Dira tidak mengantarnya ke bandara, dan Yasa sendiri sudah mengatakan kalau dia tidak ingin diantar. Minggu pagi, Dira yang bodoh baru terbangun pukul sepuluh kurang sepuluh menit. Saat dia menelepon, ponsel Yasa sudah tidak aktif.
Yasa mengiriminya pesan pukul satu siang. Hanya mengabari bahwa dia sudah sampai dan bakal sibuk berbenah pasca perjalanan. Dira membalasnya singkat saja. Selama ada kabar, itu sudah cukup.
Seperti dugaannya, aneh sekali melewati waktu sendiri setelah beberapa lama dia terbiasa dengan kehadiran Yasa. Dira berangkat ke kantor, bekerja seperti biasa, lalu pulang dan mengerjakan novelnya. Begitu terus.
Yasa hampir tidak pernah mengangkat tiap kali Dira menelepon, namun dia aktif membalas pesan. Dira selalu memanfaatkan untuk diskusi mengenai perkembangan ceritanya. Dira sudah menemukan jawaban untuk melengkapi kisahnya—menghadirkan tokoh si penyihir sebagai kaki tangan seorang bangsawan jahat yang terkenal di kota tempat Aina tinggal, serta rumor-rumor tentang anak-anak bangsawan saingan yang menghilang. Petunjuk-petunjuk itu dia samarkan dalam plot, sehingga ketika rahasia kutukan Iah terungkap, semuanya akan jadi lebih mengejutkan.
Sekarang, masalah kutukan Iah.
Sebenarnya, Dira sudah kepikiran bagaimana cara agar kutukan itu dipatahkan. Alasan seklasik cinta masih dipertahankan, tapi tentu saja itu butuh pembuktian. Dan Dira, setelah memutar ulang dongeng-dongeng yang senang dibacanya, menemukan satu jawaban—yang sesungguhnya juga sama klisenya.
Ciuman.
Aina akan memberanikan diri untuk menarik Iah dalam pelukannya dan menciumnya. Lalu, tubuh pemuda itu akan berpendar, dan buku yang mengikatnya akan lenyap. Tersisa dirinya sebagai seorang manusia utuh, remaja laki-laki yang tampak senormal remaja pada umumnya.
Adegan itu mestinya sempurna.
Tapi, tiap membayangkannya, Dira akan teringat kejadian di kedai jagung bakar. Jantungnya bakal berdetak melebihi kecepatan normal dan panas memenuhi kedua pipi. Ujung-ujungnya, dia bakal membenamkan wajah ke bantal sepanjang malam. Sial. Kalau saja Yasa tidak tergerak melakukan itu, Dira tidak bakal seperti ini. Ada untungnya juga dia pergi sementara waktu. Dira tidak tahu apa dia bakal sanggup bertatapan muka langsung dengan Yasa.
—
Permulaan dari kecamuk badai adalah ketika Nanda, pada suatu sore, di detik-detik mereka tengah menunggu jam pulang kantor, menanyakan sesuatu yang mengejutkan Dira, "Ra, si Yasa kenapa, ya?"
Dira hampir melompat dari kursinya. Tidak, kerja sama mereka masih menjadi rahasia kecil di antara dia dan Yasa. Kecuali Yasa sendiri yang membeberkannya—ada kemungkinan yang besar dalam hal ini—tidak mungkin Nanda tahu.
Berusaha mempertahankan ekspresi tenang, Dira balik bertanya, "Memangnya si Yasa kenapa?"
"Ini lihat. Komiknya mendadak hiatus."
"Apa?"
Saking kagetnya, Dira langsung mendorong kursinya dengan heboh sampai ke sebelah Nanda. Nanda menjulurkan ponselnya. Pada layar yang didominasi putih, terdapat gambar seorang—atau seekor?—manusia setengah ikan yang tengah duduk berlutut. Dira tidak bercanda. Bagian kepalanya berbentuk ikan badut, tangan dan kakinya panjang berwarna putih. Yasa memang aneh, tapi Dira tidak menyangka dia bakal menggambarkan dirinya sendiri seperti itu.
Dari balon kata yang mengambang di atas kepala ikan itu, tertulis segenap kalimat: Mohon maaf, untuk sementara A Long Journey tidak update dikarenakan suatu kondisi. Sampai ketemu di episode selanjutnya. Cheers!
Suatu kondisi? Normalnya komikus akan gamblang saja mengatakan alasan di balik hiatusnya, dan seringnya semua itu karena alasan kesehatan. Yasa memberi pengumuman yang sarat ambiguitas.
"Kok bisa?" tanya Dira retoris.
"Itu dia yang bikin heran," kata Nanda. "Yasa itu paling jarang hiatus. Kalaupun dia hiatus, pasti alasannya jelas. Terakhir kali dia hiatus itu gara-gara kena DBD. Apa dia sakit, ya?"
Terakhir kali dilihat, dia masih sehat-sehat saja. Tapi, Dira harus menjernihkan pikirannya lagi agar sadar bahwa terakhir kali dia melihat Yasa adalah dua minggu lalu. Karena dia balik ke kosnya, mungkin saja dia sakit karena salah makan.
"Coba tanya langsung ke dia aja," saran Dira.
"Iya, aku juga kepikiran gitu. Cuma belakangan dia jarang muncul di medsos. Kalau dikirimin pesan suka lama balasnya."