukan hanyalah obrolan pendek-pendek di mana isinya didominasi Yasa yang berusaha melucu dan Dira yang memutar bola mata karena hasilnya tidak lucu. Dira bahkan menuntaskan isi gelas kopinya. Meskipun awalnya dia tidak memesan sama sekali. Alhasil, sekarang dia tidak bisa tidur.

Dira berbaring gelisah di ranjangnya saat hari sudah pukul dua subuh. Tidak biasanya dia belum tidur sampai pukul segini. Biasanya dia akan langsung kehilangan kesadaran ketika kepalanya menyentuh kasur, terutama pada hari-hari ketika dia mesti lembur di kantor hingga pukul sebelas malam. Hingga akhirnya, dia menyerah dan mengambil laptop dari meja belajar.

Dia membuka folder lamanya. Naskah tentang si anak gagak sudah dibacanya—dipindainya sepintas—hingga dia kembali ingat seluk-beluk alurnya. Naskah itu sudah jelas tereliminasi. Maka dia beralih pada naskah berikut. Ada tiga berkas berjudul sama dengan tambahan 'fix' dan 'fix banget' di ujungnya. Dira memilih nama terpanjang.

Naskah itu mungkin saja tidak sekonyol si anak gagak, tapi tetap saja terkesan menggelikan baginya. Plotnya klise, ditambah pengolahannya berantakan sekali. Dira sudah sering menemukan cerita bertema pertunangan paksa yang berakhir dengan keduanya jatuh cinta satu sama lain. Dia mungkin bisa meraciknya menjadi cerita yang menarik andaikan dia mampu menambahkan bumbu unik yang menangkap perhatian orang-orang, dan seandainya dia mumpuni menulis kisah cinta. Kalau sebagai genre tambahan, mungkin dia bisa melakukannya, namun jika menjadi genre utama, Dira mengibarkan bendera putih.

Yasa memang menyuruhnya untuk optimis.

Masalahnya, jika Dira melihat menggunakan sudut pandang pembaca, dia sendiri tidak akan mau membaca cerita mainstream yang tidak memiliki inovasi. Harus ada sesuatu yang membedakan. Dan karenanyalah, naskah kedua itu jelas tereliminasi dari kandidat pilihannya.

Dira merebahkan punggungnya, menatap langit-langit. Ini tidak bakal mudah. Waktu dua minggu mungkin terkesan lama. Dia tidak merasa demikian. Naskahnya dulu tidak diracik oleh ide-ide brilian dalam rentang waktu tertentu. Dira membebaskan pikirannya mengolah apa pun yang diinginkannya kapan pun. 

Dua minggu. 

Entah bagaimana caranya, Dira harus memutuskan apa yang akan dikerjakannya. Dan ide itu tidak bakal muncul dari rebah-rebah saja.

Pada akhirnya, Dira jatuh tertidur saat hari sudah memasuki pukul setengah empat. Alhasil, dia nyaris terlambat ke kantor. Kalau bukan karena ibunya, gajinya bulan depan bakal hangus terpotong oleh kesia-siaan belaka. Warna gelap di bawah matanya semakin pekat. Lama-kelamaan dia bertransformasi semakin mirip panda. 

"Memangnya semalam kamu tidur jam berapa?" tanya Nanda saat mereka makan siang di meja masing-masing.

"Hampir jam empat," Dira menopang dagu. Seharian ini matanya berat sekali untuk sekadar terbuka saja. 

"Kamu ngapain?"

"Minum kopi," dia akhirnya menyerah. Begitu nasinya tandas, Dira menyingkirkan piringnya dan meletakkan dagu di atas meja. Waktu makan siang masih ada kira-kira setengah jam lagi. Masih ada kesempatan untuk sekadar mengistirahatkan matanya sebentar. Kalaupun dia kebablasan, ada Nanda yang dipercayanya untuk membangunkannya. Semua bakal baik-baik saja selama tidak ada yang mengadakan inspeksi mendadak.

"Bego banget," komentar Nanda. "Kalau tiba-tiba disuruh ikut rapat, bisa mampus kamu, Ra!"

"Semoga saja enggak," Dira menghela napas panjang. Bahkan selagi dia memejamkan mata seperti ini, yang terbayang di benaknya hanyalah tenggat waktu. Belum juga dua puluh empat jam, Dira sudah seuring-uringan ini memikirkan otaknya yang masih kosong.

Jangan menulis sesuatu yang enggak kamu yakini.

Masalahnya, dia sendiri tidak tahu apa yang dia yakini.

Dira melirik Nanda dari sudut matanya. Nanda mengencani ponselnya sembari mengudap kentang goreng asin yang dipesannya dari restoran cepat saji tidak jauh dari kantor. Heran juga melihatnya begitu semangat mengunyah makanan, padahal berjuta kali dia mengeluhkan berat badannya yang selalu bertambah. Begitulah manusia. Terkadang tidak bisa menyelaraskan perkataan dengan tindakannya.

"Nan," Dira memanggilnya pelan. Ide itu terpintas begitu saja, dan dia sendiri entah kenapa langsung bertanya tanpa tedeng aling-aling.

"Apa?"

Lihat selengkapnya