Yasa menjemputnya tepat pukul tujuh. Pemuda itu memang tidak main-main.
Dira telah memberitahu ibunya terlebih dahulu sedari pagi. Dia hanya menyebut teman, dan ibunya setuju, barangkali mengira teman yang dimaksud adalah Nanda.
Makanya, begitu Yasa berhenti di depan pagar dengan motornya, ibunya mengguncang-guncang bahu Dira sampai Dira yakin kepalanya bakal copot dari lehernya.
"Ra, ya ampun! Kok enggak bilang kalau mau pergi sama Yasa?" tukas ibunya selagi Yasa menyalami tangannya. Rupanya mereka sudah sempat kenalan di kali pertama berjumpa.
"Mama kan enggak nanya," balas Dira santai.
"Ya karena mama kira teman yang kamu maksud itu si Nanda. Ternyata malah sama dia. Berdua, pula."
Yasa menggaruk pipi. "Maaf, ya, Tante."
Ibunya tertawa. "Kenapa malah minta maaf? Santai aja lah. Tante kan juga pernah muda."
Dira tidak mau mencari tahu arti dari kalimat terakhir ibunya.
"Ya udah, biar enggak telat, kalian berangkat aja langsung," ibunya mencengkeram bahu Dira. "Tante titip Dira, ya. Pulangnya jangan kemaleman."
"Siap, Tante."
Dira naik ke motor Yasa. Melihat ibunya yang cengar-cengir bahkan ketika mereka melaju di jalan, Dira yakin dia diserbu saat pulang makan jagung nanti.
Seperti biasa, Yasa mengendarai motornya dengan kecepatan tidak main-main. Karena ini malam Minggu, suasana jalanan lumayan ramai. Yasa memanfaatkan kemampuannya dalam menyelinap di antara mobil-mobil. Dira bahkan kehilangan kekuatan untuk sekadar menggetok helm pemuda itu. Fokusnya sekarang hanyalah bisa sampai ke kedai jagung bakar dengan selamat sentosa.
Kabar baiknya, mereka sampai di tepian sungai dalam waktu setengah jam. Yasa memarkirkan motornya di bawah jembatan—yang dijaga khusus oleh seorang tukang parkir—dan berjalanlah mereka menembus keramaian.
Kedai jagung yang mereka tuju merupakan salah satu dari barisan kedai sederhana yang berdiri di sepanjang tepian sungai, hanya beratapkan terpal biru sederhana. Aroma jagung bakar menguar sepanjang jalan. Kedai itu ramai, karena ini malam Minggu. Mereka memesan dua jagung bakar dan dua minuman, lalu menuruni tangga menuju bantaran sungai. Kursi-kursi serta meja plastik disusun berjejer seperti restoran. Air hanya berjarak satu meter dari bantaran. Jika pasang air lebih tinggi, niscaya bantaran itu bakal tenggelam.
Mereka berhasil mendapat tempat setelah berebutan dengan tamu lain ketika penghuni meja selesai makan dan hendak pulang. Sungguh perjuangan yang tidak main-main. Mereka menggeser kursi sehingga menghadap ke air sungai, agar acara malam itu terasa lebih mengasyikkan.
Pesanan mereka datang tidak lama kemudian, diantarkan oleh si pemilik kedai. Jagung bakar masih mengepul, bibir Dira hampir terbakar ketika coba-coba mengambil gigitan pertama.
Dira menatap bolak-balik antara jagung di tangannya dan dua gelas plastik di meja. Isinya berupa likuid berwarna mencolok—yang satu biru pastel, yang satu merah muda. Membuatnya teringat minuman yang lazim dijual di depan pagar sekolah-sekolah dasar.
"Jagung dengan minuman sachet ... ini perpaduan yang sehat, enggak, sih?"
"Memangnya kenapa?" Yasa bertanya sembari menggigit jagungnya perlahan-lahan.
"Enggak. Skeptis aja," kata Dira. "Biasanya kamu pesan kopi. Tumben malam ini enggak?"