"Tadi siang aku ke rumah sakit bareng mama."
Dira tengah memotong daging di piringnya, gerakan itu lantas terhenti. Hanya ada mereka berdua di meja makan pada malam itu, menikmati makanan siap-saji yang dibeli melalui layanan pesan-antar. Tidak ada yang memasak.
"Gimana papa?" tanya Dira.
"Cuci darah lagi," dia mengangkat bahu. "Mama telepon paman, mau pinjam uang. Kayaknya uang jual mobil kemarin juga enggak cukup."
Dira menarik napas, lalu mengembuskannya. "Kian besok eskul, kan? Pulang jam berapa? Biar aku jemput."
"Aku enggak pengen sekolah lagi."
Pernyataan ini mengejutkan. "Kenapa?"
Kian meletakkan sendoknya. "Mama kayaknya kesusahan bayar uang sekolah. Bulan ini nunggak."
Dira membatu di kursinya. Termangu. Ibunya tidak cerita tentang ini sama sekali.
"Aku pengen masuk SMA negri aja."
"Kamu masih dua tahun lagi masuk SMA."
"Tapi sampai kapan kita bakal gini terus?" nada Kian mulai meninggi. "Teman-temanku bisa sekolah dengan tenang! Kenapa aku enggak bisa?"
Kian menggeser kursi dengan kasar dan menghantam pintu kamarnya. Dira hanya menyaksikannya, tidak melakukan apa-apa—dia menyadari bahwa dirinya tidak punya kapasitas untuk menenangkan Kian. Selain itu, apa yang dikatakan Kian memang benar. Karena dia pun merasakan hal yang sama.
Dia mencengkeram dadanya. Setitik air matanya jatuh.
—
Ibunya menghampiri kamar Dira malam itu.
"Ra," kata ibunya, "Sabtu besok enggak ada acara, kan?"
"Enggak," jawab Dira dari meja belajarnya. "Kenapa, Ma?"
Senyum ibunya janggal.
"Kita pergi ziarah, ya."
—
Dira melupakan sejenak bahwa Sabtu itu adalah tanggal sembilan.
Mereka bertiga turun dari mobil—taksi daring yang dipesan, sebab garasi rumah sudah bertahun-tahun disulap menjadi gudang penyimpanan perabotan rusak.