Walau begitu, kesabarannya juga memiliki batas.
Dira mencoba bersikap seperti biasa saat meladeni percakapan mereka, hari demi hari. Tidak ada yang aneh dari Yasa. Jika dia tidak menghubungi Rajen hari itu, Dira pasti tidak bakal mencurigai apa pun. Tapi ini justru membuat Dira sedikit terluka. Yang berarti, Yasa sejak awal sudah berniat untuk menyembunyikan semuanya dari Dira, sehingga dari pertemuan kembali mereka sampai sekarang, tidak ada sikapnya yang terkesan janggal.
Pada akhirnya, perasaan yang dipendamnya itu mencapai puncak.
Dira baru selesai makan malam hari itu saat Yasa mengiriminya pesan singkat. Coba cek emailmu.
Dia sudah bisa menduga apa yang bakal menantinya. Di kotak masuk surel, Yasa baru saja mengirimkan dua data yang ukurannya cukup besar. Butuh waktu lama untuk mengunduhnya. Dira terdiam di depan laptop begitu membuka salah satunya.
Komik.
Dira tidak pernah membaca komik Yasa. Namun, melihatnya sudah langsung memberitahu bahwa Yasa-lah yang menggambarnya. Komik itu sudah diwarnai dan balon katanya sudah diisi dialog. Yang dibukanya saat itu adalah berjudul prolog, satu lagi adalah bab satu. Keduanya merupakan komik yang Yasa adaptasi dari naskahnya.
Dalam kondisi normal, semestinya ini menggembirakan. Dira sangat mengagumi detail gambar yang Yasa buat. Penggunaan warnanya cenderung lembut dan memberi kesan nyaman pada pembacanya. Yasa juga mampu membagi dialog dan narasi dalam porsian yang membuatnya terkesan alami—tidak kepanjangan, tapi tidak mengurangi esensi yang ditulis oleh Dira. Kemampuannya sebagai komikus profesional memang tidak bisa diremehkan. Yasa punya bakat, dan pengalamannya mengasah bakat itu hingga begitu tajam sampai mudah sekali baginya mengeksekusi ide menjadi karya yang menakjubkan.
Namun, hal ini tidak membuat Dira senang. Mengerjakan dua bab komik berwarna bukan sesuatu yang mudah. Dira bakal bisa menerima alasan hiatusnya jika dia memang punya keperluan pribadi. Tapi, Yasa menggambar naskahnya. Kalau dia punya waktu untuk itu, kenapa dia tidak menyelesaikan naskahnya sendiri? Bagaimana bisa Yasa mempertaruhkan reputasi yang sudah dibangunnya hanya demi Dira yang belum tentu dapat membawa keuntungan besar baginya?
Sudah diduga, memang ada yang aneh dari Yasa. Di balik sikapnya yang luwes, ada bayangan gelap yang dia coba untuk sembunyikan.
Dan Dira tidak tahan lagi.
Dia tidak bisa menutup mata terus-menerus. Ini bukan tentang kerja sama semata. Selain rekan, Yasa adalah temannya. Terlepas apa yang pernah terjadi di antara mereka, tidak sepantasnya Yasa membuat orang-orang khawatir begini. Yasa memiliki banyak pembaca yang menantinya untuk kembali. Dira tidak mampu melanjutkan naskahnya dengan pemikiran bahwa kerja sama merekalah yang membuat Yasa teralihkan dari karyanya sendiri.
Dira mengambil ponselnya. Yasa menolak telepon berkali-kali, tapi terakhir kali pemuda itu menelepon menggunakan aplikasi. Dira tidak pikir panjang, tidak mau membuang waktu dalam kesia-siaan. Nama Yasa dapat dengan mudah ditemukannya. Dia berbaring menatap langit-langit, menemani nada dering.
Yasa mengangkatnya saat dering telepon sudah hampir berakhir. "Kenapa, Ra?"
"Enggak—"
"Ada yang enggak memuaskan dari kerjaanku?"
"Bukan," balas Dira. Dia sudah memutuskan, tapi tetap sulit rasanya merangkai kata-kata. "Kenapa kamu menggarap naskahku, Sa?"
Yasa terheran-heran. "Lho? Kita kan kerja sama."
"Tapi kamu hiatus dari komikmu sendiri. Bukankah semestinya kamu tetap memprioritaskan karya pribadimu?"
Dira tidak tahu apakah langkahnya yang langsung blak-blakan sudah tepat.
"Enggak nyangka, ternyata kamu perhatian sama aku. Padahal ngakunya kamu enggak pernah baca komikku."
"Sa," Dira menyela tegas, berusaha mengisyaratkan bahwa dia tidak sedang dalam suasana hati yang baik untuk bercanda. Menutup segala kemungkinan bagi Yasa untuk mengalihkan topik.
Didengarnya suara tarikan napas Yasa demikian berat.
"Ada beberapa hal yang mesti aku urus, Ra," kata Yasa. "Aku enggak bakal nelantarin komikku sendiri. Percayalah. Editorku udah mengizinkan."
Tetap saja itu bukan pembenaran. Terlalu banyak hal yang mencurigakan dari diri Yasa belakangan ini.
"Kemarin aku teleponan sama Riko," Dira memulai dengan hati-hati. "Katanya, kamu udah dua bulan enggak ngekos lagi di Bandung."
Jika mereka saat ini berhadapan, Dira yakin dapat membaca raut wajah Yasa yang kini penuh keterkejutan. Dia tidak menyangkal. Tidak pula membenarkan. Hanya suara napasnya yang terdengar di telinga Dira. Itu saja sudah cukup untuk mengonfirmasi kebenarannya.
"Sa," Dira menurunkan nadanya agar tak terkesan menuding. "Sebenarnya kamu kenapa?"
Dia menunggu. Tidak memberi tenggat waktu. Dibiarkannya pertanyaan itu mengudara sejenak, hening merayap di sambungan mereka. Hampir satu menit, sampai Yasa tampaknya mengumpulkan tekad untuk menjawabnya.
"Aku enggak tahu gimana cara menjelaskannya."
Kalau begitu, biar Dira yang memulainya. "Sekarang kamu di mana? Apa masih di Bandung?"
"Enggak," kata Yasa.
"Jadi, di mana?"
Ada jeda tiga detik yang penuh pertimbangan bagi Yasa, sampai dia memutuskan tidak ada gunanya menghindari Dira terus-menerus.