Dira baru pulang ke rumahnya sekitar pukul setengah sebelas malam. Yasa mengantarkannya sampai ke depan rumah. Ibunya sudah menunggu di teras. Dira tahu ibunya pasti hendak memarahinya karena pulang larut tanpa mengabari—sampai Yasa menyalamnya dan meminta maaf karena mereka keasyikan mengobrol saat makan malam. Ibunya senyum-senyum jahil. Dira memijat pelipis. Dia tahu ibunya bakal menggodanya habis-habisan setelah ini.
Benar saja. Begitu Yasa berlalu, ibunya menyikut Dira. "Siapa, tuh? Pacar baru?"
"Teman SMA," jawab Dira singkat.
"Teman atau 'teman'?" ibunya cengar-cengir sembari mengunci pintu depan.
"Beneran cuman teman, Ma," Dira mulai kesal.
"Kalau pacar juga enggak apa-apa, Ra. Kayaknya anaknya baik. Sopan juga."
Dalamnya enggak kayak gitu, Dira menambahkan dalam hati. Dia masuk ke kamarnya. Hampir satu jam waktu yang dibutuhkannya untuk menghapus riasan, mandi, hingga mencuci muka. Dira masuk ke kamarnya lagi dengan rambut basah, handuk melingkari pundak. Hari sudah menunjukkan pukul setengah dua belas, sementara dia belum bisa tidur karena rambutnya masih basah. Sembari memegang pengering rambut, Dira duduk di tepi ranjang. Adegan-adegan film masih memenuhi pikirannya. Dira memejamkan mata, membiarkannya terhanyut dalam itu semua.
Tokoh utama film itu diperankan oleh aktor cakep. Wajahnya agak mengalihkan fokus sepanjang film. Dira sempat mencari tahu tentangnya tadi sekilas saat di restoran. Usianya hanya terpaut dua tahun dengan Dira—informasi ini tidak penting-penting amat sebenarnya, karena memangnya Dira bisa menggaet hatinya? Meski begitu, Dira membayangkan dirinya—atau aktris lawan mainnya di film, atau tokoh rekaannya sendiri, terserahlah—berhadapan dengan aktor itu. Bayang-bayang latarnya muncul begitu saja—sebuah kamar tidur di apartemen pencakar langit yang gelap, di mana pencahayaan hanya berasal dari lampu-lampu gedung lain. Jendela menghadap pada pemandangan kota metropolitan yang tetap hidup meski telah larut. Wajah aktor itu gelap. Hanya siluetnya yang tampak—garis wajahnya yang tegas, batang leher yang kokoh, urat-urat yang menonjol di sepanjang lengan bawahnya.
"Kau tidak semestinya melihatku," sang pemuda berkata dengan nada rendah.
"Aku tidak ingin terkubur dalam bayang-bayang selamanya," di hadapannya, sang gadis menjawab. Hanya wajahnya yang masih tampak, disinari berkas cahaya dari jendela kaca.
"Keingintahuan kadang kala membahayakan," kata si pemuda. "Dan kau baru saja membuktikan itu."
Gadis itu terkesiap saat dilihatnya sang pemuda mengacungkan pistol. Benda itu hanya berjarak dua puluh sentimeter dari kening si gadis.
"Kau akan membunuhku?" tanya si gadis, berusaha mati-matian mempertahankan keberaniannya.
Pemuda itu tidak menjawab. Jarinya sudah berada di pelatuk. Tatapan matanya yang tajam semestinya sudah cukup untuk membuktikan keseriusan tindakannya
Andai saja si gadis tidak mendapati tangan pemuda itu bergetar.
Kalau pun dia benar-benar menarik pelatuk, setidaknya ada satu hal yang membuat gadis itu merasa lega. Keragu-raguan pemuda itu adalah bukti nyata bahwa masih ada sisa sisi manusiawi dalam dirinya—bawa seberapa sering pun dia merutuk, pemuda itu bukanlah monster.
Dan gadis itu tidak menyesali pertemuan mereka.
Dira buru-buru membuka mata. Pemandangan di sekitar berubah warna sejenak. Dia kembali ke kamarnya, duduk di tepi ranjang, suara pengering rambut menjadi satu-satunya pengisi hening. Yang tadi itu terasa nyata sekali. Seakan Dira sendiri yang menghadapinya, atau pernah menyaksikan secara langsung. Dia bahkan bisa mereka tiap adegan sampai ke deskripsi dan narasinya.
Perasaan ini tidak asing.
Dira pernah melakukannya juga dulu. Sering, malah. Terutama ketika dia berbaring hendak tidur. Skenario berputar-putar di kepalanya bagaikan sekumpulan kaset yang tinggal dia pilih mana yang akan diputarnya. Adegan yang muncul biasanya hanya sepotong-sepotong, tapi itu cukup baginya mencari ide untuk menyambungkan potongan-potongan adegan tersebut menjadi alur yang utuh. Walau seringnya, Dira jatuh tertidur di tengah-tengah adegan dan melupakan seluruh alurnya saat bangun pagi.
Ini adalah cara yang dulu dipakainya untuk menghabiskan malam. Menciptakan dunia dalam kepalanya sendiri, lalu terjun dan terbuai di dalamnya. Imajinasi Dira agak memudar beberapa tahun belakangan. Bisa kembali menjalin dunia, merupakan sesuatu yang tidak bakal disangka-sangkanya.
Dan ini menyenangkan.
Dira beranjak menuju meja belajarnya dan menyalakan laptop. Dia membongkar folder lamanya, tapi kali ini tidak terfokus pada naskah-naskah novel. Dibukanya folder 'lain-lain', dan seketika dibanjiri kenangan.