Kopi Semalam

archavlio
Chapter #16

16

Meski begitu, Dira naif kalau mengasumsikan semua bakal kembali berjalan sesuai keinginannya. Dira masih rajin berkirim pesan dengan Yasa, walau durasi diskusi mereka perlahan mulai berkurang. Dia mengira dengan aktifnya interaksi mereka, Yasa akan kembali mengerjakan naskahnya sendiri.

Dira keliru.

Seminggu setelahnya, Nanda kembali heboh di kursinya gara-gara komik Yasa masih tidak terbit. Pengumumannya tidak jauh berbeda dengan minggu lalu, hanya saja Yasa menambahkan sebuah ilustrasi-ilustrasi karakternya sebagai bonus

"Yasa kenapa, sih?" gerutu Nanda.

"Kamu udah tanya ke dia?" tanya Dira.

"Udah, tapi dia enggak mau jawab," Nanda frustasi. "Dia cuma bilang 'ada sesuatu', dan langsung mengalihkan topik. Aneh banget."

Dira membuka tampilan akun Yasadahlah di ponselnya. Yasa baru mengunggah sebuah ilustrasi baru—kelihatannya merupakan karakter utama komiknya—dengan caption singkat yang juga kurang lebih sama dengan isi komiknya. Mohon maaf, minggu ini A Long Journey tidak bisa update karena alasan tertentu.

Alasan apa lagi?

Lama kemudian Dira menyadari sebuah kejanggalan dalam pengumuman itu. Yasa tidak memberitahu kapan dia akan kembali bekerja seperti biasa. Sedari awal dia tidak mengatakan 'sampai jumpa minggu depan!' atau semacamnya. Tidak ada yang tahu sampai kapan dia akan hiatus.

Ini sangat aneh. Ada apa sebenarnya?

Sebuah ide lalu terlintas di benaknya. Dira segera mencari satu nama di ponselnya. Opsi ini mungkin mesti mengorbankan seluruh rasa gengsinya, terutama karena yang ditujunya bukanlah orang yang tergolong akrab dengannya. Tapi, rasa ingin tahunya lebih besar, dan Dira menepis semua keragu-raguannya demi satu jawaban.

Rajen, maaf ganggu. Ini aku Dira. Bisa bicara sebentar?

Tanpa disangka-sangka, Rajen mengundang Dira serta Nanda untuk makan siang di Kafe Noir siang itu. Dira susah payah mengarang alasan pada Nanda yang heran kenapa bisa dia mengontak Rajen—bahwa dia hanya penasaran, dan sudah sewajarnya sesama teman saling memberi kabar. Nanda senyum-senyum menggumamkan sesuatu semacam cinta lama bersemi kembali. Dira mengibarkan bendera putih. Tahu tak ada gunanya melawan Nanda dan keisengannya.

Tapi, godaan-godaan Nanda dengan segera berlalu ketika pesanan mereka datang dan Rajen memulai diskusinya.

"Sebenarnya, aku juga penasaran soal si Yasa," kata Rajen. "Belakangan, dia jarang aktif di medsos. Biasanya mah dia suka ngepos foto-foto estetik gitu. Di akun komiknya juga udah jarang ngepos gambar."

"Kamu udah nanya dia?" tanya Nanda.

"Udah, tapi dia cuma bilang lagi capek aja. Udah gitu balasnya lama banget. Aku enggak tahu dia benar-benar sakit apa enggak."

"Dia lagi di mana sekarang?" Dira sengaja pura-pura tidak tahu. Bukan hanya demi menyembunyikan sesuatu yang terjadi di antara dirinya dengan Yasa. Tidak tahu kenapa, firasat Dira menyuruhnya bertanya begitu.

"Kayaknya, sih, di Bandung," Rajen sendiri tidak kedengaran yakin. "Aku tadinya enggak terlalu peduli sampai kamu nanyain soal dia, Ra. Aku cari info ke mana-mana dan berhasil dapet kontak teman yang satu kos dengan Yasa di Bandung. Ingat si Riko, kan?"

Kalau boleh jujur, Dira tidak ingat-ingat amat. Hanya bayangan samar pemuda kurus dalam balutan putih abu-abu. Mungkin wajahnya sudah berubah drastis sekarang. Dira tidak tahu apa dia masih bakal mengenalinya jika bertemu langsung.

"Terus, apa kata si Riko?" lanjut Dira, tidak mau membuang-buang waktu. Ayolah, waktu makan siang mereka hanya satu jam.

Lihat selengkapnya