"Lulus SMA nanti kamu mau lanjut ke mana?"
Dira menoleh pada Yasa di sampingnya. Tatapannya tidak suka. "Kamu orang keseribu yang nanya kayak begitu ke aku."
"Kebetulan. Aku juga udah ditanyai hampir seribu orang."
Mereka berdiri di balkon, tangan terlipat pada birai. Di lapangan bawah, sekumpulan anak laki-laki berpakaian olahraga tengah bermain bola kaki. Padahal ini sudah jam pulang sekolah, tapi tenaga mereka tidak juga habis. Semangat masa muda yang berkobar-kobar. Jika mereka kelas satu, mungkin karena mereka masih hijau, masih semangat memulai hari-hari sekolah. Jika mereka kelas tiga ... mungkin tengah butuh pelarian dari beban yang menumpuk.
"Heran, padahal baru juga tiga bulan sejak kita naik ke kelas tiga. Kenapa udah pada semangat soal kuliah? Ujian masuk, kan, masih tahun depan!" Dira mendecak.
"Kok malah marah, sih?" tukas Yasa.
"Habis, kesal juga ditanyai berulang-ulang."
"Emang kamu belum ada rencana?"
Dira termangu sejenak.
"Kuliah sastra? Ya ampun Dira, mau kerja apa kamu nanti?" ibunya memelototi Dira. Mendadak, ikan goreng buatannya menjadi hambar di lidah Dira.
"Pilih jurusan yang pasti-pasti aja," celetuk ayahnya tenang. "Zaman sekarang persaingan ketat, Ra. Lulusan kedokteran aja belum tentu bisa dapat uang. Apalagi yang cuman lulusan sastra."
Tapi itu enggak cuman, Dira menelan pemikiran itu bersama makan malamnya. Kalau semua orang jadi dokter atau pegawai, siapa yang bakal menulis buku? Membuat film? Bahkan petugas bioskop, yang dipandang rendah oleh orang tuanya, juga punya perannya sendiri.
"Tapi, kalau kamu berkeras, ya terserah aja. Yang penting sudah mama ingatkan."
Logika saja. Kalau ibumu sudah berkata begitu, apa kamu bakal tetap menuruti kata hatimu sendiri? Tentu saja tidak.
"Dira?" panggil Yasa. "Kenapa malah bengong?
"Enggak," Dira menggeleng. "Aku belum punya rencana sama sekali. Mungkin aku cuma bakal masuk universitas di kota ini."
"Yah, enggak ada masalah. Kuliah kan enggak harus merantau," balas Yasa simpel. "Lagian, mimpi kita tetap bisa dicapai tanpa pendidikan resmi."
Hanya kata-kata itu yang setidaknya bisa menenangkan Dira sedikit.
"Aku rencananya mau masuk DKV."
Dira mengangkat alis. "Katanya enggak perlu pendidikan resmi?"
"Ini murni keinginanku."
Kalau jawabannya sudah begitu, Dira pun tidak bisa menyangkalnya lagi. "Orang tua kamu gimana? Jurusan semacam DKV biasanya paling rentan ditentang."
"Tepat, Ra. Aku lagi nyoba buat bicarain dengan orang tuaku. Ibuku mulai melunak, tapi ayahku masih berkeras."
"Seandainya ayahmu tetap enggak kasih izin, gimana?"
"Ya harus terus diusahain sampai bisa. Yang penting didiskusikan baik-baik. Kan aku enggak melakukan sesuatu yang negatif. Kalau anaknya bahagia, lama-kelamaan mereka pasti bakal setuju juga."
Optimisme dalam nadanya ... Dira seperti tersentil. Betapa dia juga ingin memiliki semangat Yasa bahkan sedikit saja.
"Berani banget kamu," komentar Dira. "Enggak takut bakal dibicarain keluarga besar?"
"Kan kamu sendiri yang bilang jangan terlalu peduli dengan kata-kata orang lain."
Benarkah? Dira bahkan tidak ingat pernah berkata seperti itu.
Yasa melirik arloji di tangan kirinya. "Omong-omong, sekarang belum sore banget. Ke Kaji Burger bentar, yuk? Udah lama kita enggak nongkrong."
Dira menjawab cepat, "Maaf, Sa, aku enggak bisa."
"Lagi?" kata Yasa. "Sejak naik kelas tiga, kamu jarang banget mau ikut ngumpul pulang sekolah. Kamu kenapa?"
"Enggak ada."
"Bohong. Pasti kamu diam-diam belajar buat tes masuk kuliah kan?" Yasa menuding. "Licik, Ra. Padahal kamu sendiri yang bilang ujiannya masih tahun depan."
Tentu saja tuduhan itu tidak benar. Tapi, Dira tidak menyangkalnya. Hanya tawanya yang menjadi respon—dia tidak berbohong, tapi tidak juga jujur. Opsi itulah yang paling baik saat ini.
"Naskahmu gimana? Udah selesai?"
"Sudah kukirim," jawab Dira. "Kan aku sudah pernah bilang ke kamu."
"Oh, iya, aku lupa," Yasa cengengesan. "Enggak mau bikin yang baru?"
"Belum ada ide."
Yasa cemberut. "Ya udah, deh, aku pulang aja. Mau belajar biar lulus ujian masuk."
Dira tertawa lagi. Mereka sama-sama melangkah ke parkiran sekolah. Parkiran sekolah sudah sepi—rupanya banyak anak-anak yang memutuskan pulang cepat hari itu. Yasa memarkirkan motornya di dekat jalur keluar (karena pemuda itu suka sekali datang ke sekolah pada jam mepet sehingga jarang sekali dapat tempat parkir yang strategis di tengah-tengah), sementara Dira jauh di bawah pohon. Yasa sengaja memutari motornya melewati motor Dira, mengklaksonnya, dan segera berlalu meninggalkan sekolah.
Tersisa Dira di parkiran, sudah mengenakan helm, tapi melepasnya lagi begitu dia yakin Yasa sudah meninggalkan area sekolah. Mesin motornya dia matikan juga. Dia menelungkupkan wajah ke stang motor.
Dan terisak.
Dia memang munafik. Mudah sekali tertawa-tawa di depan orang lain, padahal ketika sendirian, lahan parkiran sekolah selalu menjadi saksi bisu kesedihannya.
Dira tidak ingin pulang. Karena semuanya akan kembali sama ketika dia menjejakkan kaki di rumah. Dia akan mendengar ayahnya merintih kesakitan dari kamar sebelah, ayahnya yang stres dan menolak makan hingga minum obat, ibunya yang kelelahan karena harus bekerja sekaligus merawat ayahnya, adu mulut mereka berdua yang selalu terdengar jelas menembus dinding kamar. Orang tuanya tidak pernah bertengkar—setidaknya, di depan Dira. Mungkin karena dia tidak terbiasa. Dia tidak pernah tahu kalau mendengar perdebatan orang tuanya mampu menoreh luka dalam dirinya.
Dira menghabiskan hampir lima belas menit untuk terisak. Dia mengambil kembali helm dan menyalakan motor. Setidakingin apa pun dia pulang, Dira tidak punya tempat untuk melarikan diri.
—
"Keluarga Bapak Andreas."
"Ya!" Dira buru-buru bangkit dari kursinya. Ponselnya yang sedari tadi dimainkan dia letakkan—campakkan—ke dalam saku rok abu-abu sekolahnya. Orang-orang di ruang tunggu menatapinya, mungkin juga karena seragam sekolahnya yang mencolok, tapi Dira tidak peduli. Dia melangkah menuju pintu kaca buram di belakang meja satpam.
Satpam itu tidak bertanya. Dia telah hapal wajah Dira. Dibukakannya pintu kaca dengan kartu khusus, lalu menarik sebuah tanda pengenal bertuliskan 'tamu' dengan huruf merah besar. Dira mengenakannya di leher. Satpam menutup pintu di belakang, tidak perlu menuntunnya karena dia tahu Dira mengetahui tempat mana yang akan ditujunya. Dira memasuki lorong pendek yang bersih dan dingin, memasuki pintu kaca lain di sebelah kiri.
Ruangan di balik pintu kedua besar dan sangat dingin. Di sisi kiri, sekat-sekat dinding tipis membatasi ranjang-ranjang beroda. Sebuah meja panjang terbentang di hadapan kaki ranjang, para perawat berpakaian putih mondar-mandir.
Dira menghampiri bilik paling kiri. Suara kardiograf terdengar semakin keras di telinganya.
Seorang dokter berkacamata menghampirinya sembari menbawa sebuah papan untuk menulis. "Maaf, mbaknya ini anaknya Bapak Andreas?"