Kopi Semalam

archavlio
Chapter #8

8

Dira datang bulan keesokan paginya. Sensitivitasnya yang meningkat belakangan ini menjadi semakin jelas. Tentu saja—mana mungkin ada orang yang merasa sesak sampai hampir menangis hanya karena tidak mampu menulis?

Dia masuk kantor dengan lemas. Malam kemarin, dia cukup tidur, tapi tetap saja rasanya mengantuk sekali. Pekerjaan hari itu sedang-sedang saja, tidak bertambah tapi juga tidak berkurang, dan Dira tidak tahu haruskah dia bersyukur karena bebannya cenderung normal, atau merutuk karena kram di perut membuat kapasitasnya menurun. Nanda yang memahami siklus bulanan Dira dengan baik hati menawarkannya cokelat batangan dari kantin kantor. Hanya kudapan tersebut yang mampu menjaga suasana hati Dira tetap stabil sepanjang hari itu. 

Malam hari, seusai makan malam, Dira langsung berbaring di ranjangnya. Menekuk lutut, meletakkan bantal di perutnya. Sakitnya sudah jauh berkurang. Giliran kepalanya yang pening sekarang.

Kram perutnya sudah membuatnya melupakan ide cerita yang mesti dicarinya.

Mata Dira menatap pada layar ponselnya, tapi pikirannya mengembara. Benaknya saat ini adalah mesin rumit dengan sekumpulan roda gigi. Dira sudah berusaha menarik tuasnya, tapi ada roda gigi yang tersangkut sehingga pergerakannya macet.

Dira baru menghentikan lamunannya saat ponsel dalam genggamannya bergetar. Sebuah pesan baru masuk dari nama yang sangat dikenalnya. Nama yang selalu muncul dalam hidupnya belakangan ini. Yasa.

Bagaimana perkembangannya?

Yasa menanyakannya bak seorang peneliti yang tengah menguji coba kelinci percobaan.

Belum, Dira memutuskan jujur saja. Bagaimana pun, ini kerja sama. Rekannya berhak tahu apa yang terjadi. Aku enggak dapat inspirasi sama sekali.

Balasannya datang sangat cepat. Sepertinya Yasa memang sedang daring.

Oalah. Writerblock ya?

Dira sempat lupa istilah itu eksis.

Rasanya aku bahkan enggak bisa nulis.

Wajar, kok. Aku juga sering enggak mood buat ngegambar.

Tapi aku enggak suka begini.

Jangan terlalu diforsir, Ra. Banyak-banyak baca buat refrensi. Ntar juga muncul sendiri, kok.

Dasar munafik. Padahal dia sendiri yang menetapkan tenggat waktu. 

Mau aku bantu? Sebuah penawaran lagi.

Bantu apaan?

Besok pergi nonton, yuk.

Dira mendecak. Tapi, akhirnya dia terkekeh kecil. Bantuan macam apa itu.

Film itu salah satu bahan referensi, lho. Kebetulan ada film fantasi yang pengen aku tonton. Jadi, sekalian aja.

Bohong, pikir Dira. Dia mendapat perasaan bahwa sedari awal Yasa memang mengiriminya pesan untuk mengajak nonton. Namun, tidak ada bukti, ditambah Dira tidak tahan jika Yasa menuduhnya terlalu percaya diri—karena kalaupun benar, tidak mungkin Yasa bakal mengakuinya begitu saja. 

Bareng siapa aja? Dira mengetik jawaban setelah berulang kali menghapusnya.

Kita berdua aja. Atau kamu mau ajak keluarga besar sekalian? Biar aku pesan katering.

Kembali lagi dengan Yasa dan selera humornya yang murahan. Dira mendecak kesal, menganugerahinya stiker wajah yang tengah memutar bola mata. Ajakan ini sebenarnya agak janggal. Yasa tipikal yang cukup populer. Dia punya banyak waktu senggang dan teman-teman yang masih berdiam di kota ini—yang semestinya bisa menjadi pilihannya jika dia memang ingin pergi menonton. Kenapa harus Dira? Apa niat membantunya memang bisa dipercaya?

Dira menatap skeptis pada pesan baru Yasa: Jadi, gimana? Mau enggak?

Dia menimbang-nimbang. Sisa gajinya masih banyak. Dia tidak ada lembur besok (dan Dira juga tidak mau). Besok masih hari kerja. Harga tiket bioskop biasanya tidak bakal mahal-mahal amat. Ya sudahlah.

Boleh, jawab Dira. 

Sip, Yasa membalas dengan sangat cepat, besok aku jemput ke kantormu.

Dira menghela napas dan bersandar di kepala ranjang. Jantungnya berdebar-debar. Ini hanya Yasa. Bukankah dia dulu juga sering bepergian berdua saja dengan pemuda itu? Apa bedanya dengan sekarang? Apalagi, mereka memang punya proyek bersama. Yasa sudah menegaskan hubungan mereka hanya sebatas bisnis. Tidak ada dan tidak akan ada yang terjadi.

Meski begitu, Dira pada akhirnya melangkah ke lemari pakaiannya. Jika Yasa menjemputnya dari kantor, Dira bakal pergi dengannya mengenakan pakaian kantor. Kalau begitu, setidaknya dia mesti mengenakan sesuatu yang kesannya tidak formal-formal amat. Dia mempertimbangkan blus putih dengan kardigan biru pastel. Atau rok hitam selutut dengan pita di bagian pinggangnya.

Lalu, dia terdiam. Wajahnya memanas dengan cepat seiring kesadaran menghinggapinya. Ngapain aku repot-repot dandan hanya demi nonton bareng dia?

Pikir positif. Dira sudah dewasa sekarang. Tidak ada yang salah dengan memperhatikan penampilan. Memangnya dia mau jalan-jalan ke mall mengenakan pakaian putih-hitam formal seperti hendak mengikuti tes CPNS? Yang benar saja.

Pada akhirnya, Dira menghabiskan malamnya dengan memikirkan agendanya besok.

Karena Yasa sudah berjanji akan menjemputnya, Dira tidak menggunakan motor hari ini. Dikatakannya pada ibunya bahwa dia akan pergi dengan temannya (dia tentu tidak mengatakan jenis kelamin orang yang pergi bersamanya, bisa-bisa suasana rumah menjadi runyam) dan adik laki-lakinya yang mengantar ke kantor (keluhannya panjang sekali, omong-omong).

Lihat selengkapnya