Seorang lelaki berkemeja biru laut yang dimasukkan ke celana kain hitam dan dirapikan oleh sabuk, menutup mobil tergesa. Snelli tersampir sembarang di tangan kanan. Berjalan cepat ke arah lift, sesekali netra memandang tajam ke jam rolex yang melingkar di lengan. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir manisnya. Hanya suara nyaring yang timbul dari gesekan lantai dengan pantofel kulit hitam menggema di telinga. Kaki jenjangnya terus berjalan, sesekali berlari kecil.
Rahang bagian bawah mengeras, ada desis tak sabar dan gerak jari telunjuk depan tombol lift. Mata elangnya kembali tertuju pada jarum jam, hidung mancung merespon dengan hembusan napas kasar, semburat kesal tergambar jelas di sana.
Tak lama kemudian, lift terbuka. Dengan gerak cepat dia memasuki pintu, detik-detik terakhir akan tertutup, seorang gadis bergamis dan hijab besar berteriak,
“Tunggu!” mengganjal dengan kaki kanan, pintu kembali terbuka. Meyuguhkan wajah seorang lelaki tampan tanpa tapi dengan garis wajah penuh kekesalan. “Maaf,” sedikit menundukkan kepala dan masuk. Tak ada respon dari lawan bicara. Hanya wajah dingin yang tersaji.
Lift bergerak pasti ke atas, tak ada sepatah kata yang keluar dari keduanya, sampai di lantai lima lelaki itu turun. Tinggal si gadis melanjutkan perjalanannya ke lantai tujuh. Entah, atmosfer apa yang di bawah si lelaki. Suasana gedung pertemuan yang semula terdengar ramai dengan suara beberapa dokter saling berkonsultasi tiba-tiba senyap. Hanya udara dan hembusan CO2 yang bebas bergerak.
“Dokter Ben ganteng, ya?” bisik salah satu dokter residen. Lawan bicara yang sudah paham benar bagaimana tabiat calon direktur barunya memilih tak menggubris. Meski Ben baru akan menjadi direktur utama, tetapi dia bukan orang baru di divisi pulmonologi. Lebih mengerikan dari serigala berdarah vampir. Tidak ada senyum, tidak ada cinta juga tidak ada maaf dalam kamusnya. Hanya kerja sempurna atau enyah. Nasib dokter residen sedang tidak mujur, bukan tanggapan manis yang di dapat dari memuji, justru tatapan tajam dari Ben yang menusuk hati segaris lurus dengannya. Speechless, dia pun menunduk tanpa protes.
“Selamat Pagi!” sapanya dengan suara dingin. Debut seorang Ben Atmaja setelah sang ayah dinyatakan positif covid 19. Seharusnya sejak lima hari yang lalu dia menjalankan amanah ini, tetapi karena kesibukan di lain hal yang lebih mendesak, hari senin pagi menjadi waktu yang dipilih untuk memulai.
“Pagi, Pak,” sahut para dokter dari setiap divisi yang sudah siap hidup penuh tekanan di bawah kepemimpinan dokter Ben Atmaja.
Debut berjalan sangat dramatis. Setiap divisi mendapat teguran pedas, sepedas sambal indigo yang terbuat dari cabai pilihan.
“Tidak ada kata tidak mungkin! Jika kalian mau berusaha tanpa tapi dan nanti!” sepenggal titahnya yang menjadi buah bibir para kepala divisi, terutama divisi pulmonologi. Divisi yang paling berat bebannya untuk saat ini, karena harus merawat purna direktur dengan penyakit positif covid 19, yang tidak lain ayah dari Ben Atmaja.