Kopi Semalam

archavlio
Chapter #12

12

Tiba-tiba saja, naskahnya sudah diketik sampai halaman tujuh puluh.

Dira sendiri kaget ketika dia menatapi jumlah halaman di kiri bawah layar laptop. Dia sudah mengetik sedari tadi, begitu fokus sampai tidak ingat berapa banyak yang sudah diketiknya malam ini. Ceritanya sudah mulai mengalir. Aina dan Iah telah memulai kesepakatan untuk saling bertemu di perpustakaan setiap malam. Dia telah berhati-hati untuk merajut interaksi mereka senatural mungkin. Percakapan Aina dan Iah, entah bagaimana, selalu bisa diketiknya dengan mudah. Dira seolah benar-benar ada di perpustakaan, menyaksikan karakternya memperdebatkan isi buku di atas meja—Aina yang mendecak dan Iah yang tertawa-tawa puas.

Iah pada gambaran awalnya adalah seorang pangeran dari dalam buku yang rupawan dan sopan. Lama-kelamaan, Iah malah berubah menjadi pemuda usil yang selera humornya patut dipertanyakan.

Seperti Yasa setiap kali mereka bercakap berdua.

Dira lantas mengerjap heran. Sepertinya ini efek kelamaan bergaul dengan pemuda itu.

Belakangan, intensitas pertemuan mereka semakin meningkat. Kalau tidak menelepon atau berkirim pesan, Yasa bakal mengajaknya nongkrong—paling sering di Kaji Burger, yang buka dua puluh empat jam dan punya Wi-Fi dengan sinyal mumpuni—untuk mengerjakan novelnya, sementara dia menggarap komiknya sendiri. Mereka tidak memesan apa-apa selain minuman dan mungkin kentang goreng, hanya jika pegawai restoran itu mulai mendelik tidak suka pada mereka. Lalu, mereka bakal terlarut dalam diam. Minuman dingin mencair, kopi hangat mendingin, kentang goreng layu terabaikan.

Entah kenapa, Dira malah menyukainya. Dia bisa konsentrasi mengetik di tempat umum, padahal biasanya dia paling mudah terdistraksi.

Dira masih belum menemukan tambalan lubang terkait kritikan Yasa. Mereka sudah mencoba mendiskusikannya, tapi Dira pun belum menemukan ide. Dia sudah melanjutkan mengetik dan kelihatannya, dengan kecepatan seperti ini, tidak butuh waktu lama hingga dia mencapai adegan yang membutuhkan perbaikan.

Meski begitu, Dira tidak ambil pusing.

Karena memang seperti itu caranya menulis dulu. Dia terbiasa untuk menulis adegan-adegan awal cerita, baru kemudian merangkai sisanya. Ibaratnya menciptakan manusia, Dira akan membuat kepalanya dulu, baru merangkai tulang-tulangnya. Barangkali akan terkesan janggal bagi orang-orang. Tapi, Dira tahu betul: tidak ada yang janggal dalam berkarya.

Satu sisi dirinya merasa hangat. Ternyata ada bagian dari dirinya yang tetap sama.

Semuanya perlahan berubah menjadi sebuah kebiasaan. Dira akan langsung membuka laptop begitu pulang kerja. Mengetik hingga malam larut. Dira kadang-kadang sampai tidak menyadari ponselnya telah berdering dan grup kantor memanggil-manggilnya perihal pekerjaan.

Dunianya berubah.

Ada dunia lain yang tercipta dalam kepalanya. Sebuah mansion megah yang dihuni keluarga dengan anak perempuan bernama Aina. Jemarinya akan menyalurkan dunia itu dalam bentuk kata-kata. Dan dia akan jatuh tertidur sembari memikirkan kelanjutan dunia yang akan dijalinnya besok.

Dira mengira semuanya akan selancar ini sampai cerita itu selesai dia tulis dan Yasa menggambarnya hingga episode terakhir. Dibayangkan pun rasanya terlalu mudah. Dira sendiri tidak suka kalau tokoh yang ditulisnya menjalani kehidupannya terlalu mulus. Unsur utama dari sebuah cerita adalah konflik. Dari sekolah dasar, hal itu selalu diulang-ulang.

Karena itu, semestinya dia sudah bersiap ketika sesuatu akan terjadi.

Jadwal penyuluhan kantor tiba, dan Dira menghabiskan waktunya selama lima hari kerja dengan penuh kesibukan, sampai sulit sekali sekadar menyentuh naskahnya. Ketika dia pulang kerja di hari Jumat, barulah dia bisa bernapas lega. Akhir pekan ini bisa menjadi momen bagi Dira untuk bercumbu lagi dengan naskahnya.

Dira mengendarai motornya dengan cepat menuju rumah. Dia mandi, makan malam, lalu masuk ke kamarnya tepat ketika ponselnya berbunyi. Nama Yasa terpampang di sana. Dira mengangkatnya tanpa pikir panjang. "Halo?"

"Ra, udah di rumah?"

"Udah," jawab Dira heran. "Kenapa?"

Hening sejenak. Yasa butuh waktu agak lama untuk menjawab, seolah banyak sekali yang mesti dia pertimbangkan. "Ada yang mau kubicarakan."

Dira paling tidak suka dengan kata-kata semacam itu. Rekan seniornya pernah berkata demikian dan memanggilnya ke sudut kantor yang tidak terjamah oleh telinga-telinga penuh rasa ingin tahu hanya untuk menegurnya tentang kinerjanya terhadap klien yang terkesan buruk. Dira bersyukur karena seniornya tidak memarahinya di depan orang banyak, tapi kalimat itu menjadi momok tersendiri baginya.

"Ra, kayaknya aku mesti balik ke Bandung dulu."

Hampir saja dia menjatuhkan ponselnya. Dira terduduk di tepi ranjangnya. Mengerjap. "Kenapa tiba-tiba?"

"Enggak tiba-tiba, sih. Di awal kita ketemu aku pernah bilang bakal balik sewaktu-waktu. Udah hampir dua bulan aku tinggal di sini. Kosku di sana enggak keurus."

Dua bulan? Dira tidak menghitung waktu, tidak menyadari sudah seberapa lama sejak pertemuan pertama mereka di reuni.

Lihat selengkapnya