Idenya masih buntu.
Sudah beberapa hari berlalu, Dira belum belum menemukan jawaban dari poin-poin koreksian Yasa. Dia berhasil menyelesaikan bab dua dalam waktu dua hari, itu pun banyak sekali revisinya. Dira masih di pertengahan bab tiga dan progresnya belum banyak berkembang.
Masalahnya, Dira tidak bisa menghabiskan waktu terlalu banyak untuk merancang cerita pun menulisnya. Bersamaan dengan dia yang mulai semangat menggempur laptopnya, pekerjaan kantor datang menumpuk. Dira menghabiskan sepanjang hari menangani klien, membereskan dokumen, hingga ikut rapat. Untung saja dia tidak perlu membawa kerjaannya ke rumah. Hanya rasa capeknya saja, yang akhirnya menyisakan Dira tertidur tanpa menyentuh naskahnya.
Dira paham dia harus segera membagi waktunya dengan baik, atau proyeknya tidak bakal jadi sama sekali.
Maka, Dira memanfaatkan sisa-sisa waktu di antara pekerjaan dan jam makan siangnya untuk mengetik dari catatan ponsel. Menulis di ponsel lebih sulit—dia tidak bisa bergerak cepat di layar sentuh, tapi lebih baik merangkak daripada berhenti sama sekali. Berkatnya, peningkatan intensitas layar ponselnya menjadi pusat perhatian yang mencolok terutama bagi Nanda yang sehari-hari duduk di sampingnya. Begitu rapat usai dan mereka kembali ke meja masing-masing, Nanda menyeletuk, "Ra, kamu punya pacar?"
Dira kaget ditanyai begitu. "Enggak. Kenapa?"
"Belakangan, sibuk banget sama layar hp," kata Nanda. "Ngobrol sama pacar, kan? Atau masih gebetan?"
"Enggak ada yang gituan," Dira memutar otak dengan cepat. Sulit sekali mencari alasan untuk menutupi kebenarannya. "Cuman ngobrol sama teman, kok."
"Teman atau 'teman'?"
Rasanya Dira malah mengarahkan percakapan ke jalur yang salah. Nanda lantas menyeringai sangat lebar. Andai Nanda bertemu dengan ibunya, Dira yakin mereka bakal sangat cocok dalam hal menggoda Dira.
"Ya udah kalau enggak percaya," Dira menggunakan senjata pamungkasnya. Dia kembali pada ponselnya dan mengetik. Tanpa melihat pun, dia tahu Nanda cemberut.
"Idih, merajuk," cibir Nanda. "Awas aja kalau nanti beneran pacaran, ya. Bakal kukorek dompetmu sampai tipis kayak pembalut."
"Coba aja," tantang Dira. Persetan dengan apa yang bakal terjadi belakangan, pokoknya saat ini dia aman.
Dira belum berniat menceritakan tentang proyeknya kepada siapa pun, tidak juga Nanda yang paling dekat dengannya. Bukannya pesimis, hanya saja Dira tidak ingin terlanjur berkoar-koar pada orang lain sementara novelnya sendiri belum benar-benar jadi. Dia pernah mendengar bahwa jika seseorang memberitahu orang lain tentang rencananya, maka besar kemungkinan rencana itu tidak akan terwujud. Dira bukannya sepenuhnya percaya, tapi dia tidak mau juga mencobai diri sendiri. Terutama karena dia baru saja memulai menulis setelah lebih sewindu tidak melakukannya. Situasinya saat ini masih sangat rawan. Seperti berjalan di atas seutas tali dan mencoba untuk tidak terjatuh.
Nanti, setelah ceritanya selesai ditulis, dan Yasa mengolah semuanya, barulah Dira akan memberitahunya. Nanti.
—
Dira menggaruk tengkuknya. Matanya perih dan berair. Begitu dia mengalihkan pandang dari layar laptop, dunianya berkunang-kunang. Walau Dira yakin matanya masih bagus—karena dia tidak mengenakan kacamata, dan hanya itu parameter kesehatan mata yang eksis setidaknya di bawah atap rumahnya—menatap layar laptop terlalu lama tetap akan menyakitkan.
"Capek?" di hadapannya, ditengahi meja kelabu, Yasa bertanya. Nadanya agak geli.
"Kalau begini terus, bisa-bisa aku pakai kacamata," kata Dira.
"Makanya, jangan lupa kedip," ujar Yasa. Dira meragukan kredibilitas kata-katanya, tapi karena dia sendiri tidak mengerti tentang penyakit dan kesehatan mata, dia diam saja. Dilihatnya Yasa menggeser gelas sodanya. "Minum dulu."
Dira menarik gelasnya. Es krimnya sudah mencair. Sodanya yang berwarna merah pekat kini sudah berubah merah muda.
Sabtu pagi itu, Yasa seenaknya saja meneleponnya dan mengajak bertemu untuk mengerjakan proyek. Dira, yang menggunakan waktu akhir pekannya untuk bangun lebih lama, memprotes panjang, buru-buru bangkit dari kasurnya untuk mandi dan sarapan. Ibunya bertanya-tanya, tentu saja, karena aneh sekali melihatnya membawa-bawa laptop di hari libur. Butuh usaha lebih untuk meyakinkan ibunya bahwa dia hanya ingin berkumpul dengan teman SMA dan bertukar film, sebelum pertanyaan ibunya berganti dengan berjuta-juta peringatan untuk membawa laptopnya lebih hati-hati karena jumlah penjambret yang semakin banyak.