Kopi Semalam

archavlio
Chapter #10

10

Bicara memang selalu lebih mudah dibanding melaksanakan.

Dira ketiduran setelah mengirim pesan ke Yasa, dan baru membaca jawabannya pagi hari di kantor. Dia mengira Yasa bakal mewawancarainya secara mendetail atau malah menjadwalkan pertemuan seperti yang sudah-sudah. Dira bahkan sudah mempersiapkan balasan jawaban untuk itu. Namun, balasan yang didapatnya hanya sebuah kalimat singkat.

Kutunggu bab satunya.

Memangnya dia siapa, editor Dira?

Tentu saja Dira tahu Yasa tidak mungkin mengekorinya setiap saat. Yasa punya kehidupannya sendiri, karyanya sendiri yang perlu untuk diselesaikan. Membuat komik itu tidak mudah. Apalagi jika komiknya memiliki jadwal terbit sekali seminggu yang teratur. Dira tidak boleh membuat Yasa mempertaruhkan kualitas pekerjaannya demi proyek yang arahnya saja belum jelas.

Tapi, Dira juga tidak menampik kenyataan bahwa dia tidak senang dengan respon Yasa yang kelewat singkat.

Apakah dia terlalu egois?

Meski begitu, Dira tetap saja menaatinya. Heran juga kenapa. Selagi kerjaan kantornya sudah selesai, dia akan menyempatkan diri untuk menulis di catatan ponselnya. Ini tidak mudah. Sangat tidak mudah, malah. Dira banyak menghabiskan waktunya merenung setelah menulis satu paragraf, menulis lagi, lalu merenung lagi. Seharian ini dia mengerjakan di selang waktu menganggur dan sisa jam makan siang. Begitu sore hari mengecek, dia belum berhasil menyelesaikan prolog. Butuh usaha lebih untuk Dira mengumpulkan motivasinya lagi.

Semua akan baik-baik saja. Yang dibutuhkannya hanyalah terus bergerak.

Prolog dan bab satu selesai setelah kira-kira empat hari, total sepuluh halaman. Orang-orang niscaya bakal menertawakannya. Dia tidak ingat apa dia memang selambat ini dulu, tapi rata-rata satu novelnya selesai dalam waktu minimal tiga bulan. Mungkin ini memang kecepatan rata-ratanya.

Dira belum berani melanjutkan tulisannya. Dia mengirimi Yasa pesan malam itu juga. Yasa membalasnya dengan pesan yang tidak disangka-sangka.

Ra, minta nomor telponmu.

Dira menatap layarnya heran walau Yasa tidak akan bisa melihat ekspresinya. Buat apa?

Aku malas ngetik. Enakan juga bicara dari telpon.

Modus adalah kata pertama yang terlintas di benak Dira. Dia sering membaca skenario seperti ini, terutama karena pernah dialami oleh teman-teman kantornya—Nanda juga pernah—dan menurut Dira, modus meminta nomor telepon merupakan modus yang paling buruk. Nomor telepon adalah privasi. Tidak semestinya diberikan pada orang tidak dikenal atau yang baru pertama kali ditemui. 

Namun, kenyataan lain menghantam Dira.

Yasa tidak menyimpan nomornya.

Jika berpikir positif, mungkin dia mengganti nomornya. Jarang juga ada orang yang mempertahankan nomor teleponnya sampai lebih dari sembilan tahun.

Pikiran negatifnya ... mereka saling menghapus nomor satu sama lain. 

Itukah yang terjadi sembilan tahun lalu? Saat Dira memutuskan untuk berhenti berhubungan dengannya, apakah Yasa juga memikirkan hal yang sama?

Dan kenapa kenyataan itu mengiris hatinya? Bukankah dia sendiri juga melakukan hal yang sama?

Kalau kamu enggak mau juga enggak apa, Yasa mengetik balasan selagi Dira berpikir. Pemuda itu seperti mampu membaca pikiran orang.

Dira menggeleng. Situasinya sudah berbeda. Dia tidak boleh menghindar terutama setelah dia memutuskan untuk menerima tawaran Yasa. Maka Dira mengetik nomornya sendiri, sekumpulan angka yang sudah dihapalnya mati.

Ponselnya langsung berdering hanya beberapa detik setelahnya.

Dira biasanya tidak bakal mengangkat telepon dari nomor yang tidak disimpannya di kontak. Tapi, waktunya terlalu tepat, dia yakin nomor yang menghubunginya pastilah Yasa. Dira mengangkatnya, tidak memberi salam pembuka.

Lihat selengkapnya